Aku, Gita dan Tulisan
Sepenggal Perjalanan Imajiner
Oleh: Firdaus Putra A.
Apa hebatnya tulisan? Pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulut Tata, saat di lapak buku-buku bekas. Toh tulisan hanya sekedar rangkaian kata, kalimat, paragraf yang diujung cerita diberi judul dan nama penulisnya. Tidak ada yang istimewa dari tulisan. coba bandingkan dengan musik, ia mengalun dengan indah. Ribuan penonton mengiringi seakan musik mengeluarkan pheromon yang merangsang mereka.
Aku masih membolak-balikkan beberapa buku yang sudah lusuh. Beberapa buku yang terlihat menarik aku buka halaman demi halaman. Sekedar untuk tahu isinya. Belum aku ladeni lontaran Tata yang bersungut-sungut kesal karena seharian berkeliling di lapak buku.
Tolong ambilkan yang itu! Serunya, meminta tolong kepadaku untuk mengambilkan buku yang dimaksud. Aku ambil, beberapa detik aku lihat judulnya, “Kumpulan Catatan Pinggir Goenawan Mohammad”. Ini! Sembari kuberikan buku itu.
Kulirik sepintas ia mulai membuka-buka buku itu. Sesekali ia terlihat serius. Mungkin sudah menemukan judul yang menarik. Ia langkahkan kaki menuju ke bangku panjang di pinggir jalan. Di bawah pohon Ketapang yang cukup tinggi dengan daunnya yang rindang. Nampaknya ia mulai lupa kekesalannya pada perjalanan hari ini. Ia mulai lupa kepada terik matahari dan penatnya kaki yang sudah berjalan seharian. Ia masih serius membaca.
Aku tinggalkan dia. Berjalan ke lapak buku yang lain. Tak terlalu jauh dari tempatnya duduk. Sepuluh atau lima belas meter.
Kutemukan sebuah buku yang cukup menarik, “Menata Negeri dari Kehancuran”. Ditulis oleh Vaclav Havel, seorang Ceko. Sampul buku itu mulai lusuh. Aku lihat di halaman identitas buku, ternyata terbitan tahun 1995. Berapa pak? Sambil menunjukan buku yang aku pegang. Tiga puluh ribu mas. Kalau lima belas ribu?, tawarku. Ya belum bisa lah mas. Lihat saja tebel segitu kok lima belas. Tambah lagi. Dua puluh, aku ambil. Sembari aku rogoh kantong untuk mengambil selembar dua puluh ribuan, sedikit menggertak. Ya udah, sini tak sampulin dulu.
Selesai transaksi, aku hampiri Tata yang masih asyik membaca. Ta udah yuk. Bentar, tanggung neh! Gumamnya sewot. Kamu beli aja buku itu. Bu, buku yang itu berapa ya? Ku coba menanyakan harga buku yang sedang ia baca. Enam puluh ribu mas. Kurangilah sedikit bu. Udah bekas kok. Ya ... masnya nawar berapa. Empat lima saja ya bu. Belum bisa mas. Tambah lima ribu lagi lah. Ya udah, lima pulu ya bu. Ya. Aku bayar buku itu.
Ayo Ta, jalan. Lha ini bukunya? Udah, gak sah belagak telmi gitu. Dah aku bayar. Pura-pura gak denger lagi. Hehehe ... makasih ya. Ucapnya dengan sedikit tertawa. Kita mau kemana? Jalan lagi ya? Nggak, nggak pake jalan. Kita naik angkot saja dari sini. Ke warung minuman dulu. Aku haus.
Beberapa menit kemudian angkot yang kami tunggu datang. Sedikit luang. Tidak seperti biasanya yang penuh tak ketulungan. Sekali penuh, penumpang bisa duduk di jengkok kecil. Tambah menyesakkan, kalau penumpang membawa barang banyak. Benar-benar tidak nyaman. Dan artinya, uang dua ribu rupiah menjadi tak seimbang dengan fasilitas angkutan yang tidak manusiawi. Kadang juga harus dimaklumi, para sopir harus memburu penumpang untuk ngejar setoran. Kadang juga membuat kesal. Sudah tahu penuh, masih tetap ditambah. Alasannya, kasihan kalau penumpang tak terangkut. Padahal jelas, bukan maksud itu mereka memaksa mengangkut penumpang.
