Puisi Rupa Made Wianta
Oleh: Firdaus Putra A.
Di rak buku saya bertambah enam koleksi lagi, salah satunya Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York. Satu buku karangan Made Wianta, seorang perupa seni asal Bali. Buku tersebut merupakan antologi puisi Made. Menengok judulnya, saya dibuat penasaran.
Saya baca satu persatu secara acak beberapa puisi. Jujur, saya bingung. Bingung karena tak pernah paham puisi tersebut berkisah atau bercerita tentang apa. Saya nukilkan satu puisi dari buku tersebut;
hilang sudah
menarik napas terpenggal
mungkin saja
jari mencari aba-aba
sekian juta pori-pori
hendak merdeka
(2003: 224)
Puisi tersebut ditulis tanpa judul. Hanya tanggal, yakni 27 September 2001. Tidak hanya pada puisi di atas, pada yang lain saya juga bingung. Untungnya halaman akhir, ada beberapa esai dari kritikus atau pengamat sastra yang memberikan ulasan terkait dengan karya Made Wianta. Salah satunya Sindhunata.
Menurutnya, puisi Made Wianta tergolong abstrak. Made berangkat dari kegelisahan dirinya terhadap apapun. Hanya saja, seringkali media untuk mengekspresikan kegelisahannya terbatas. Seni rupa, terbatas hanya pada lukis, gambar, ukir dan sebagainya. Pun seni tulis. Yang tidak memungkinkan membawa ke mana-mana perlengkapan seninya. Untuk itu, puisi Made masuk dalam golongan baru, di antara keduanya, “puisi rupa”.
Pada suatu kesempatan, Sindhunata dan beberapa kawan, meminta Made untuk mendemonstrasikan kerja “puisi rupa” tersebut. Made menyanggupi dengan satu syarat. Yakni, agar salah satu dari mereka—Sindhu dan beberapa kawan—mau menjadi medianya. Mereka menyanggupi. Kemudian, Made meminta wajah Arahmaiani untuk menjadi media ekspresinya. Ditulislah sebuah kalimat, “Satu Muka Satu Kalimat” di wajah Arahmaiani dengan sebuah spidol.
Begitulah “puisi rupa” dikerjakan. Melalui medium yang di luar kebiasaan, kertas tulis. Seperti Made juga pernah memanfaatkan tiket kereta, sobekan majalah, kertas tisu, dan sebagainya untuk mengekspresikan kegelisahannya, ketika ia tidak menemukan kertas tulis standar. Atau justru, dengan medium yang ada dihadapannya saat itu, puisi yang dituliskannya mengandung makna melampaui isi teksnya. Menjadikan teks dengan medium di mana teks ditorehkan melahirkan semacam jejaring keindahan tersendiri.
Seperti yang diungkapkan oleh Ema Sukarelawanto, editor buku tersebut, “Bagi saya, selain menarik secara puitik, keseluruhan bangunan puisi yang ditulis di berbagai media itu secara visual memberikan kesan artistik. Wianta tidak hanya menulis puisi, terkadang memberikan sentuhan rupa pada kertas daur ulang yang dipakainya. Coretan-coretan spontan merespon gambar-gambar asli dari sobekan majalah atau tiket kereta yang dia gunakan. Seolah ada benang merah antara “garis” dalam lukisannya dan “kata” pada puisinya” (2003: ix).
“Puisi rupa” menurut saya, pada dasarnya usaha mengawinkan antara teks puisi dengan medium yang digunakan. Hasil perkawinannya tidak semata-mata karya puisi. Melainkan juga karya rupa. Tentunya, “puisi rupa” akan menjadi hilang daya magnetnya justru ketika ditulis di atas kertas putih. Atau juga diketik melalui komputer. Teks kehilangan konteks. Membacanya hanya sebagai teks, kita hanya akan menemukan susunan kata-kata abstrak yang entah apa maknanya, selain hanya Made Wianta yang tahu.
Seperti itu juga ketika puisi Made Wianta dibukukan. Antologi puisi, Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York, justru telah mencerabut keindahan teks dari mediumnya. Abstrak. Dan sama sekali tak terasai.
Saya mensinyalir bahwa puisi tersebut ditulis Made secara spontan, seketika. Saat ia mengalami pengalaman tertentu, kapan dan di manapun tempatnya. Alhasil, dengan media apapun. Yang penting, kegelisahan terhadap pengalaman itu harus ia ekspesikan secara cepat agar tak menguap.
Tanpa pernah kita tahu konteks medium di mana puisi tersebut ditorehkan, kita hanya akan membaca segundukan kata yang ngartistik dibawah bayang-bayang pengkarya. Coba imajinasikan, jika saya atau Anda yang menulis susunan kata-kata (baca: puisi) di bawah ini,
Sembako Naik
besok siap
bangun pagi
bekerja rakyat
untuk lusa
kamera digital
laksana malaikat
dingin panas
Mintalah orang lain untuk membacanya. Atau kebetulan orang lain membaca tanpa sepengetahuan saya/Anda. Apa komentarnya? Hanya susunan kata-kata yang entah apa maknanya. Atau, jika kebetulan ditulis di atas buku kuliah, mungkin dikira pointer hasil kuliah. Atau mungkin juga semacam rencana kegiatan. Namun tentunya, kita akan mencari makna, apa yang sebenarnya diinginkan pengkarya, mana kala kita tahu bahwa susunan kata tersebut dibuat oleh seorang sekaliber Made Wianta. Jadilah susunan itu “nampak” indah lantaran terbayang-bayangi oleh nama besar pengkarya atau penulis.
