Selilit, Selulit, & Silit


Oleh: Firdaus Putra A.

Kita sama-sama tahu, kalau tiga kata di atas menunjuk pada sesuatu yang tidak menyenangkan. Sayangnya, semuanya kita temukan di tubuh. Tepatnya tubuh sosial kita. Tubuh yang sudah dikonstruk oleh masyarakat, dari nilai, norma sampai adat/kebiasaan. Pada dirinya sendiri, tiga “sesuatu”di atas sama sekali tidak buruk, jorok atau tak seronok.

Selilit, apa yang buruk dari selilit? Selilit biasanya lahir dari sisa makanan yang masuk ke mulut kita. Ia menyela-nyelai gigi kita. Ada satu iklan yang pernah mengilustrasikan perempuan yang kedapatan giginya berselilit. Dia malu bukan main. Padahal, selilitan merupakan sesuatu yang alamiah.

Selilit menjadi minor, lantaran masyarakat kita memandang bahwa sehabis makan, gii harus tetap bersih. Sangat dimungkinkan konstruksi semacam ini lahir paska manusia menemukan teknologi sikat dan pasta gigi. Teknologi sederhana dalam rangka meng-estetika-kan gigi dan mulut.

Lebih memalukan daripada selilit, selulit digunakan oleh industri kecantikan sebagai perangkap yang mematikan. Targetnya masih sama, perempuan. Ketika ia berselulit, minta ampun malunya. Dengan berbagai cara, ia akan mencari krim, maskara, atau apapun ramuannya, untuk menghilangkan selulit di tubuhnya.

Seperti selilit, selulit pada dasarnya merupakan sisa atau residu. Selulit muncul dari sisa pembakaran lemak yang tak tuntas. Seseorang yang awalnya gemuk, kemudian kurus—atau berkurang berat badannya—sangat rawan dengan selulit. Muncullah dalam bentuk guratan di kulit yang melipat-lipat, berwarna putih atau kekuningan.

Yang terakhir, dan mungkin paling jorok, silit. Silit merupakan kosa kata bahasa Jawa. Artinya lubang dubur atau anus. Bagi orang Jawa, menggunakan kata silit bukan sesuatu yang peyoratif. Namun, bagi orang yang sudah mengenal kosa kata lainnya, dubur atau anus, silit menjadi tak enak didengar telinga.

Bandingkan derajat kesopanan ketika kita menyebut “kontol” dengan “penis”. “Tempek” dengan “vagina”. “Klitoris” dengan “itil”. Menyebut penis dengan kontol, kita bisa dibilang sembrono atau saru. Juga berlaku bagi “tempek”, “itil”, juga “silit”. Seolah-olah, ketika kita menyebut penis, vagina, klitoris, dan anus, kita sedang menyebut sesuatu yang bersifat ilmiah. Padahal sama, hanya berbeda bahasanya.

Tiga “sesuatu” di atas pada dasarnya mempunyai kesamaan. Pertama, ketiga-tiganya berada dilipatan atau sela-sela tubuh. Selilit berada di sela-sela gigi; selulit biasanya ada di lipatan tubuh; dan silit berada di lipatan bokong/pantat. Alhasil, karena sama-sama tersembunyi, biasanya orang yang mempunyai salah satu dari tiga “sesuatu” di atas akan malu. Kita sebut menjadi aib, aurat, dan sebagainya. Intinya, ketiga-tiganya harus disembunyikan, bila perlu dihilangkan, kecuali silit!
Kedua, ketiga “sesuatu:” di atas menjadi aib atau aurat karena konstruksi sosial semata. Imajinasikan kalau teman, saudara, kelurga, masyarakat Anda tidak mempermasalahkan selilit atau selulit, pasti tidak akan menjadi “sesuatu” yang memalukan, bukan? Sedangkan silit, ia menjadi “sesuatu” yang memalukan karena masyarakat kita jarang membicarakan atau menggunakannya. Sekali menggunakan, biasanya mereka mempunyai masalah (misal sakit ambeyen). Di depan dokter mereka akan menggunakan kata anus, atau semaksimal-maksimalnya, dubur.

Baik selilit, selulit, dan silit, mereka bertiga bisa menjadi ladang bisnis bagi industri. Industri yang mengatur tentang apa-apa estetis, dan sebaliknya. []

24/04/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :