Menyoal Posmodernisme
Usaha Klasifikasi Respon terhadap Posmo
Oleh: Firdaus Putra A.
Tulisan ini kembali muncul ke permukaan dari diskusi saya dengan Gery Sulaksono, teman satu jurusan. Berbeda dengan Gery, ketertarikan saya terhadap posmodern tidak seluarbiasa ketertarikannya. Menurut saya, ia lebih menghayati posmo daripada saya. Sedangkan saya, jika boleh membatasi diri, hanya sampai pada menggunakan kearifan-kearifan yang ditawarkan oleh posmo dan juga modern.
Lontaran pertama yang saya ajukan adalah kondisi posmodernitas merupakan “musibah” bagi masyarakat kontemporer. Sedangkan pemikiran posmodernisme merupakan “berkah” sebagai formula untuk mengarungi “zaman edan” itu.
Mengapa demikian? Eksplorasi saya sampai pada simpulan sementara bahwa posmodernitas membuat keteraturan (order) di masyarakat menjadi tidak stabil. Makna menjadi sedemikian cair, bahkan arbriter. Secara peyoratif bisa kita sebut makna menjadi simpang-siur. Tidak ada sesuatu yang pasti.
Sedangkan dengan posmodernisme, kita menjadi mampu melakukan proses refleksi sosial terkait dengan formasi sosial yang sedang berjalan. Memang, posmodernisme tidak memberikan penghukuman tentang apa yang salah atau yang benar. Ia hanya menawarkan sejauh mana formasi sosial di masyarakat. Tentunya pilihan tindakan akan dikembalikan pada individu masing-masing. Pada titik inilah saya katakan bahwa posmodernisme mempunyai kearifan yang luar biasa.
Hanya saja ketika membicarakan posmo, sebagian orang salah menyematkan istilah. Sejauh saya amati, banyak orang yang salah memahami istilah posmodern, posmodernitas, dan posmodernisme itu sendiri. Padahal, meskipun berasal dari akar yang sama, beberapa istilah kunci itu menunjuk pada pengertian yang lain. Salah satu ekses negatif dalam salah memahami istilah tersebut menjadikan posmo(dern, dernitas, dan dernisme) seringkali dipahami secara peyoratif. Ketika memahami posmo secara negatif, menurut saya sebenarnya apa yang mereka maksud adalah kondisi posmodernitas itu sendiri, bukan posmodernisme sebagai seperangkat teori sosial.
Tidak sedikit sebagian teman yang melontarkan istilah posmo hanya sebagai bahan ejekan. Lontaran yang bernada ejekan tersebut lebih diarahkan pada masalah bahwa pengagum posmo tidak pernah menyumbangkan apa-apa dalam bentuk praksis sosial. Menurut saya premis ini perlu dikaji ulang.
Persoalannya, jika mereka mengetahui posmodern, maka mereka akan terperangah, bahwa posmodernime memberikan banyak refleksi kritis terkait dengan anomali sosial yang sedang terjadi. Memang posmo hanya bergerak sejauh itu. Namun tidak bisa lantas kita sebut bahwa para pengagum posmo tidak pernah melakukan praksis sosial. Menurut saya, sebenarnya para pengagum posmo juga melakukan praksis tersebut. Hanya saja fokus dan caranya berbeda. Menurut saya mereka juga mempunyai keberpihakan sikap pada kalangan marginal, bahkan dalam arti seluas-luas dan sehalus-halusnya.
Justru yang perlu kita persoalkan posmo seperti apa yang mempunyai kearifan semacam itu. Pertama, jika kita melihat posmo dalam bingkai posmodernitas, maka sama dengan kita melihat orang-orang yang merayakan budaya pop yang sifatnya artifisial dan tak terhayati. Pada bagian ini tentu saja kita perlu melakukan kritik. Para pengagum posmo (dernitas) justru merekalah orang yang larut dalam lingkaran setan “zaman edan”.
Mereka tidak memberikan apa-apa kecuali mendukung lingkaran “zaman edan” tersebut. Dan biasanya, orang-orang semacam ini menggunakan istilah posmo hanya sebatas legitimasi terhadap tindakan atau perilakunya. Mereka sedikit mengetahui seluk-beluk epistemologi posmodernisme. Bak laron, mereka melihat cahaya yang terang dan akhirnya turut dalam hingar-bingar, gegap-gempita kondisi posmodernitas itu. Lebih jauh saya indentifikasikan, orang-orang pada posisi ini cenderung permisif (menerima) posmodernitas itu sendiri.
Kedua, menurut saya ada sebagian orang yang menempatkan dirinya sebagai seorang posmo (dernisme). Ia mengetahui betul seluk-beluk epistemologi yang ada, tentunya juga kecenderungan posmodernitas yang anomalik itu. Orang semacam ini cenderung akan menempatkan dirinya pada posisi yang optimis dalam melihat dunia. Ia tidak hanya sekedar mengkritik anomali sosial, melainkan ia sampai pada visi bagaimana mengkreasi anomali tersebut.
Sejauh pengamatan saya, orang pada posisi ini menggunakan posmo (dernisme) tidak secara gegabah atau serampangan. Justru dengan kearifan posmo (dernisme), pada titik tertentu ia bisa menerima kemampuan nalar modernitas. Dan pada titik yang lain tidak segan meminjam kearifan posmo (dernisme) sebagai salah satu perspektif. Dalam bahasa lain, ia tidak melulu menerima rasionalitas, tetapi juga tidak melulu menolak irrasionalitas. Singkat kata, menurut saya kecenderungan ini bisa tergambarkan dari lontaran, “Ngono yo ngono, tapi mbok yao ojo ngono”. Ada nilai toleransi sejauh hal tersebut tidak keluar dari frame dasar kemasyarakatan-kemanusiaan.
Ketiga, ada juga sebagian orang yang memahami akar pemikiran posmo (dernisme). Ia memahami betul realitas sosial seperti apa yang dikritik oleh pada pendahulunya. Hanya saja, saking larutnya dalam posmo (dernisme) ia melupakan bahwa terkadang kita harus optimis memandang realitas. Sekurang-kurangnya, realitas hari ini merupakan pijakan yang rill yang membuat kita hidup di dunia.
Berbeda dengan kelompok satu yang permisif, kelompok dua yang optimis, kelompok ini cenderung skeptis bahkan sampai pesimis. Skeptisisme dan pesimismenya berangkat dari sebuah eksplorasi yang jauh ke dalam terkait dengan makna kehidupan. Hanya saja, menurut saya, kadang kala mereka melupakan bahwa makna sesuatu bak kulit bawang. Satu kulit kita kupas, maka kulit yang kedua menampakan diri. Dan seterunya. Persoalannya menurut saya, kita harus menentukan makna sementara sebagai pijakan untuk selanjutnya kita melangkahkan kaki. Bukankah realitas hari ini merupakan fenomena yang sungguh-sungguh terjadi dan bukan hanya ilusi kita semata?
Saya tidak tahu apakah klasifikasi seperti di atas sudah ditulis orang di banyak buku referensi atau belum. Yang jelas, saya berharap semoga Gery, dapat menggeser perspektifnya dari klasifikasi ketiga yang cenderung skeptis dan pesimis pada realitas, ke arah klasifikasi yang kedua, yakni lebih optimis terhadap realitas. Karena menurut saya kehidupan hari ini tidak sebatas pada interaksi ide di otak kita. Melainkan sebauh kehidupan yang sepenuhnya nyata. []
17/04/2008 diposting di Pekalongan
0 comments :
Posting Komentar