Ahmadiyah, Islam & Negara
Oleh: Firdaus Putra A.
Seperti yang kita tahu dari pemberitaan di berbagai media massa, paska keluarnya fatwa MUI, eskalasi aksi pengrusakan terhadap masjid, musola jemaah Ahmadiyah semakin meningkat. Tidak boleh dilupakan, para pelaku pengrusakan seringkali mendasarkan fatwa MUI sebagai basis legitimasi tindakan anarkis tersebut. Tentu saja, peristiwa seperti ini sangat menganggu jemaah Ahmadiyah untuk menikmati kebebasannya dalam berkeyakinan serta menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinannya.
Fatwa MUI dan Bakorpakem
Dalam khazanah pemikiran Islam, status fatwa memang hanya sebatas saran atau rekomendasi. Artinya, tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti fatwa tersebut. Apalagi dengan menindaklanjutinya dengan cara-cara yang jauh dari akhlak Islam. Sayangnya, fatwa penyesatan Ahmadiyah tidak dibarengi dengan fatwa tentang merusak dan menganggu pemeluk kepercayaan lain, juga sebagai tindakan yang sesat/salah.
Dulu, Islam juga pernah mengalami sejarah kelam terkait dengan otoritas keagamaan. Kita ingat tragedi inkuisisi atau mihnah telah mengantarkan beberapa Imam Madzhab ke penghujung hidup. Perdebatan kemakhlukan al-Quran yang seharusnya diselesaikan melalui dialog (mujadalah), justru diselesaikan dengan meminjam otoritas negara untuk menyabut hak hidup manusia lain.
Dalam sejarah kontemporer, potret buram pengadilan terhadap keyakinan/pemikiran yang berseberangan dengan arus utama, juga pernah dirasakan oleh intelektual Muslim Nashr Hamid Abu Zaid, di Mesir. Tesisnya tentang al-Quran sebagai produk budaya, membuat dirinya harus mencari suaka ke negeri Belanda. Tidak hanya itu, majelis fatwa Mesir, melalui pengadilan tinggi menceraikan Nashr Hamid dengan istrinya lantaran Nashr dianggap sudah murtad dari Islam.
Ironisnya, kita juga menemukan kesamaan pola dengan apa yang dilakukan oleh MUI. Fatwa itu tidak diselesaikan dengan cara berdialog, justru MUI merekomendasikan pada negara agar Ahmadiyah dibekukan sebagai ormas dan aliran Islam. Lembaga fatwa seperti MUI dan otoritas agama sejenisnya baik di dalam pun luar negeri, pada dirinya sendiri problematis secara logis.
Keinginan untuk mendaku sebagai pemurni atau penjaga gawang ajaran Islam justru mengantarkan Islam pada tragika kemanusiaan-kemasyarakatan. Lembaga otoritas seperti itu tidak mampu membaca Islam sebagai fakta sosial yang plural. Pluralitas sebagai kulminasi dari proses pemahaman, penghayatan terhadap agama disub-ordinasi melalui klaim kebenaran (truth claim).
Hematnya, lembaga fatwa seperti MUI seharusnya tidak mendaku dirinya paling benar. Dalam urusan akidah atau keyakinan, seyogyanya MUI mengikuti firman Tuhan Surat al-An’am ayat 117, yang artinya kurang lebih, “Wahai umat Islam, engkau itu tidak akan tahu mana yang benar dan sesat di antara kamu. Kami nanti akan memberi tahu kamu mana yang paling benar menurut Aku”. Apa yang dilakukan MUI secara logis sebenarnya sudah menyerobot hak Tuhan sebagai hakim tertinggi masalah akidah atau keyakinan.
Bagai pinang tak berbelah, lembaga Bakorpakem layaknya MUI di tubuh Islam. Bahkan lebih berbahaya. Pasalnya, Bakorpakem mampu mengeluarkan rekomendasi untuk kemudian ditindaklanjuti pemerintah/negara. Lembaga bentukan rezim Orde Baru ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari konteks dimana dan kapan ia dilahirkan. Bakorpakem sejatinya instrumen politik dalam rangka stabilisasi kehidupan bermasyarakat.
Bakorpakem sebagai lembaga yang pengawas aliran kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat, semestinya menggunakan indikator kerawanan sosial. Artinya, selama aliran tertentu dalam pelaksanaan ajarannya tidak menganggu ketenteraman kehidupan bermasyarakat, maka aliran tersebut sah hidup di masyarakat. Keterusikan pengikut aliran lain dalam ruang akidah, tidak bisa dijadikan salah satu indikator. Justru, perlu kiranya penghormatan dan penghargaan terhadap segala bentuk perbedaan di masyarakat dapat disemai oleh Bakorpakem.
