Determinisme Perspektif
Oleh: Firdaus Putra A.
Tulisan ini muncul ketika saya banyak berdiskusi dengan kawan-kawan aktivis mahasiswa di kampus. Sebenarnya diskusi tersebut tidak secara langsung membahas perspektif-perspektif dalam mendekati sosial. Melainkan diskusi tersebut berangkat dari latar masalah konkret. Seperti gerakan mahasiswa dan agenda-agendanya.
Perspektif dalam judul atau tulisan ini saya artikan sebagai pilihan sudut pandang yang kemudian secara teknis pilihan pisau analisis yang digunakan seseorang dalam menyingkap suatu permasalahan. Dalam ilmu sosial perspektif yang saya maksud bisa disamakan dengan pengertian metodologi. Sehingga tulisan ini, jika dalam tradisi ilmu sosial, maka akan masuk dalam rumpun methodenstreit atau perdebatan metodologi.
Dan tidak sedikit saya jumpai bahwa aktivis mahasiswa terjebak pada determinisme perspektif atau sudut pandang. Seperti yang akan saya ilustrasikan di bagian ini. delapan atau sepuluh tahun yang lalu Indonesia pernah mengalami konflik yang berbau SARA (kasus Poso, Sampit, dll.). Untuk menyelesaikan masalah tersebut para ilmuwan sosial diterjunkan. Melalui analisis tertentu, ada yang berpendapat bahwa masalah tersebut disebabkan oleh faktor kesenjangan sosial. Ada juga yang melihatnya sebagai masalah agama, ada juga politik. Masing-masing mempunyai argumentasi yang sama-sama meyakinkan. Mana yang benar?
Beragam analisis juga muncul pada kasus pemboman gedung WTC 11 September beberapa tahun yang silam. Masih sama, ada yang memberikan analisis bahwa hal tersebut merupakan reaksi terhadap kapitalisme global. Ada juga yang menyatakan bahwa masalah tersebut murni agama yang akhirnya menyudutkan agama tertentu, yakni Islam. Ada juga yang membacanya sebagai benturan antar peradaban seperti ramalan Huntington dalam The Clash of Civilization. Lalu mana yang benar?
Juga pada kasus peledakan bom di Bali 1 dan 2, JW Mariot dan sebagainya. Apa yang melatarinya? Kemiskinan, agama, politik atau masalah lain?
Secara logis ada tiga kemungkinan, pertama bahwa hanya faktor kemiskinan saja yang menyebabkan kasus-kasus tersebut. Kedua, hanya faktor agama. Dan ketiga dua-duanya muncul dalam satu kasus secara tumpang-tindih.
Sebelum memasuki diskusi lebih jauh, ada baiknya sejenak kita ikuti perdebatan antara kaum Positivis dengan kaum Humanis/Naturalis dalam tradisi ilmu sosial dan humaniora. Satu sisi secara metodologi di wakili oleh pendekatan kuantitatif. Dan sisi yang lain pendekatan kualitatif. Kaum Positivis menganggap bahwa pendekatan yang paling benar manakala secara teoritis-teknis masalah yang ada dapat dikalkulasikan, dihitung, dirumuskan dan diprediksikan seterusnya. Oleh karena itu, pendekatan seperti ini biasanya dan bermula dari tradisi ilmu-ilmu alam (eksakta). Dampaknya, klaim kebenaran metodologi tersebut berujung pada keharusan ilmu sosial untuk melakukan pendekatan yang serupa; kuantitatif.
Di awal perkembangannya, ilmuwan sosial memang cenderung menggunakan pendekatan kuantitatif. Secara politis, hal ini agar pengetahuan mereka mendapatkan basis legitimasi dari masyarakat ilmuwan lainnya dan diakui obyektif. Dampaknya, kehidupan sosial diasumsikan sama dengan gejala materi dalam lingkungan alam/benda-benda.
Melalui proses yang panjang, akhirnya para pemikir sosial menemukan kesalahan asumsi yang berakibat fatal. Kesalahan tersebut yakni pada asumsi samanya antara kehidupan sosial dengan gejala materi/lingkungan fisik. Dampaknya, kehidupan sosial yang berisi manusia justru jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Dampak dari pendekatan semacam ini, menurut Heru Nugroho terekam kuat dalam kebijakan Orde Baru (Pelita, PJP, dll.).
Salah satu kritik juga lahir dari Madzhab Frankfurt Jerman yang diwakili oleh Adorno dan Horkheimer. Mereka menemukan bahwa pendekatan positivitik sudah mengideologis dan berakhir dengan kebekuan cara pandang. Hasilnya, kehidupan manusia juga semakin tidak manusiawi. Kasus yang ia lontarkan adalah kamp-kamp konsentrasi di zaman Nazi. Kasus itu merupakan implikasi negatif dari cara pandang yang murni positivistik. Secara bagian ia rasional, namun secara keseluruhan ia irrasional karena ribuan nyawa dan harkat-martabat manusia harus dikorbankan.
Lantas apa yang salah? Apakah pendekatan positivistik dengan kuantitatifnya salah. Atau pendekatan humanis/naturalis dengan kualitatifnya yang benar?
