Keterbukaan Sikap


Oleh: Firdaus Putra A.

Saya terenyuh ketika membaca surat-surat yang dikirim Antonio Gramsci kepada keluarganya. Bukan lantaran cerita sedih hidup dipenjara. Tapi lebih karena surat itu berkisah tentang apa yang dilakukannya untuk tetap menenangkan, dan secara tak langsung mendidik keluarganya.

Seperti ketika kemenakannya mengirim surat, Gramsci membalasnya dengan kritis. Ia mengomentari, kenapa tulisan tangannya masih buruk. Padahal sekarang sudah dua tahun berlalu. Artinya si kemenakan sudah beranjak kelas lima sekolah dasar.

Juga terlihat ketika ia membalas surat kakaknya yang kedua, adik iparnya dan keluarga lainnya. Ia menegaskan bahwa kita harus tangguh, kuat. Penjara hanyalah salah satu dari konsekuensi perjuangan. Tidak ada yang salah atau memalukan.

Seorang intelektual sebesar Gramsci tetap memperhatikan detail-detail yang kecil dan halus. Ia tidak melupakan untuk mendidik dan menguatkan keluarganya di tengah-tengah fisiknya yang semakin rapuh di penjara. Perjuangan politik yang dilakukannya tidak membuat dia meninggalkan keluarganya. Justru dekat, dan semakin dekat.

Beberapa hari yang lalu saya mengirim e-mail ke Bapak. Surat itu terpanjang daripada surat-surat yang lain. Empat lembar halaman A4. Melalui surat itu saya mendiskusikan beberapa ide. Masalah Islam liberal atau pemikiran Islam. Tentang KH. Ma’ruf Amin di MUI. Tentang dakwah yang semakin tidak mencerdaskan umat. Sampai pandangan saya tentang Ahmadiyyah. Garis besarnya, surat itu berisi tentang Islam, dan keislaman kontemporer.

Di awal tulisan tak lupa saya selipkan kalimat, “Surat ini lebih saya tujukan untuk share ide. Jadi perbedaan pendapat sangat mungkin terjadi”. Dari kalimat itu, saya berharap Bapak bisa memposisikan pandangan-pandangan saya dalam konteksnya, yakni dalam proses diskusi atau pencarian.

Setiap kali pulang ke rumah, Pekalongan, pasti saya menyempatkan untuk sepanjang mungkin berdiskusi dengan Bapak. Selain karena saya ingin tahu cara pandang orang tua, saya juga ingin memberitahukan cara pandang anaknya, pemuda.

Di masa mudanya, Bapak pernah nyantri di Rembang. Dan hasrat belajar itu masih nampak sampai sekarang, sekurang-kurangnya Bapak masih menyempatkan diri untuk ke pengajian beberapa kyai besar. Apa yang ia dapat, biasanya didiskusikan dengan saya. Atau sebaliknya.

Dulu, di malam lebaran kami pernah terlibat dalam diskusi seputar poligami. Melalui rasionalisasi hukum (ushul fiqh, maqosyidu asysyari’ah, dll.) saya secara tegas menolak poligami. Sedangkan Bapak, dengan pengetahuan serta referensinya (kyai), ia menerima poligami, dengan catatan persyaratannya harus ketat. Diskusi malam itu berakhir dengan perbedaan pendapat. Kami pun sepakat dalam ketaksepakatan.

Atau ketika saya melontarkan wacana bahwa perempuan boleh mengimami salat meski makmumnya laki-laki. Saya bawakan satu makalah, lengkap dengan hadist dan penjelasan di dalamnya. Saat itu Bapak belum bisa komentar. Katanya, “Nanti saya tanyakan dulu sama Pak Kyai”.

Saya cukup bangga. Sekurang-kurangnya Bapak terlihat masih memiliki kemauan untuk belajar dan menyerap informasi. Pandangannya boleh jadi berbeda dengan saya. Namun yang lebih penting adalah pencarian jawaban itu.

Coba bandingkan dengan para keluarga “islam” yang ikut-ikutan sebagai teroris. Keluarga Abu Dujana, Amrozi dan kawan-kawannya. Ketika mereka diciduk polisi, keluarga tak pernah tahu alasannya. Biasanya, yang keluarga tahu bahwa anak atau suaminya adalah orang baik-baik. Keluarga pun shock. Tidak percaya bahwa benar anak atau suaminya mempunyai pandangan yang sebegitu fasis.

Saya mulai curiga, berbeda dengan Gramsci, atau keluarga saya, jangan-jangan komunikasi dan keterbukaan di keluarga teroris tidak pernah terjadi. Justru, mereka bisa jadi memainkan karakter ganda. Ramah serta baik di depan keluarga dan fasis bagi masyarakat luas.

Sampai titik ini saya merasa bangga hidup di tengah-tengah keluarga yang demokratis, terbuka, dan toleran. Saya yakin, Bapak, Ibu, mas, dan mbak, tahu bahwa saya sepakat dengan ide-ide Islam liberal. Sejauh ini, mereka menerimanya. Tidak ada komplain, peringatan, atau dikte.

Dan sekurang-kurangnya, ketika saya sering diskusi dengan Bapak, jika suatu tempo ternyata keimanan atau pemikiran saya harus berkonsekuensi masuk penjara, maka mereka tidak akan shock. Mereka cukup tahu, bahwa apa yang saya perjuangkan adalah nilai-nilai benar, yang hanya saja, orang sering shock ketika mendengar/menangkap hal-hal baru.

Saya masih meyakini, bahwa suara kebenaran akan cenderung terbuka. Dan sebaliknya. Pelaku atau jaringan teroris, tidak akan terbuka, meskipun hanya pada keluarganya sendiri. []

24/04/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :