Makanan Anak Kos

Oleh: Firdaus Putra A.

Di sebelah kiri saya sepasang muda-mudi memesan nasi putih dengan telor ceplok. Sedangkan saya yang sudah datang sebelum mereka, memesan nasi goreng dengan telor dadar. Harga nasi goreng di warung itu memang terbilang murah, hanya Rp 2500. Tentunya dengan rasa yang ala kadarnya. Lebih tajam rasa manis kecapnya daripada gurihnya bumbu dapur. Saya tidak tahu persis harga menu nasi putih dan telur ceplok yang dipesan mereka. Anggaplah nilainya sama, Rp. 2500.

Meskipun saya memesan lebih awal, dan makan lebih awal, tapi lantaran sembari mebaca koran Kompas, mereka selesai lebih dulu. Nasi goreng yang saya pesan pun tidak habis ludes seperti biasa ketika saya lapar. Masih ada sisa. Memang saat memakannya saya memilih bagian nasi yang tidak terlalu mengkilat terkena minyak goreng. Bahkan sisa nasi yang tidak saya makan terlihat kehitam-hitaman, mungkin pengaruh minyak goreng dan kecap.

Keluar dari warung itu, saya berjalan menuju kos. Di sepanjang jalan saya merasakan sesuatu yang tidak enak di tenggorokan. Gatal, dan sepertinya banyak dahak berkumpul. Dan betul, sesampai di kos, saya harus bolak-balik membuang ludah berikut dahak yang ada. Benar-benar tidak enak rasanya.

Saya berpikir, sungguh cerdas pilihan menu pasangan muda-mudi itu. Mereka memilih menu yang miskin minyak goreng. Nasi putih dan telor ceplok. Praktis yang digoreng hanya telornya. Itupun tidak terlalu menyerap minyak. Berbeda dengan telur dadar yang pasti membuat rongga udara di dalamnya, yang akhirnya menyerap minyak dalam jumlah banyak.

Saya berasumsi tenggorokan saya gatal lantaran minyak yang digunakan untuk menggoreng nasi dan telor. Seperti warung-warung lesehan yang lain, biasanya minyak goreng yang digunakan merupakan minyak yang sudah sekian kali pakai. Di lain warung, yang letaknya tidak jauh dari kos saya, minyak goreng yang dipakai berwarna kehitam-hitaman dan berbusa. Bukan kuning kemerah-merahan. Tentunya minyak tersebut sudah berapa kali pakai atau bisa juga sisa penggorengan kemarin. Memang, saya tidak pernah mencoba mengklarifikasi. Takut kalau menyinggung perasaan di penjual.

Saya hanya menduga, minyak goreng yang sudah kesekian kali pakai tersebut digunakan untuk menekan biaya produksi. Bayangkan seandainya dalam satu hari mereka menghabiskan 10 sampai 20 kg minyak goreng, maka biaya produksinya relatif besar. Dengan minyak goreng bekas kemarin, mereka cukup membeli 10 kg yang baru sebagai campurannya. Tentunya para penjual tidak terlalu memikirkan dampaknya bagi kesehatan konsumen. Apalagi saya tahu persis yang jaga di warung sebelah kos saya bukanlah pemiliknya. Jadi mereka hanya ikut aturan dari bos si pemilik usaha tersebut.

Pernah saya membaca satu artikel kesehatan di koran Suara Merdeka yang menggambarkan bagaimana minyak goreng akan mengalami ‘mutasi rantai kimia’ setelah kesekian kalinya digunakan. Saya tidak hapal dan paham persis tentang istilah kimiawi tersebut. Hanya saja saya paham bahwa suhu akan menyebabkan rantai kimia minyak goreng berubah. Perubahan rantai kimia tersebut menjadikan minyak goreng yang kita konsumsi berpotensi mengendap dan tidak terolah baik dalam tubuh. Akibatnya, pembuluh darah kita bisa menyempit karena penyumbatan dari lemak yang terkandung dalam minyak jenuh yang kita konsumsi. Penyumbatan pembuluh darah bisa mendatangkan penyakit jantung. Sedangkan perubahan rantai kimia minyak, dalam tempo lama, frekuensi yang sering akan merangsang munculnya sel kanker (karsinogenik). Karena sebenarnya minyak goreng yang sudah kesekian kalinya digunakan merupakan minyak rusak yang tidak layak konsumsi. Seperti itulah jika saya tidak salah tangkap dari artikel di koran tersebut.