Jawabannya saya temukan ketika mengambil mata kuliah Metodologi Penelitian Sosial (MPS). Kesalahan sebenarnya lahir dari salah penerapan metodologi atau perspektif, bukan pada perspektifnya itu sendiri. Hendri Resthuadi, salah satu dosen mata kuliah tersebut menjelaskan, sebenarnya, pilihan metodologi atau perspektif sebenarnya tergantung dari masalah penelitian kita. Ia mengilustrasikan bahwa pilihan metodologi atau perspektif seperti pilihan alat bantu makan ketika kita menghadapi jenis makanan tertentu. Misal, ketika di hadapan kita ada nasi dengan lauk yang berkuah, lebih tepat mana kita menggunakan alat bantunya? Sendok cekungkah, atau sendok garpu?
Tentunya dua-duanya bisa digunakan secara terpisah atau berbarengan. Dengan sendok cekung, kita bisa menghabiskan makanannya dengan cepat. Dengan sendok garpu, makanan juga akan habis, namun waktunya lebih lama dan kuahnya tidak bisa kita nikmati. Atau dengan kedua sendok, nasi dan lauknya habis dengan cepat, tidak ketinggalan juga kuahnya.
Intinya, apa yang ingin disampaikan, bahwa pilihan metodologi yang tepat akan berimplikasi pada efektivitas atau keoptimalan dalam membaca, memetakan dan menganalisis masalah sosial tertentu. Salah menentukan alat bantu, maka hasil analisis cenderung tidak optimal dan tidak efektif.
Begitu pula seharusnya mahasiswa atau para pegiat sosial menentukan perspektifnya. Bukan bergantung secara sewenang-wenang (arbitrer) pada selera individu. Juga bukan lantaran basis ideologi. Melainkan tergantung dari masalah apa yang sedang kita hadapi.
Persolaan ini menjadi pelik ketika individu mempunyai basis ideologi tertentu. Sebutlah kawan-kawan yang berhaluan kiri dengan ideologi Marxismenya. Mereka biasanya mendasarkan pada analisis kelas dan determinisme ekonomi. Sekali lagi, permasalahannya bukan pada analisis kelas dan determinisme ekonomi yang digagas oleh Marx, melainkan cara penggunaannya.
Seringkali saya jumpai beberapa aktivis terjebak pada basis ideologinya dan akhirnya menutup diri pada pandangan atau perspektif-perspektif lain. Seperti katak dalam tempurung, sebenarnya mereka menyusun semacam proposisi tertutup. Kelemahan dari adanya masalah ideologi ini bahwa masalah yang ada tidak terbaca secara tuntas.
Seharusnya, kita harus meletakan pilihan tersebut dalam konteksnya masing-masing. Seperti, pendekatan kuantitatif mempunyai keterbatasan yakni reduksi fenomena khas kemanusiaan. Kelebihannya, pendekatan ini dapat melakukan proses generalisasi dan klaim keterwakilan. Berbeda dengan pendekatan kualitatif. Ia tidak mampu melakukan generalisasi dan klaim keterwakilan. Tetapi, data yang ia peroleh biasanya sangat mendalam dan lebih memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan dari fenomena yang ada. Mengingat masing-masing perspektif mempunyai kekurangan dan kelebihannya, maka beberapa tahun yang lalu mulai muncul gagasan untuk mengawinkan atau menggunakan dua perspektif sekaligus dalam membaca satu masalah. Hasilnya tentu saja lebih optimal.
Gagasan yang saya ingin sampaikan bukan dalam artian kita harus menggabungkan berbagai perspektif yang ada, seperti yang kita temukan dalam kecenderungan interdisipliner, melainkan, sekurang-kurangnya jika kita memakai perspketif tertentu jangan sampai kita terjebak pada “kaca mata kuda”.Yakni dengan mengklaim hanya perspektifnya saja yang paling benar. Dalam bahasa yang bagus Marcuse menggambarkan kondisi semacam ini sebagai “one man dimensional” atau manusia satu dimensi.
Semenjak berkenalan dengan pendekatan Teori Kritis Madzhab Frankfurt, saya mulai meninggalkan kecenderungan determinisme perspektif itu. Dulu, saya sangat mengagung-agungkan analisis kelas dan determinisme ekonomi Marx. Sedangkan saat ini mulai membuka diri dengan berbagai perspektif yang ada.
Praktiknya, pada titik tertentu saya menggunakan analisis kelas dan determinisme ekonomi a la Marx. Pada masalah yang lain saya menggunakan analisis kekuasaan mikro a la Foucault. Dan pada masalah tertentu saya menggunakan analisis sosiologi agama untuk menyibak akar masalah dari beberapa kasus yang saya lontarkan di awal tulisan.
Menghindari determinisme perspektif ini semakin menemukan momentumnya ketika kecenderungan kontemporer, ilmu sosial dan humaniora semakin sulit dipisah-pisahkan.
Tren kajian multi disiplin atau interdisiplin mengisyaratkan pada kita bahwa masalah yang ada semakin kompleks, dan hendaknya setiap perspektif tidak mengklaim dirinya yang paling mumpuni. Justru dengan menginsyafi keterbatasan yang ada, kita perlu meminjam perspektif lain—meskipun dari tradisi yang berbeda misal Islam meminjam tradisi ilmu sosial—dalam rangka efektivitas dan optimalnya analisis suatu masalah.
Satu hal yang tertolak dari kerangka pikir di atas adalah menjadikan ilmu pengetahuan atau perspektif tertentu sebagai ideologi. Karena sekali ia menjadi ideologi, maka ia akan menjadi beku dan jumud. Sedangkan masalah yang ada justru semakin beragam dan kompleks. Demikian pendapat saya. []
01/04/2008
0 comments :
Posting Komentar