Cinta, Jender, & Empowering
Refleksi atas Kegelisahan
Oleh: Firdaus Putra A.
Tulisan ini berangkat dari masalah yang sering kali membuat kekasih saya minder bahkan sakit hati. Seringkali kawan-kawan kampus saya meledek kekasih saya, Wahyuningsih, “Kamu kok mau pacaran sama Firdaus? Kamu diperdayai sama dia ya?”. Mungkin bagi mereka lontaran-lontaran semacam dimaksudkan hanya sebagai candaan. Atau mungkin juga serius. Dengan gusar, Wahyu lantas bertanya kepada saya, “Memang salah atau tidak pantas ya kalau aku jalan sama mas?”.
Dulu ketika saya jadian dengan Wahyu, yang notabenenya satu kampus, banyak kawan-kawan yang tidak percaya. Persoalannya mereka melihat di antara kami konon katanya sangat jauh berbeda. Firdaus yang aktivis kampus—sebenarnya saya bimbang menggunakan istilah itu. Wahyu yang mahasiswa biasa. Firdaus yang MAPRES (Mahasiswa Berprestasi). Lagi, Wahyu yang mahasiswa biasa. Firdaus yang dikenal banyak orang lantaran kecerdasannya. Untuk kesekiankalinya, Wahyu, yang mahasiswa biasa saja.
Saya pun menjadi miris mendengar keluhan Wahyu. Saya menyadari kalau selama ini namanya selalu terbayang-bayangi “nama besar” saya. Dan saya mulai merasakan atas ketidaknyamanan yang ia terima dari kawan-kawan saya yang konon aktivis kampus itu.
Melalui coretan ini, saya ingin merefleksikan ulang tema cinta, jender, dan pemberdayaan sosial. Sedikitnya tiga masalah itu yang kemudian membebani pikiran, tidak hanya Wahyu, juga saya.
Pertama, sebenarnya tidak ada yang salah atau tidak tepat ketika saya “menemukan” atau “memilih” Wahyu sebagai seorang kekasih. Saya tidak mempunyai rasionalisasi terkait dengan perasaan itu, cinta. Saya hanya merasakannya, dan ia pun merespon dengan perasaan yang sama. Dan saya meyakini, tidak perlu rasionalisasi yang mencukupi untuk menjelaskan mengapa dulu dan sampai sekarang saya mencintai Wahyu. Kenapa? Karena hal ini adalah masalah perasaan.
Justru ketika saya melakukan rasionalisasi, saya hanya akan terjebak kepada manipulasi terhadap perasaan kemanusiaan saya sepenuhnya. Maka, dengan tegas, saya mengatakan tidak ada masalah (dalam artian benar-salah) seseorang yang mencintai orang lain karena perbedaan latar belakang atau banyak perbedaan lainnya. Karena perasaan semacam itu merupakan fitrah dan bahkan anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Kedua, ketika kawan-kawan—dan seringnya laki-laki—meledek Wahyu seperti di atas, saya khawatir bahwa pandangan semacam itu merupakan konstruksi jender yang timpang. Wahyu (perempuan) tidak bisa dipandang secara utuh sebagai Wahyu yang perempuan. Ia senantiasa dipandang berdasarkan referensi tertentu, yakni Firdaus, kekasihnya yang laki-laki.
Masalah tersebut sama dengan kecenderungan yang ada di masyarakat, misal, garis keturunan yang berlaku di masyarakat Jawa dengan mengikuti garis Ayah, menjadi bin atau binti Fulan. Referensi selalu menuju pada figur laki-laki yang patriarkhis. Dan nampaknya, sebagian kawan-kawan saya juga mengalami kecenderungan yang serupa. Ketika ngobrol dengan Wahyu, mereka tidak bisa melepaskan cara pandang patriarkhi referensial tersebut.
Contoh kasus, ketika Wahyu ingin mengikuti Diklat Junalistik Dasar, seorang screener menanyakan kepada Wahyu, “Kamu ikut Diklat pasti disuruh Firdaus ya?”. Atau ketika Wahyu terlibat dalam kepanitiaan OSPEK. Selalu saja mereka mengira bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan saya.
