Oleh: Firdaus Putra A.
Apa yang tak dijual oleh industri? Nyaris tidak ada. Mulai dari yang kasat mata, sampai yang gaib. Hantu-hantu misalnya, dijual melalui industri hiburan. Sampai yang sedang pop, berbagai macam kontes menyanyi dibuat guna menghibur pemirsa, alih-alih merogoh kantong pemirsanya melalui SMS dukungan.
Sampai tidak sungkan-sungkan lagi industri hiburan menjual masa kanak-kanak para putra bangsa. Dengan dalih sebagai upaya menggali potensi atau bakat menyanyi yang terpendam. Dibuatlah kontes menyanyi dalam tajuk “Idola Cilik”. Apa yang kurang pantas? Sepintas lalu kontes menyanyi ini tidak berbeda dengan konstes menyanyi yang lain, sebut saja, Indonesian Idol, AFI, Superdut, Mamamia, KDI, dan seterusnya. Beberapa yang saya sebut rata-rata berpeserta dewasa. Ada juga campuran antara orang tua dengan si anak, seperti pada Mamamia.
Mari kita tengok sebentar tayangan Idola Cilik di salah satu televisi swasta. Sebuah tayangan yang menyuguhkan kemahiran anak-anak melantunkan lagu-musik tertentu. Kemahiran juga untuk berkompetisi di usia belia. Ya, atas nama bakat, minat dan kemampuan serta kemauan si anak diarahkan—entah oleh orang tua atau produser—bernyanyi dan melenggak-lenggokan badan mengikuti irama musik. Bagi orang tua, minimalnya ajang itu melatih si anak untuk menjadi seorang entertain. Hitung-hitung investasi untuk masa depan.
Tidak ada yang baru dari kontes menyanyi di beberapa stasiun televisi. SMS dukungan masih menjadi tren penilaian. Dewan juri, atau lebih tepatnya komentator, berfungsi sebatas memberi komentar terhadap penampilan peserta. Selebihnya, hukum alam yang akan bermain, “Siapa yang kuat, dialah pemenangnya”. Entah kuat dalam arti bakat, atau kuat dalam arti modal. Karena penilaian via SMS memungkinkan si empunya banyak pulsa untuk memenangkan idolanya.
Namun ada yang lebih miris daripada sekedar pertarungan ala hukum rimba. Masa kanak-kanak tergadaikan dengan harapan kehidupan yang gemerlap. Lihatlah, para peserta Idola Cilik tidak lagi melantunkan “tembang bermain”. Mereka melantunkan syair-syair cinta, remaja, dan kehidupan orang dewasa. Lebih dari itu, gaya berpakainkan pun sudah diatur sedemikian rupa menyesuaikan syair lagu. Tentunya juga mimik, bahasa tubuh dan lain sebagainya. Tuntutan penghayatan akan lagu menjadi mantra ajaib yang menyulap penampilan anak-anak menjadi pseudo-dewasa, seakan-akan dewasa.
Hilanglah keceriaan anak-anak belia yang innocent memandang dunia. Hilanglah kemalu-maluan yang senantiasa membuat lucu kehidupan. Hilanglah keluguan dari anak-anak yang bisa mangatakan “tidak” pada apa-apa yang tidak ia senangi. Hilanglah masa mereka menjadi sepenuhnya anak-anak sesuai dengan kebiasaan anak-anak seumurannya. Bermain, belajar, bergaul dengan teman sebayanya dan sebagainya.
Saya tidak bisa membayangkan kodisi pskologis semacam apa yang mereka hadapi. Apakah kebahagiaan ketika komentator memberi apresiasi positif terhadap penampilannya. Atau kecewa dan tertekan ketika penampilannya tidak sesuai yang diharapkan. Dirinya bukan lagi miliknya. Ia milik komentator, koreografer, produser, supporter, produk iklan dan tentunya juga orang tua.
Saya juga tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Beberapa anak, sebut saja, Umay, JJ, Cindy dan kawan-kawannya, dibiasakan hidup dalam gelombang kompetisi. Perlombaan, hanya ada menang atau kalah. Sebuah potret dunia yang vulgar namun berbalut kelembutan cara, atas nama kontes bakat-minat. Terjebak dalam gelombang kompetisi, lantas kemana pancaran ketulusan mereka. Apakah masih ada rasa tulus seperti sedianya anak-anak seumuran mereka.
Gelombang kompetisi juga bisa membuat hidup mereka selalu dalam kalkulasi untung-rugi. Nalar semacam ini mudah menghujam ke benak mereka. Habitus atau kebiasaan akan membawa nalar mereka sesuai dengan apa yang menyelimuti kehidupannya. Ya, seorang idola cilik yang harus menang jika ingin sukses.
Saya juga tidak bisa membayangkan penghayatan seperti apa yang mereka alami ketika melantunkan syair-syair percintaan. Apakah mereka memahami dan menghayati apa yang mereka lantunkan? Atau mereka nampak seperti robot yang disetir oleh berbagai request pihak-pihak tertentu. Tentunya ada alam jiwa yang berbeda untuk anak seusia mereka dengan para pendendang dewasa. Tentunya, realitas percintaan seperti dalam syair tidak pernah mereka alami atau hadapi.
Menyaksikan kontes Idola Cilik seperti menyaksikan orang dewasa menyanyi yang terperangkap dalam tubuh anak-anak. Ada rasa kasihan yang mendalam. Ketika di usia belianya mereka sudah menjadi lain. Belajar menjadi orang lain, yakni menjadi orang dewasa.
Sepenggal harapan saya utarakan kepada para orangtua, jelilah dalam mendorong bakat-minat anak-anak. Jangan asal melihat peluang yang menggiurkan untuk masa depan si anak, lantas mereka “dikorbankan” untuk menjadi diri yang lain. Saya tidak tega melihat Umay, JJ, Cindy dan kawan-kawannya yang harus membayar mahal dengan melepas masa kanak-kanak mereka.
Kepada produser, sudah habiskah ide kreatif nan menghibur, tanpa harus mengorbankan orang lain. Memang para peserta secara sukarela mendaftar, namun tanpa adanya lowongan, saya kira pendaftaran tidak mungkin ada. Begitu bukan logika conditio et possibility-nya?
Kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mohon tayangan semacam ini diperhatikan dan bila perlu diberikan teguran. Saya yakin orang semacam Kak Seto mampu membaca secara visioner apa-apa yang akan terjadi secara kejiwaan bagi para peserta yang masih belia itu.
Terakhir, semoga anak-anak Indonesia tetap menjadi anak-anak, dalam dan untuk dirinya. Semoga bermanfaat. []
2/3/2008
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar