Urip-Mati Kagungan Gusti


Sebuah Testimoni untuk Natiq.
Oleh: Firdaus Putra A.

Kematian bukanlah sebuah tragika. Bukan pula peristiwa dramatis yang luar biasa. Kematian adalah salah satu episode siklus hidup manusia. Ia tak perlu disesali. Ia tak perlu diisak-tangisi. Seperti kehidupan, kematian adalah anugerah.

Setiap manusia hidup, bakal mati. Mereka berlomba-lomba mati dengan cara tertentu. Bagi Muslim, khusnul khotimah adalah dambaan ideal. Cara mati inilah yang membuat kematian menjadi luar biasa. Ada yang mati melalui kecelakaan tragis. Ada yang sakit terlebih dulu. Ada juga yang halusnya tak terkira. Atau, yang tak kuasa hidup, mati dengan cara ngendat atau gantung diri.

Pilihan cara mati inilah yang akan menjadi cerita di masyarakat. Apakah wajar atau tidak. Apakah biasa atau luar biasa. Dan ujung-ujungnya, apakah khusnul atau su’ul khotimah.

Masyakat kita membutuhkan dongeng. Dongeng tentang kematian. Dongeng peneguh keimanan, pemberi pelajaran. Dongeng tentang hikmah di balik peristiwa. Setiap dongeng diceritakanlah secara detail. Seperti media, 5W + 1H berlaku. Khusus “when”, penjelasannya bisa lebih panjang. Karena orang Jawa rajin dalam berhitung. Kita kenal adat pitungan.

Jumat (25/4) yang lalu, seorang anak Adam, Ayah dari Masruroh Natiq Adillah, telah berpulang ke Tuhan. Innalillahi wa innailaihi roji’un. Kami datang dan kembali kepada-Mu. Hidup-mati datang dan kembali pada Tuhan. Atau kearifan orang Jawa menyebut, “Urip-mati kagungan Gusti”. Sepantasnya demikian, tidak ada yang luar biasa.

Ayah itu meninggal satu minggu (17/4), setelah pernikahan putrinya, Natiq. Beberapa minggu setelah putrinya diwisuda menjadi seorang sarjana. Mungkin sudah purnalah tugas almarhum sebagai seorang Ayah. Ia sudah melihat dua kebahagiaan, kelulusan dan pernikahan.

Ayah itu meninggal dengan cara tersenyum. Senyum yang mengembang tatkala melihat si putri bahagia. Boleh jadi, ia sudah merasa cukup dengan dua kebahagiaan yang datang beruntun itu. Ia sudah ikhlas bilamana Sang Khalik memintanya pulang.

Bagi Natiq mungkin kematian ini tragika yang amat dalam. Ketika ia sedang bahagia, hanya seminggu saja Ayahnya bisa melihat dan merasakan. Natiq seperti kapas yang jatuh dari lantai gedung. Terombang-ambing dalam euforia pun histeria. Dalam suka pun duka.

Memang Tuhan Maha Adil, diberikanlah kegembiraan; di lain hari kesedihan juga diberikan. Diberikan satu anggota keluarga baru (Suami), diambillah anggota yang lain (Ayah). Ada Yin, ada Yang. Ada permulaan hidup (pernikahan), ada akhir dari ujung kehidupan (kematian). Dua-duanya saling mengisi, imbang.

Skenario Tuhan sedang berjalan. Jika memang sudah digariskan si Ayah meninggal hari Jumat (25/4), maka pernikahan hari Kamis (17/4) adalah kehendak-Nya. Memberi terlebih dulu, untuk kemudian mengambil. Sekurang-kurangnya, si kapas Natiq tidak akan terombang-ambing. Ia mempunyai belahan jiwa, Mas Wachid. Figur Ayah, menjadi lahir dalam figur suami. Sebuah sekenario yang Maha Indah. Jika memang demikian.

Inilah cerita panjang tentang “when”. Kilas balik tentang wisuda di pertengahan Maret, seminggu setelah pernikahan, berujung pada hari-H penjemputan. Rentetan waktu, kronologis peristiwa merupakan tanda berjalannya Roh Absolut. Ia menyejarah, dalam arti membuat sejarah.

Satu dongeng tidak akan menjadi panjang tanpa “how”. Alkisah, beberapa menit sebelum meninggal, si Ayah menelpon Natiq. Menanyakan kabar dan sedang bersama siapa. Natiq baik-baik saja, sedang bersama Mas Wachid, singkatnya. Mungkin Natiq tidak pernah menyangka itulah kalimat terakhir Ayahnya.

Saat itu si Ayah sedang ngobrol santai di ruang tamu, ditemani istri dan seorang lainnya. Sampai titik waktu tertentu, tiba-tiba kepala si Ayah tersungkur. Istri dan yang lainnya, tahunya si Ayah sedang mengantuk. Saat itulah sebenarnya si Ayah sedang sakaratul maut.

Sepuluh menit sebelum dokter datang, si Ayah sudah dijemput malaikat Izrail. Hembusan nafas terakhir dengan cara tenang-halus. Tidak ada yang menyangka bahwa si Ayah meninggal, tanpa sakit, serangan jantung atau lainnya.

Si Ayah meninggal dengan tenang. Dalam sebuah obrolan santai, bersama isri dan lainnya. Inilah keluarbiasaan. Bisa jadi, inilah tanda tentang khusnul khotimah, akhir yang baik.

Dongeng ini sekedar menjadi pengingat, tentang kematian anak Adam yang tak perlu diratapi. Dongeng tentang si Ayah yang tersenyum dan si Anak yang lambat laun mengembangkan senyumnya.

Dalam jalinan peristiwa, hikmah akan muncul bagaikan matahari pagi yang penuh keoptimisan. Mengikuti roda sejarah, Sang Himah, pasti akan membuka diri. Dan saat itu datang, maka tersenyumlah si Anak, tersenyumlah keluarga.

Terakhir, mari kita do’akan agar Tuhan menerima si Ayah di sisi-Nya. Dan kedua, semoga secepatanya Sang Hikmah membawakan obor keoptimisan bagi keluarga dan khususnya Natiq. Dalam nama Tuhan, semuanya akan berpulang. Amien. []

27/04/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

el-ferda mengatakan...

komentar/ pesan dari natiq, 5 agustus 2009 dikirim via fesbuk.

Aslmlkm masfrdos.. 1miguan yg lalu, natiq iseng buka ggle n telusur namaku, trus ktemu di tulisan msdos yg crita bpku... Natiq trharu deh.. Bskny ibuku dtg tak bacain, jd nangis.. slm bwt km ktnya ms..
Natiq brharap mdh2n sgala kasih sygny pdku&kepribadian bpk ada pula di mamas sosokny tak prnh trganti bwtku.. Trmksh ats doamu pada kami y ms.. Mdh2n kbhagian slalu mnyrtai qt,amin..