Oleh: Firdaus Putra A.
Saya tertegun ketika mendengarkan cerita seorang teman asal Makassar. Dengan intonasi suara yang khas Makassar, Dayat menceritakan bagaimana kondisi masyarakat yang dihadapinya. Tidak berbeda jauh dengan apa yang saya saksikan melalui televisi. Kekerasan di mana-mana.
Kekerasan merupakan bahasa sehari-hari. Katanya, orang Makassar sudah terbiasa dengan budaya ini. Apalagi jika menyangkut masalah siri’ atau harga diri, nyawa sekalipun akan menjadi taruhannya. Tak ketinggalan, kekerasan akan selalu mewarnai dalam masalah etnis. Makanya, masih menurutnya, berbicara agama di Makassar masih relatif aman. Tapi, kalau sudah menyangkut etnis, menjauhlah. Sensitif sekali.
Saya tidak bisa membayangkan masyarakat Makassar yang sesungguhnya. Praktis, saya belum pernah sama sekali bertandang ke propinsi itu. Mengenal satu sosok Makassar pun, adalah seorang Dayat, yang tabiatnya ramah, sopan dan tidak bringas. Jadi, bayangan saya tentang masyarakat Makassar lebih merupakan gambaran panjang lika-liku hidup Dayat.
Jika apa yang dikatakan Dayat merupakan fakta yang memang terjadi, saya sungguh prihatin. Hari ini, dimana nilai tentang kedamaian, saling menghormati, dan saling mengasihi dikampanyekan di mana-mana di negeri ini, ternyata masih ada satu entitas masyarakat yang begitu memuja bahasa kekerasan.
Dengan satu pertanyaan sempat saya menyela obrolan Dayat, bagaimana pandangan masyarakat—khususnya keluarga—terhadap satu kasus kekerasan? Dengan tegas Dayat menggambarkan, bahwa masyarakat atau keluarga inti, memandang kekerasan secara biasa atau wajar. Semisal ada satu kasus pembunuhan yang terekspos di media massa, orang Makassar memandangnya dengan wajar. Ditambah, aparat penegak hukum di sana kurang berfungsi. Semisal ada perkelahian antarsuku, aparat tidak akan banyak berfungsi. Justru mereka menonton. Bukan benar-benar ingin menonton, hanya saja untuk bertindak pun, mereka tidak mempunyai daya. Jadi lebih aman bagi mereka, jika keluar dari konflik yang ada.
Lebih dalam Dayat juga bercerita bagaimana sebenarnya kekerasan dimanfatkan oleh kelompok elit. Dengan terang ia menjelaskan bahwa sebenarnya seringkali kekerasan yang ada merupakan komando dari elit tertentu. Ia mengilustrasikan, ya mereka—elit—seperti main catur. Memberi komando, perintah dan lapisan bawah akan bergerak—dalam arti menyerang dengan brutal.
Seandainya saja saya orang Makassar, mungkin saya akan minta migrasi ke pulau atau propinsi lain. Tidak bisa saya membayangkan hidup dengan kekerasan yang senantiasa mengintip di mana-mana. Salah omong, bisa-bisa nyawa melayang. Salah becanda, bisa-bisa pulang dengan memar. Salah jalan, bisa-bisa pulang tinggal kenangan.
Namun, saya menemukan sebuah keteguhan sikap seorang Makassar. Ya, minimalnya melalui teman saya, Dayat. Dia begitu teguh memperjuangkan, mengupayakan bagaimana agar masyarakat Makassar dapat keluar dari tradisi bar-barianismenya. Sekecil tindakan yang dia lakukan adalah mengupayakan agar masalah kampus tidak melulu diselesaikan dengan jalan kekerasan.
Satu terobosan yang ia lontarkan beserta teman-temannya adalah mendirikan partai mahasiswa. PINK namanya. Saya tidak ingat betul apa akronim PINK. Yang jelas, partai mahasiswa itu membawa jargon tentang perlunya sikap damai dan bersahabat, mengutamakan kecerdasan akal, dan seterusnya. Dan menurutnya, partai baru mampu mengantongi dua kursi di parlemen mahasiswa. Padahal, ada sepuluh partai mahasiswa lainnya. Partai PINK berada pada posisi keempat dari sepuluh partai yang ada. Dia terlihat bangga ketika menceritakan keberhasilan terobosan tersebut.
Serpihan kasus di atas sebenarnya menyiratkan bahwa orang (baca: mahasiswa) Makassar masih mempunyai kepedulian terhadap nilai-nilai, kemanusiaan, kedamaian, penghormatan terhadap yang berbeda dan sebagainya. Kasus itu memberi gambaran bahwa di tengah-tengah ketandusan, masih ada secercah harapan yang bisa dibangkitkan.
Sayangnya, kata Dayat, seringkali media massa menampilkan mahasiswa Makassar secara setereo tipe. Pernah kami menggelar aksi besar-besaran menolak BHP. Dalam aksi tersebut sama sekali tidak ada unsur kekerasan. Dan anehnya, media massa tidak ada yang mengekspos. Nampaknya, aksi mahasiswa Makassar yang nir-kekerasan dinilai tidak mempunyai nilai berita.
Sampai sekarang, Dayat beserta teman-temannya masih mengupayakan agar citra gerakan mahasiswa Makassar sedikit-banyak nampak baik. Ia buktikan dengan menggelar aksi yang secara kuantitatif sedikit, hanya sembilan orang. Menurutnya, aksi yang besar cenderung akan mengarah pada tindak kekerasan dan anarkis. Selain karena tabiat, biasanya aksi massa dalam jumah besar selalu ditunggangi oleh kelompok kepentingan tertentu.
Orang-orang seperti Dayat dan teman-temannya merupakan sedikit orang yang sampai hari ini masih percaya dan mendambakan akan terciptanya kedamaian di bumi Makassar. Bagi mereka yang hidup di tengah masyarakat yang bar-bar, kedamaian bagaikan oase di tengah gurun.
Sedangkan hari ini, kita yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang relatif lebih damai cenderung mengabaikannya. Satu dengan yang lain justru saling merangsang konflik. Mungkin, belajar dari Makassar, kita akan menjadi tahu bahwa kedamaian merupakan sesuatu yang mahal harganya.
Cerita dari Dayat memberikan sebuah kesan yang medalam. Bahwa hidup merupakan perjuangan. Pun sebuah perjuangan dalam rangka menegakkan perdamaian. Tentunya Dayat bukanlah orang yang terjebak dengan jargon, “Berperanglah untuk mendapatkan kedamaian”. Ia dan teman-temannya justru merupakan bagian dari orang yang senantiasa berteriak, “Damailah Makassarku, dengan cara yang damai”. Dan tidak perlu sungkan bagi kita untuk turut berteriak, “Damailah Makassar, Damailah Indonesia”.[]
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar