Soda & Rokok


Oleh: Firdaus Putra A.

Dari kemarin dadaku terasa pegak. Sakit lantaran asap rokok. Parahnya, aku memang orang yang malas olah raga. Tidur larut malam. Bangun kesiangan. Atau tepatnya, bangun siang hari. Berapa tahun terakhir aku jarang melihat matahari pagi. Sesekali melihat, itu artinya aku begadang sampai pagi. Benar-benar gaya hidup yang tak sehat.

Tak perlulah ke dokter untuk bertanya. Aku yakin ia menyarankan hal yang sama. Seperti yang kupikirkan. Tidur maksimal jam 12 malam. Bangun pagi. Olah raga sekenanya dan seterusnya.

Malam ini badanku mulai terasa tak enak. Selain dada pegak atau sesak, jalan pun rada sempoyongan. Tambah, perut terasa penuh dan tak nyaman. Pokoknya komplit untuk mengatakan aku tidak sehat.

Sendirian ku kendarai motor mencari warung bubur kacang ijo. Udara malam terasa dingin. Lembab dan penuh embun air. Sampailah di satu warung di Jalan Kampus. Cukup ramai, lima laki-laki seusiaku tengah ngobrol. Aku duduk, lantas memesan segelas soda susu.

Tidak tahu persis dari mana informasi ini, soda susu bisa melunturkan nikotin di paru-paru. Mungkin hanya isapan jempol. Bisa juga memang ada korelasinya. Cuma, belum pernah sekalipun ku baca hasil penelitian tentang itu. Apa boleh buat, dari pada lari pagi, lebih enak minum segelas soda susu. Tak banyak harap, selain sesaknya dada bisa menghilang. Sekurang-kurangnya, bisa berkurang.

Sendirian ku nikmati soda itu. Rasanya begitu manis dan gatal. Seperti gigitan semut di rongga mulut. Juga hambar. Tidak ada teman yang menemani. Malam itu sebenarnya aku berharap Gery datang ke kos. Ia seorang teman diskusi yang mengasyikan. Namun ternyata ia absen, padahal sudah ku undang via SMS.

Tak ada teman, rokok pun jadi. Sebatang rokok mild ku nyalakan. Melihat si empunya warung, pikiranku menerawang ke dua, tiga tahun yang lalu. Dulu, warung bubur ini tidak berada di sini. Awal aku kuliah letaknya persis di samping pertigaan Jalan Cendrawasih. Sedang sekarang, letaknya di pertigaan menuju Gedung Soemardjito. Lintasan ini mengingatkan kalau aku sudah lama di kampus ini. Hampir lima tahun.

Tanpa banyak merasakan, ku minum sedikit demi sedikit soda itu. Tanpa banyak menghiraukan, pikiranku menerawang melampaui kedudukanku malam itu. Para lelaki sama sekali tidak menarik perhatianku. Mereka pun asyik mengobrol dengan temannya. Dan aku kira, mereka tidak memedulikan kesendirianku.

Hanya satu lelaki yang menarik perhatianku. Seusai membayar pesananya, ia berujar, “Mas minta sedikit isi korek apinya ya ...”. Ia begitu sopan. Tidak asal ambil, meski aku yakin si empunya warung akan mafhum. Ia minta izin. Di lehernya aku lihat sebuah kalung berbandul salib. Ia seorang Nasrani. Ia pun lantas pergi bersama teman lelakinya.

Aku masih sendiri. Soda di gelas mulai berkurang. Hanya beberapa senti lagi. Tak kupedulikan kalau perutku terasa kembung karena air. Yang ku mau, soda ini mengobati diriku. Itupun bilamana benar. Jika salah, bisa jadi besok pagi aku sakit perut. Rokok di tanganku tinggal dua senti panjangnya.

Selesai. Ku bayar segelas soda susu dan sebatang rokok. Empat ribu tujuh ratus rupiah. Kunyalakan motor. Tanpa permisi ku pacu Shogunku meninggalkan beberapa lelaki itu.