Seperempat jam sampailah di salah satu warung yang ku maksud. Ta di sini makanannya enak lho. Banyak pilihan jus buah, kalau kamu mau. Kita ambil meja yang di sana aja. Deket taman. Sergahnya dengan menarik tanganku. Iya, iya. Tapi gak perlulah kamu tarik-tarik tanganku kayak gini. Kayak aku anak kecil aja. Beberapa menit kemudian pelayan menghampiri meja kami. Aku pesan jus jambu merah. Sedang Tata memesan jus jeruk dan beberapa cemilan. Kamu gak makan Ta? Enggak. Belum laper banget. Ngemil aja.
Siang itu warung begitu ramai. Terik matahari yang panas nampaknya membuat sebagian orang berusaha mencari kesejukan. Seperti di pemberitaan media massa, pengaruh pemanasan global membuat cuaca tak menentu. Kadang panas dengan kelembaban yang tinggi. Kalau sudah sepert itu, sore atau malam harinya pasti hujan. Seperti siang ini, panas, tapi udara begitu lembab. Ekskresi keringat menjadi tak nyaman rasanya. Tubuh lembab, seakan keringat tak menguap.
Beberapa pengunjung nampak menikmati pesanannya. Ada satu meja yang penuh makanan. Bakso, ayam goreng, tambah gorengan di piring kecil. Tiga gelas es teh nampak menjadi teman penyantap hidangan. Ada juga beberapa pasangan muda-mudi yang asyik bercengkerama. Seakan mereka menikmati sekali suasana warung yang beratap daun kelapa ini. Sejuk. Kerangka bangun warung juga didesain sedemikian rupa, menjadikan udara segar leluasa masuk dan pergi membawa kepenatan para pengunjungnya.
Dit, kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi. Apa hebatnya tulisan? Tiba-tiba suara Tata membuyarkan pandanganku ke meja-meja pengunjung. Oh ... yang tadi. Lha kamu tadi kan sudah berpendapat, kalau tulisan hanya itu-itu saja. Kata kamu hebat musik. Iya, itukan pendapatku. Kalau menurutmu gimana? Selidiknya seakan tidak puas sebelum mendengarku memberi komentar.
Ta, kamu tahu beberapa hari yang lalu salah satu ormas melakukan demonstrasi di Bundaran HI? Jumlah mereka lebih dari lima ratus orang. Bertahan di bawah sengatan matahari untuk beberapa jam mendengarkan orasi dari beberapa teman mereka. Entah itu dibayar atau tidak. Tapi andaikan mereka bukan orang bayaran. Mereka memang menuntut atas kemauan sendiri. Menurutmu mengapa orang-orang seperti itu rela membuang waktunya untuk meneriakan yel-yel dan mendengarkan orasi? Sengaja aku tidak memberi jawaban langsung. Aku berikan kesempatan untuknya agar dia juga masuk dalam alam imajinasi pergerakan sosial.
Ya, karena mereka merasa dirugikan kebijakan negara. Kemarin kan demonstrasi tentang kenaikan BBM dan TDL kan? Ia berusaha memastikan.
Iya, betul. Lantas mengapa mereka tahu kalau kebijakan itu merugikan diri mereka? Tahu dari mana mereka.
Ya taulah. Aku aja tahu. Yang jelas kenaikan BBM dan TDL kan berakibat naiknya harga-harga yang lain, sebut sembako. Bagi kalangan menengah ke bawah kenaikan beberapa harga yang bersamaan sangat memberatkan. Apalagi kalau dalam usaha mereka menggantungkan sama minyak, bensin, listrik. Ya merugi, bisa-bisa ditinggal pembeli karena menaikan harga jual produknya.
Lalu apa hubungannya dengan pertanyaanku yang tadi? Kamu tuh ditanya A malah jawab B. Gimana sih! Tata mulai tidak sabar untuk mengetahui komentarku tentang apa hebatnya tulisan.
