Ke-liyan-an Santy
Salah Kostum atau Memang Beda?
Oleh: Firdaus Putra A.
Siang itu saya bertemu Santy. Seorang teman asli Lampung. Kami bertemu di resepsi pernikahan Natiq, satu kelas dengan Santy. Ia melontarkan satu hal yang menggelitik, “Waduh, aku salah kostum neh”. Ia mengenakan baju terusan. Berlengan pendek. Dan dengan rok yang hanya setungkai. Sedangkan perempuan lain, ibu-ibu atau cewek-cewek, hanya satu dua orang saja yang tidak mengenakan kerudung. Semuanya berbusana muslimah.
Dulu memang Santy seorang muallaf. Ayahnya seorang Nasrani. Saya tidak paham mengapa ia pindah ke Islam. Dan siang itu nampaknya untuk kali pertama ia melihat resepsi pernikahan yang “islami”. Tidak sekedar dari busana tamu undangan, hiburan pun “islami”.
Sembari menunggu kedatangan mempelai laki-laki, tamu undangan disuguhi musik khas padang pasir. Gambus. Tidak seperti biasanya, sekedar rebana. Syair yang dilantunkan pun khas gambus. Salah satunya berjudul “Habibi”. Santy berkomentar, “Wah kok bisa sebegitunya ya ...”.
Satu hal yang membuat saya tertarik berkomentar. Meskipun berbeda, Santy tetap merasa Percaya Diri (PD). Di tengah-tengah lautan kerudung, ia sendirian yang “membuka auratnya”. Katanya, “Inilah diriku. Freedom”. Lantas saya mengomentari, “Mereka, yang konon katanya “islami”, bisa teridentifikasi berkat ada orang seperti kamu”.
Sebagai muslimah muallaf , saya yakin pemahaman agamanya berbeda dengan kebanyakan orang. Saya yakin sedikit-banyak ia menggunakan nalar. Tidak sekedar mengikuti tradisi atau adat. Bahkan, sejauh saya mengenal Santy, menurut saya ia sudah berjilbab. Meskipun ia tidak pernah berkerudung. Perilakunya sopan, hormat pada orang lain, juga supel. Faktor itulah yang membuat dia memiliki banyak teman. Para dosen pun suka mengenalnya.
Sebenarnya ada satu hal yang perlu diklarifikasi. Apakah benar bahwa gambus merupakan musik “islami”? Menurut saya tidak. Gambus hanyalah musik khas padang pasir. Tidak berbeda dengan musik pop, gamelan Jawa dan sebagainya. Tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Sama. Semuanya sekedar musik.
Justru, menurut saya, meminjam pandangan Cak Nun, musik yang “islami” adalah musik yang bisa membuat kita merasa dekat dengan-Nya. Apapun jenisnya. Jadi musik “islami” sebenarnya terletak pada substansi. Bukan bentuk atau jenisnya.
Hal seperti ini perlu diklarifikasi lantaran sebagian besar masyarakat kita menganggap setiap budaya Arab adalah budaya Islam. Padahal belum tentu. Atau juga seringkali mereka terjebak dalam logika Islamisasi sebagai Arabisasi. Salah satunya melalui musik, kerudung dan sebagainya. Kecenderungan ini sama dengan yang terjadi pada proses Westernisasi dianggap sebagai Modernisasi. Padahal berbeda secara substansial.
Saat SMA saya pernah “ngaji” dengan seorang ustadz di daerah Buaran – Pekalongan. Suatu sore saya main ke rumahnya, sowan. Dari dalam rumahnya terdengar alunan syair Arab. Awalnya saya menduga syair itu sejajar dengan senandung Haddad Alwi dan Sulis. Ternyata salah besar. Tanpa di sengaja, putranya, yang masih kecil menekan satu tombol remot TV. Saya terhenyak. Demikian juga Pak Ustadz. Di layar TV terlihat perempuan Arab sedang menyanyi dan “menari perut”. Pakaian yang digunakan sangat seksi. Perutnya terlihat karena tak tertutup kain.
Saya terhenyak lantaran baru tahu sebenarnya sejauh apa pemahaman Pak Ustadz tentang Islam. Dan saya rasa Pak Ustadz kaget lantaran malu, karena saya tahu musik apa yang sedang diputar. Di kemudian hari, peristiwa itu membuat saya ill feel untuk sowan, menghadap beliau. Cukup tahulah di petang menjelang Maghrib beliau tidak sedang mendengarkan murottal Quran, khasidah, atau qiraah. Namun beliau sedang “dugem” dengan musik Pop Arabic. Saya tersenyum kecut.
Kembali ke Santy, bisa jadi ia merupakan muslimah liberal. Pandangannya tentang kebebasan masih begitu kuat. Sebagian orang mencibir kebebasan. Namun justru dengan berani ia mendaku liberal, freedom atau istilah sejenisnya.
Saya cukup aprisiet dengan kemandiriannya. Kemandirian sikap, juga alur pikirnya. Mungkin siang itu, banyak ibu-ibu yang melihat Santy sebagai the other. Bukan kelainan, melainkan penyimpangan.
Sedangkan saya dengan rendah hati memahaminya sebagai Sang Liyan. Seorang muslimah muallaf yang tentunya memiliki pengalaman keberagamaan yang berbeda dengan kebanyakan muslim-muslimah. Dalam ke-liyan-annya, ia tetaplah muslimah. Dalam ke-muslimah-annya, ia tetaplah liberal. []
24/04/2008
0 comments :
Posting Komentar