Tidak ada yang berubah malam itu. Jalanan masih tetap sama. Lengang di atas jam 11. Hanya sesekali beberapa motor lewat. Daerah ini, tidak terlalu banyak berubah. Sedikit berubah dengan munculnya warnet baru, GigaNet. Tidak jauh dengan itu, atau di sebrang jalan warung bubur tadi, cafe kecil muncul dengan konsep franchise.

Ku susuri Jalan Cendrawasih. Jalanan berlubang. Dan di beberapa titik cukup parah. Sudah lama, mungkin lebih dari satu tahun. Entah siapa seharusnya yang tanggung jawab. RT, RW, atau Kelurahan Grendeng? Yang jelas siapapun itu akan sangat membantu. Sesedikitnya membantu mengurangi rasa maluku. Tiap kali melawati jalan rusak itu, motorku selalu berderik-derik. Berbagai macam bunyi keluar. Seakan mereka puas mendapat momen yang tepat.

Tak bisa kusalahkan. Bukan si Shogun yang salah. Melainkan aku. Kurang merawatnya, atau kurang memeriksakannya ke dokter motor. Mesin bagian kiri sudah lama ku keluhkan. Bunyinya cukup menganggu. Ada teman yang mengatakan kalau bunyi mesin kiriku lantaran klep sekher yang mulai aus. Jika benar, tentu mahal harganya.

Sebenarnya beberapa hari yang lalu aku ingin memeriksanya. Namun keinginan itu kandas. Book fair lebih menarik perhatianku dari pada ngurus si Shogun. Sedikitnya ku habiskan Rp. 100.000 untuk belanja buku. Mulai dari obralan Rp. 5000, sampai yang seharga Rp. 20.000. Pacarku komplain. Banyak sekali buku yang dibeli, apakah akan dibaca semua, gerutunya.

Aku masih ingat mengapa malam itu minum soda. Dada sesak karena rokok. Tapi kalau kamu tahu, sembari membuat tulisan ini, aku sempatkan menghisap sebatang lagi. Benar-benar tak rasional aku ini. Sakit, tetap saja dilakoni.

Besok tengah hari rencananya aku pulang ke Pekalongan. Seperti kepulanganku yang lalu, yakni dalam rangka kondangan. Seorang teman hendak menikah di tanggal 17 April. Natiq namanya. Dulu aku cukup akrab dengannya. Selain sesama Pekalongan, ia juga enak diajak diskusi. Hanya saja, dua tahun terakhir aku merasa kurang akrab. Mungkin karena kesibukan. Atau lainnya?

Sebenarnya aku kaget mendengar dia mau menikah. Memang, beberapa kali bertemu, dia selalu mengatakan perihal ‘nikah’. Ku anggap hanya candaan. Ternyata memang benar-benar menikah. Waktunya selisih beberapa minggu setelah dia diwisuda. Lulus dengan skripsi bertema Ruang Publik Jurgen Habermas. Sedangkan aku, sampai saat ini belum selesai menggarap skripsi. Meskipun dengan tema yang hampir sama. Teori Tindakan Komunikatif Jurgen Habermas. Aku dan dia ada satu kedekatan, yakni sama-sama Habermasian. Selebihnya, aku tak pernah tahu. Seperti halnya apakah ia masih apresiet dengan keliberalanku. Memang tidak ada soal dia apresiet atau tidak. Toh ini sekedar pilihan.

Seperti tatkala aku memilih soda susu untuk mengurangi sesaknya dada. Dan menyulut sebatang rokok sebagai teman minum di malam itu. Juga saat menyusun kata-kata untuk coretan ini.

Aku jadi ingat satu SMS yang Gery kirim malam kemarin, ia mengutip Al-Fayyadl, “Malam-malam terjaga, remuk badan serasa hilang di pendar lautan aksara. Di sini tak ada siapa-siapa, selain kami berdua; aku dan kata”. []

17/04/2008 diposting di Pekalongan
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Anonim mengatakan...

gua banget