Ironisnya realitas yang merusak kualitas hidup tersebut dekat dengan kehidupan anak kos. Setiap hari mereka mengkonsumsi makanan yang sebenarnya tidak sehat. Pernah saya membayangkan apa yang akan terjadi selama kurang-lebih empat tahun makan dengan gaya yang kurang sehat? Ditambah gaya hidup anak kos juga relatif kurang sehat. Istirahat kurang karena tidur larut malam atau dini hari. Kurang olah raga. Bagi yang laki-laki menjadi semakin kompleks karena merokok, kecanduan kopi apalagi ada sebagian yang gemar mengkonsumsi alkohol. Sedangkan bagi yang perempuan, mereka rela menyisihkan uang makannya untuk sekedar membeli pakaian tiap bulan. Parahnya gaya hidup yang semacam ini tidak diimbangi dengan asupan gizi yang baik. Alhasil, dengan gaya hidup tersebut secara fisik dan prestis anak kos terlihat baik. Tetapi, saya yakin sebenarnya tubuh anak kos relatif rapuh.

Mungkin untuk membuktikan hipotesis itu perlu dilakukan penelitian yang mendalam terkait kecenderungan penyakit yang diidap anak kos. Tidak terlalu sulit, cukup meminta data rekam medik ke klinik-klinik kesehatan di sekitar kampus untuk mengetahui macam-macam penyakit yang sering dikeluhkan. Atau jika ingin diperluas, penelitian tersebut bisa mengungkap kenapa kecenderungan hubungan seks di luar nikah pada anak kos relatif tinggi. Jangan-jangan ada hubungannya dengan pola makan dan asupan gizi yang mereka terima.

Terlepas dari itu semua, memang sulit mencari pangkal masalah dari penggunaan minyak goreng bekas. Penjual yang senantiasa mencari laba tidak ingin biaya produksinya membengkak tajam. Taruh lah mungkin, besarnya biaya produksi—dengan asumsi makanan menjadi laik konsumsi—akan dibayar mahal oleh anak kos. Dan ujung-ujungnya hal ini menyebabkan orang tua mahasiswa kewalahan untuk membiayai hidup anaknya selama kuliah.

Terkait dengan masalah itu, pernah sekali waktu saya ingin menulis surat terbuka kepada Dinas Kesehatan dan Pengawas Makanan tingkat kabupaten. Saya berharap minimalnya ada semacam operasi pasar atau pemantauan untuk menjaga mutu makanan di lingkungan kos. Tapi niat tersebut saya urungkan, takut-takut akan membebani para penjual yang sebagian besar menggantungkan nasibnya dari anak kos. Selain itu, takut kalau peng-higienitas-an terjadi, makanan yang tadinya cukup terjangkau menjadi semakin mahal. Kembali lagi, orang tua bisa repot.
Jadi sampai sekarang saya sendiri bingung melihat fenomena yang kurang sehat ini. Hanya bisa menyarankan, sebagai konsumen minimalnya kita jeli dalam mengkonsumsi makanan setiap harinya. Salah-salah, tubuh kita rapuh, dan otak kita pun menjadi kian tumpul. Karena sampai saat ini, saya masih meyakini bahwa makanan yang setiap hari kita cerna sangat menentukan perkembangan psiko-biologis tubuh kita. []

2/3/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Anonim mengatakan...

iya..
q jg ank kos dan tiap hr kbnykn mkan mi instan yg kdar gizinya rndah..
akh,
mulai skrg q mw coba mkn yg shat2 ah..