OK. Bentar Ta. Pertama, aku setuju dengan pendapatmu. Mereka tahu kebijakan itu merugikan mereka, karena mereka merupakan pelaku pasar. Jadi tahu kondisi riil yang terjadi di lapangan. Kalau secara teoritik, terserah kamu alergi teori apa enggak, kemampuan mereka untuk “tahu” itu melalui proses analisis kondisi material. Yakni proses analisis yang berangkat dari masalah di lapangan. Tapi, kalau kamu ingat, tawaran solusi apa yang mereka ajukan? Kamu jawab dulu pertanyaan ini.
Apa ya ... kalau gak salah mereka menawarkan solusi agar umat Islam di Indonesia menerapkan syariah Islam. Atau pemerintahan Islam. Kata mereka, sistem Islam tidak akan menghasilkan kebijakan yang pro-kapitalis semacam itu. Begitu kan? Benar gak?
Iya benar. Itu tawaran solusi mereka. Menurutmu mengapa dan dari mana mereka mengetahui kalau tawaran solusi itu bisa menyelesaikan masalah bangsa?
Ya dari analisis tadi.
Apa iya, hanya sekedar analisis kondisi material? Kalau iya, kenapa tawarannya bukan perbaikan sistem demokrasi? Kenapa tawarannya konsep yang sama sekali berbeda dengan demokrasi?
Mungkin dari buku yang mereka baca kali. Atau kalau pemerintahan Islam, mungkin mereka baca Al-Quran, terus menemukan konsep itu.
Nah itu dia Ta, kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri kan. Itu dia kehebatan tulisan. Kamu jangan lupa, tulisan itu hanya sekedar wujud kasat mata dari ide-ide yang kita keluarkan. Mungkin, bagi kamu medianya lewat musik. Tapi esensinya sama, tulisan atau musik hanyalah media. Yang menggerakkan orangnya adalah ide di dalamnya. Kehebatan tulisan tentunya akan tergantung pada kehebatan ide yang disampaikan oleh penulis di dalamnya. Novel Pram, buku Das Kapital karangan Marx, atau One Dimensional Man karangan Marcuse, sampai hari ini masih layak untuk dibaca. Tidak hanya layak, bahkan sampai hari ini masih banyak orang yang mengikuti ide-idenya untuk diperjuangkan. Gimana paham?
Iya. Aku mulai paham. Tadi aku baca satu judul di buku ini (Catatan Pinggir). The Death of Sukardal. Dan setelah aku baca, aku jadi ngrasa beda. Kayaknya selama ini aku terlalu enjoy dengan kehidupanku. Ya ... dengan rutinitasku setiap hari. Kalau gak ke studio buat rekaman atau liat kontrak, atau sekolah saben hari, paling-paling juga liburan ke luar kota buat konser. Seneng sih. Tapi, setelah mbaca, oh iya ya, ternyata di luar sana ada orang yang bernama Sukardal, tukang becak dan hidupnya sangat sulit. Sampai terpaksa bunuh diri karena becaknya rusak saat diamankan tramtib. Padahal berita-berita kayak si Sukardal sering aku tonton di TV atau baca di koran. Tapi kok beda rasanya dengan mbaca tulisan Goenawan Mohammad. Lebih hidup rasanya.
Nah, kalau yang kamu maksud adalah gaya tulisan. Itu sudah lain persoalannya. Idenya mungkin sama. Seorang tukang becak yang bernama Sukardal meninggal dunia karena bunuh diri. Tapi menjadi berasa lain, bagi para pembacanya, ketika disajikan dengan gaya penulisan yang berbeda, taruhlah esei a la Catatan Pinggir. Tentunya akan berbeda ketika kamu baca kolom straight news koran atau majalah lain.
Terus ... Ia menungguku memberi komentar lagi. Sebelum ku lanjutkan, aku teguk beberapa kali jus jambu yang ku pesan tadi. Ku nyalakan sebatang rokok filter untuk mengasapkan mulutku.