Pernah juga dunia sastra Indonesia geger oleh sebuah puisi yang berjudul “Malam Lebaran”. Puisi tersebut menjadi polemik karena ‘kesederhanaannya’ yaitu Cuma berisikan satu baris yang tersusun empat kata, “Bulan di atas kuburan”. Menurut GR. Lono Simatupang (dalam makalahnya dengan judul “Menulis Dalam Tradisi Cultural Studies”, tahun 2006), “Orang-orang menjadi bingung, bagaimana menafsirkan puisi tersebut? Kritikus sastra pun ikut sibut menafsirkan”. Sekali lagi, lantaran yang menulis susunan kata tersebut adalah Sitor Situmorang.
Ada banyak pendapat. Ada pengamat seni yang menyatakan bahwa Sitor salah. Mengapa? Karena pada malam lebaran tidak mungkin bulan bisa dilihat dengan mata telanjang. Ia harus menggunakan teropong untuk menentukan sudah muncul atau belum si bulan sebagai pertandan lebaran. Komentar ini dinyatakan oleh para penganut paham positivis-naturalisme.
Berbeda lagi tafsir yang diberikan oleh para penganut paham simbolik. Mereka berpendapat, bahwa benda-benda yang disebut dalam larik puisi tersebut mewakili simbol-simbol tertentu. Kemudian mereka melakukan penyejajaran atau metaforisasi kata. Seperti, lebaran dengan bulan. Malam dan kuburan. Dan masing-masing metafor memiliki makna tertentu. Lebaran dengan bulan mengandung makna putih, terang, bersih. Selanjutnya diasosiakan pada ‘kebaikan’.Sedang, malam dan kuburan dimaknai sebagai gelap, kotor, hitam. Asosiasinya mengarah pada ‘keburukan’ atau ‘dosa’.
Metaforisasi tersebut akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa makna puisi “Malam Lebaran” yakni “Terang (putih/bersih/suci) di atas (mengatasi) gelap (hitam/kotor/dosa). Mungkin itu salah satu usaha tafsir yang dipandang mencukupi terhadap puisi karya Sitor Situmorang.
Akhirnya, untuk tidak masuk dalam polemik yang panjang, dihadirkanlah Sitor Situmorang pada sebuah forum. Dimintalah penjelasan tentang makna “Malam Lebaran” yang ditulisnya. Bertuturlah Sitor, suatu malam ia berjalan kaki hendak menuju rumah Pramoedya Ananta Toer, dan ternyata ia tersesat. Di saat tersesat, ia melihat sebuah tembok putih. Ia penasaran, apa yang ada dibalik tembok itu. Maka, ia lantas naik ke atas batu dekat tembok dan melongok ke dalamnya, “ ... Oo ... kuburan”. Kemudian ia turun dan melanjutkan perjalananya mencari rumah Pram.
Ternyata pengalaman tersebut mempunyai makna tertentu bagi Sitor. Ia kemudian ekspresikan melalui sebuah puisi, “Malam Lebaran”. Yang isinya satu baris dari susunan kata, “Bulan di atas kuburan”.
Mungkin kita saat mendengar kesaksian Sitor akan merasa heran, lucu, atau tak percaya. Bahwa puisi, yang konon katanya menjadi polemik merupakan ekspresi dari pengalaman melihat tembok, ada kuburan di dalamnya, saat ia tersesat mencari rumah Pram. Tidak ada yang lain.
Saya rasa begitu juga dengan puisi karya Made Wianta. Hanya ia yang tahu makna sebenar-benarnya. Sebuah ekspresi dari pengalaman seperti apakah yang dilahirkan oleh susunan kata-kata yang nampak abstrak.
Jadi agar kita tidak bingung membaca “puisi rupa” karya Made, enaknya kita tanya langsung pada si empunya. Atau minimal-minimalnya, kita lihat medium apa yang digunakan untuk menuliskan puisi tersebut.
Dan jika Anda merasa kesulitan untuk mengetahui makna di balik puisi “Sembako Naik”, cobalah tanya ke saya. Saya menyusunnya dengan mengingat momen tertentu. Atau jika Anda tidak ingin bingung, susunlah puisi Anda sendiri. Toh, ternyata mudah, pada pangkalnya puisi atau seni merupakan ekspresi si pengkarya terhadap suatu pengalamannya tertentu.
Meskipun tentunya puisi saya atau Anda, tidak akan menimbulkan polemik yang menyeret para pengamat seni, kritikus sastra, dan lain sebagainya untuk turun kaki menafsirkannya. Karena, sebelum saya atau Anda menjadi sekaliber Sitor, Made, maka ekspresi kita hanyalah sebatas ekspresi. Semacam adanya otoritas atau kuasa yang menentukan mana itu seni dan mana tidak. Salah satunya yakni kebesaran atau kepopuleran nama pengkarya. Anda setuju? []
18/03/2008
0 comments :
Posting Komentar