Bilamana Bakorpakem tidak mau dan mampu melakukan proses itu, seperti MUI, keberadaan Bakorpakem justru hanya menjadi duri dalam daging, baik di dalam umat Islam, pun kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya, otoritas senantiasa akan melakukan seleksi, sensor, serta sub-ordinasi bagi ordinat-ordinat atau aliran yang ada. Sehingga, baik MUI atau Bakorpakem, lebih nampak sebagai lembaga politik, daripada lembaga keagamaan.
SKB 3 Menteri
Sebagai negara yang mendaku dirinya berdasarkan konstitusi, munculnya SKB 3 Menteri sebagai pemutus final nasib jemaah Ahmadiyah, adalah sangat problematis. Dengan SKB 3 Menteri, negara telah melakukan intervensi terhadap ruang agama. Tentunya, berbeda dengan negara teokrasi, pemerintah Indonesia tidak dibenarkan mengeluarkan kebijakan seperti itu.
Seandainya SKB 3 Menteri berujung pada pembekuan dan pelarangan aliran Ahmadiyah, demi hukum SKB tersebut batal. Pembekuan dan pelarangan aliran Ahmadiyah yang jelas-jelas sah secara hukum, akan menabrak logika perundangan-undangan di atasnya, UUD 1945.
Secara etis, pembekuan dan pelarangan aliran Ahmadiyah tidak bisa dibenarkan dalam perspektif Hak Azasi Manusia (HAM). Dimana setiap warga negara diakui kebebasannya dalam menganut agama, aliran kepercayaan atau keyakinan tertentu. Pemerintah seyogyanya tahu batasan, kapan dan dimana Ahmadiyah disebut sebagai umat. Dan kapan dan dimana Ahmadiyah disebut sebagai warga negara. Mencampuradukan kategori itu, sama artinya mencampuradukan antara urusan agama dengan urusan negara. Dan sekali lagi, Indonesia dibangun bukan berdasar agama tertentu, melainkan kontrak sosial yang mewujud dalam konstitusi.
Idealnya negara tetap tegak berdiri di atas konstitusi. Indikatornya, negara tidak mencampuri urusan agama warga negaranya. Negara menjamin hak azasi setiap warga negaranya. Serta, demi hukum, negara tidak berhak melakukan kekerasan terhadap warganya melalui penerbitan SKB 3 Menteri.
Sampai titik ini, pernyataan Ketua MK Jimly Ashidiqy (8/5), cukup problematis. Menurutnya, seharusnya masyarakat dan kelompok-kelompok yang lain menunggu sampai SKB 3 Menteri diterbitkan. Bilamana dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka sah untuk digugat kembali melalui mekanisme judicial review. Pernyataan tersebut tentu saja menyiratkan bahwa pengeluaran SKB 3 Menteri merupakan proses regulasi yang sah secara hukum. Padahal, pada dasarnya, SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah sudah mengalami sesat logika. Pencampuradukan antara ruang negara dengan agama.
Sebagai pamungkas, pernyataan Gus Mus cukup menarik untuk kita renungkan bersama. Gus Mus mengilustrasikan, bilamana ada orang ingin pergi ke Semarang namun tersesat ke Solo, apakah lantas benar bagi kita untuk memukulinya? Tentu saja tidak. Demikian halnya, membekukan dan melarang aliran Ahmadiyah sama artinya dengan melakukan kekerasan terhadap orang yang tersesat jalannya.
Sekedar mengingatkan, berbekal fatwa MUI dan rekomendasi Bakorpakem, aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah sampai hari ini masih terus terjadi. Asumsinya, eskalasi aksi kekerasan akan semakin naik dengan terbitnya SKB 3 Menteri. Kita ingat tragedi pembantaian anggota dan simpatisan PKI terjadi setelah negara (rezim Soeharto) mengeluarkan surat pembekuan dan pelarangan partai beraliran komunis tersebut. Tentu saja, kita semua berharap agar tragika kemanusiaan-kemasyarakat yang berdarah-darah itu tidak pernah terulang lagi di negeri ini dalam kasus Ahmadiyah atau lainnya. []
15/05/2008
0 comments :
Posting Komentar