Secara jujur saya katakan ya! Namun, saya tidak pernah memaksa Wahyu untuk mengikuti kegiatan kampus tertentu. Saya hanya memberi gambaran tentang kegiatan kampus. Pilihan bebas dan kehendak sadar tetap berpulang pada dirinya sebagai seorang mahasiswa. Sebagai bukti, sebenarnya semenjak SMA Wahyu cukup aktif pada kegiatan sekolah. Dulu di sekolahnya ia sempat menjabat Sekretaris OSIS. Artinya, secara mandiri, sebenarnya Wahyu merupakan individu yang cerdas dan bebas. Ia bukanlah boneka Firdaus. Sekali lagi, bukan boneka milik saya!
Ketiga, ketika saya memotivasi agar Wahyu memasuki ruang publik—dalam artian mengikuti kegiatan-kegiatan di kampus, apakah hal semacam itu salah? Lebih jauh, bukankah hal semacam itu merupakan wujud pemberdayaan sosial yang paling konkret? Sayangnya, beberapa kali proses semacam itu harus kandas di tengah jalan lantaran stereo tipe yang senantiasa ditujukan kepadanya. Alhasil, biasanya kami berdua terlibat dalam pertengkaran. Yang sebenarnya, sumber masalah dari pertengkaran itu adalah pandangan orang lain, yakni kawan-kawan aktivis kampus, yang menurut saya masih bias jender.
Sampai hari ini saya tetap mendukung Wahyu untuk tetap mau memanfaatkan ruang publik. Hanya saja, kepercayaan dirinya mulai terkikis. Dalam suatu kesempatan ia mengeluh, “Ade sebel lho sama temen-temen mas!”.
Jika sebagian kawan-kawan menganggap bahwa saya memperdayai Wahyu, saya katakan bahwa hal itu salah besar. Ketika Wahyu mendapat tugas untuk mata kuliah tertentu (membuat makalah), saya hanya membantu dalam rangka menyiapkan bahan, membantunya mengalisis dan mengeksplorasi masalah dan seterusnya. Saya tidak pernah sama sekali membuatkan tugas untuknya. Pertama, masalah ini terkait dengan intellectual fairness atau kejujuran intelektual. Kedua, ketika saya membuatkan tugas kuliahnya, bukannya hal tersebut justru yang dinamakan dengan memperdayai, membodohi atau membohongi dirinya?
Apa yang saya usahakan untuk dirinya adalah dengan memberinya kemerdekaan berpikir, kemerdekaan intelektual. Jika saya ingin memperdayainya, untuk apa saya berlelah-lelah memotivasi agar ia mengikuti kegiatan kampus. Juga, untuk apa saya harus bersusah-susah senantiasa memberikan sejumlah buku yang pantas ia baca.
Jika benar-benar saya ingin memperdayainya, maka semua tindakan-tindakan saya selama hanya akan menghambat motif itu, lantaran dengan membaca buku, mengikuti banyak kegiatan, menjadikan dirinya bertambah cerdas dan mandiri. Jika benar-benar saya ingin membodohi atau membohonginya, maka alangkah tepat jika saya menjerumuskannya hanya pada masalah domestik, tanpa pernah mendiskusikan tentang penindasan terhadap perempuan atau kekerasan terhadap perempuan, dan isu-isu sosial lainnya.
Sayangnya, tindakan penjerumusan pada ruang domestik itu tidak saya lakukan. Mengapa? Karena saya mencintai dirinya sebagai seorang kekasih, juga sebagai seorang perempuan. Saya masih meyakini, bahwa seharusnya saya bisa memberdayakannya, menguatkannya, dan mendukungnya. Bukan sebaliknya. Lantaran, sekurang-kurangnya, saya menyadari bahwa pemberdayaan sosial terkecil dan terdekat adalah dengan keluarga kita, pun dengan kekasih kita. []
11/04/2008
0 comments :
Posting Komentar