Pada titik itulah kehebatan tulisan yang sesungguhnya. Ide menjadi sesuatu yang biasa atau luar biasa, bedanya hanya melalui gaya penulisannya. Sebagai media, tulisan bisa kamu rasakan memiliki soul-nya sendiri. Mungkin sama kayak musik. Satu genre dengan yang lain berbeda soul-nya. Meskipun gaya penulisan tidak bisa secara mutlak kita lepaskan dari kepiawaian si penulis. Misal kamu, aku, terus Goenawan, menulis satu masalah yang sama, misal tentang bahaya merokok, pasti akan lain rasanya. Kamu mungkin akan puitis. Aku akan banyak data yang membuat orang bosan. Goenawan mungkin akan berada di antara gaya penulisan kita. Selain mengalir, dengan susastra yang halus, dia tidak segan menyelipkan data pendukung, namun tidak membuat kaku tulisannya.
Jadi, menulis itu ibarat memasak ya Dit? Bahan bakunya sama. Bumbunya sama. Pengolahannya saja yang mungkin berbeda. Dan hasilnya bisa berbeda.
Yup. Mudahnya seperti itu.
Oh iya. Ngomong-ngomong kamu mau pulang ke Jakarta kapan? Bukannya lusa katanya ada konser di Kalimantan?
Dit, kalau kamu tahu, menjadi Gita Gutawa, rasanya itu tidak enak. Terikat kontrak dengan berbagai pihak. Udah kayak gitu, manajer selalu ngawasi aktivitasku. Gak bisa aku setiap hari minum dan ngobrol dengan teman kayak sekarang ini ma kamu. Padahal aku jenuh dengan rutinitas yang padet itu. Untung ayah seringkali nyuport.
Curhat neh critanya ... Ledekku.
Terserah ... Dit, btw (by the way), dari tadi kita masuk ke warung ini kok rasanya gak ada yang kenal ma aku ya? Gak ada yang minta tanda tangan atau minta foto ya. He he he ...
Narsis lu ya ... Keenakan hidup jadi artis. Ha ha ha ... Mungkin mereka jarang liat wajahmu. Taunya suaranya tok. Apa tuh, sempurnaaa .... Sembari kutirukan syair salah satu lagunya yang sedang pop.
Ngledek lu ya ... biarin. Gini-gini kan fans-nya banyak. Gak kayak kamu.
Biarin juga. Gini-gini bisa nikmatin hidup. Gak kayak kamu yang diburu kontrak.
Dah yuk pulang. Dah jam empat neh.
Tanpa diminta Tata berdiri dan berjalan ke arah kasir. Ia membayar pesanan kami. Tak diduga-duga, beberapa cewek mendekatinya. Mbak Gita kan? Mbak minta tanda tangannya dong. Sekalian foto ya.
Dengan senyum kecilnya ia melirik ke arahku sambil mengerlingkan ujung matanya. Seperti berkata, “Benarkan, fansku banyak”.
Aku hanya diam. Duduk menunggunya menyelesaikan salah satu ritual sebagai artis. Aku ambil Catatan Pinggir di tasnya. Aku tulis di halaman depan, “Untuk Gita, semoga tetap menunduk seperti padi. Meski lantunan suaramu terus melengking naik. Proficiat!” Aku bubuhkan tanda tangan dan inisial namaku, el-ferda.
Tak lebih dari setengah jam ritual jumpa fans itu selesai. Udah Ta. Gimana puas ... hehehe.
Iya, lumayanlah. Narsis-narsis sedikit. Yuk jalan.
Jam menunjukan pukul empat lebih tiga puluh menit. Biasanya jam-jam sore seperti ini angkot yang menuju hotel kami menginap sudah jarang. Akhirnya Tata mengambil inisiatif dengan menelpon operator taksi. Sepuluh menit kami tunggu. Taksi pun datang.
Dua puluh menit kemudian taksi yang kami tumpangi sudah sampai di parkiran hotel. Setelah membayarnya, kami lekas-lekas masuk ke hotel dan menuju lift. Khawatir kalau ada orang yang mengenali wajah Gita. Sudah kecapaian katanya. Kami tekan tombol nomor lima. Selang tiga menit kami sampai di lantai lima. Kami masuk ke kamar masing-masing. Sebelah menyebelah. Nomor 215 dan 216.
Dit nanti keluar jam tujuh aja ya. Aku pingin berendam dulu. Capek sekali badanku.
Iya. Aku juga.
Waktu itu kami berendam air hangat bersama. Di tempat yang berbeda. []
4/3/2008
0 comments :
Posting Komentar