Diseminasi Wacana;


Sebuah Investasi untuk Masa Depan
Oleh: Firdaus Putra A.

Judul di atas muncul dari hasil diskusi saya dengan Agung Mahdi. Dalam satu kesempatan tertentu kami ngobrol panjang lebar terkait dengan gerakan mahasiswa. Sampai pada titik tertentu, Agung mengkritik LS Profetika (salah satu lembaga yang saya kelola), bahwa LS Profetika (selanjutnya kita singkat dengan Profetika) mengurusi masalah yang belum terlalu dibutuhkan masyarakat.

Perlu diketahui, Profetika merupakan lingkar studi yang concern pada masalah sosial-agama. Berbeda dengan ormas atau gerakan mahasiswa lainnya, lembaga ini lebih berbasiskan ide dalam strategi gerakannya. Isu yang diangkat seputar masalah agama (dalam pengertian sosiologis bukan normatif), seperti pluralisme, inklusivitas, sikap berdemokrasi, nalar dalam beragama, dan lain sebagainya. Untuk itu, yang perlu diingat bahwa term sosial-agama merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Mengingat Profetika lebih mengkaji praktik-praktik kebergamaan masyarakat daripada ajaran-ajaran normatif dalam agama itu sendiri.

Kritik itu sekali lagi berangkat dari logika bahwa seharusnya gerakan mahasiswa memberi solusi bagi masalah konkret yang dihadapi bangsa. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam pernyataan itu. Dan saya pun (atas nama Profetika) setuju. Untuk itu, gerakan Profetika juga harus dilihat dalam perspektif semacam itu. Kajian sosial-agama yang dilakukan Profetika juga dalam rangkan memberikan pandangan alternatif bagi bangsa Indonesia yang semakin karut-marut.

Bedanya, Profetika concern atau mengkonsentrasikan diri hanya pada masalah sosial-agama. Jadi, saya lebih melihat hal ini sebagai fokus gerakan atau lokus gerak satu organisasi tertentu. Kritik semacam ini sebenarnya sudah sering saya dapatkan. Bagaimana Profetika seharusnya juga menyuarakan keadilan sosial dan perjuangan kaum tertindas. Seringkali para pengkritik—termasuk Agung—melupakan fakta, apakah akan dengan sendirinya masalah keberagamaan umat yang hari ini terlalu dangkal, instan, penuh fanatisme, dan tidak menutup ke arah fasisme, akan selesai ketika masalah kemiskinan atau kesejahteraan sosial selesai? Saya rasa tidak!

Beberapa hari yang lalu saya membaca buku laporan hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tetang kerusuhan 13-15 Mei 1998. Banyak pengamat yang melihat bahwa salah satu penyebab dari kerusuhan dan perkosaan yang menimpa sebagian besar etnis Cina disebabkan oleh faktor kemiskinan masyarakat. Padahal, temuan TGPF di lapangan membuktikan hal yang sama sekali berbeda, bahwa kerusuhan dan kasus perkosaan massal yang berbau ras tersebut tidak ada hubungannya dengan faktor kemiskinan di masyarakat (Jakarta, Solo, Medan, dan kota-kota besar lainnya). Tragedi kemanusiaan tersebut lebih disebabkan oleh politik pembiaran dari para aparat yang bertugas saat itu.

Nah, contoh di atas, meskipun cukup berbeda, memberikan pemahaman bagi kita bahwa tidak selamanya basis ekonomi senantiasa menentukan kesadaran masyarakat. Saya sendiri bukan termasuk orang yang setuju dengan determinisme ekonomi, yakni bahwa segala permasalahan pasti berpangkal pada masalah ekonomi atau kelas sosial. Meskipun, pada masalah tertentu saya tetap menggunakan analisis Marxian. Hanya saja melakukan generalisasi masalah, merupakan masalah baru yang tidak logis (baca pandangan saya terkait dengan hal ini dalam judul “Menghindari Determinisme Perspektif”).

Sehingga, menurut saya diseminasi wacana (menyemai gagasan) sampai pada titik tertentu masih tetap kita butuhkan. Dan menjadi relevan ketika kita lihat kebergamaan umat hari ini cenderung menyederhanakan masalah dan atau justru memperumitnya. Semai gagasan seperti yang dilakukan oleh Profetika pada dasarnya merupakan investasi untuk masa depan kemasyarakatan dan kemanusiaan di Indonesia. Memang, gerakan intelektual semacam ini membutuhkan waktu yang lama daripada gerakan sosial yang berbasis massa.

Menurut saya, masalah fokus gerakan sebenarnya bersifat incomensurability, yang artinya tidak bisa dibandingkan. Fokus gerakan menurut saya merupakan pilihan semata yang sebelumnya didasari dengan analisis sosial dan berbagai pertimbangan, juga minat para pegiat di dalamnya. Logika semacam ini banyak kita temukan di warna-warni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Misal, ada LSM yang fokus ke masalah HAM, layanan konsumen, agama, lingkungan, perempuan atau gender, transparansi kebijakan, anggaran publik, korupsi, pendidikan untuk pemilih, masyarakat hutan, masyarakat sekitar sungai, UKM, dan lain sebagainya. Lantas apakah logis jika kita mengklaim lembaga dengan fokus tertentu lebih hebat daripada yang lainnya? Saya pikir secara logis hal ini salah!

Kemudian, apa yang saya dan kawan-kawan Profetika gagas dengan diseminasi wacana sebenarnya merupakan gerakan yang memang tidak bisa dirasakan hasilnya seketika itu juga. Berbeda mungkin dengan lembaga yang fokus pada advokasi, lebih khusus lagi advokasi kebijakan. Apa yang kami kembangkan sekali lagi merupakan investasi pemikiran dalam rangka menata ulang mind set keberagamaan masyarakat kontemporer.

Saya menjadi ingat sebuah diskusi dengan mahasiswa Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Lirboyo Kediri. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA. Saya bertanya kepada mahasiswa tersebut yang belakangan hari ini saya ketahui sudah menjadi dosen, apa manfaatnya ide-ide yang digagas oleh Cak Nur dan kawan-kawannya? Pertanyaan saya dulu sebenarnya sama dengan kritik kawan Agung kepada Profetika.

Dosen tersebut menjawab. Dalam pemikiran sebenarnya ada dua jenis paradigma yang berlaku, pertama adalah paradigma nilai etis dan kedua adalah pragmatis. Sedangkan apa yang dikembangkan oleh Cak Nur dan kawan-kawan masuk dalam paradigma yang pertama. Sebenarnya ide-ide yang digagas Cak Nur sangat bermanfaat, hanya saja orang justru seringkali tidak menyadarinya. Orang-orang yang sering menyerap gagasan-gagasannya dengan sendirinya cara pandanganya pun berubah. Dan klimaksnya perilaku hidupnya juga berubah. Paradigma ini berbeda jauh dengan pragmatisme yang tentu saja dapat langsung dipraktikan dalam keseharian.

Untuk itu, harus dipahami bahwa sasaran dari gerakan Profetika dengan diseminasi wacana adalah konstruksi berpikir masyarakat. Ketika konstruksi berpikir itu selesai terbentuk, maka dengan sendirinya perilakunya juga akan mengikuti. Sebenarnya tesis ini sudah banyak dibuktikan dalam berbagai penelitian. Biasanya sebelum seseorang melakukan sesuatu ia harus mengetahui, memahami, dan mengendapkannya terlebih dahulu. Sampai batas waktu tertentu, baru kemudian ia akan mempraktikannya.

Pertanyaan balik saya ke kawan Agung, “Apakah dulu ketika Anda memilih KAMMI sebagai media perjuangan muncul dalam waktu yang singkat?” Saya rasa tidak! Karena menentukan preferensi pandangan, yang berimplikasi pada perilaku tidak sesederhana membaca etiket memasak mie goreng yang kita baca, lantas dapat kita terapkan. Saya rasa, persoalan sosial-agama juga tidak sesederhana itu.

Seharusnya, apa yang perlu kita kembangkan bukan dalam pengertian saling mengklaim agenda perjuangan mana yang paling benar atau memecahkan masalah kesejahteraan, keadilan sosial? Melainkan bahwa setiap agenda perjuangan memiliki keterbatasan konteksnya masing-masing. Dengan menginsyafi keterbatasan tersebut, kita dapat menyatukan langkah dalam kerja besar membebaskan bangsa Indonesia yang semakin penuh dengan masalah.

Terakhir, tulisan ini saya tujukan tidak hanya kepada kawan Agung Mahdi, melainkan kepada siapapun yang sampai hari ini mengklaim agenda perjuangan organisasinya lah yang paling solutif bagi masyarakat. Elaborasi panjang dalam tulisan ini saya maksudkan untuk keluar dari nalar apologetik yang tidak menyehatkan proses diskusi atau dialog. Secara terbuka, saya tunggu kritik dan saran kawan-kawan lainnya. []

01/04/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :