Bangsa Inlander;


Kapan Menjadi Leader?
Oleh: Firdaus Putra A.

Akhir-akhir ini saya gerah menyaksikan tayangan televisi. Khususnya tayangan yang menyajikan bule-bule (orang asing berkulit putih) sebagai pusat hiburan. Ada tayangan Bule Gila, perjalanan bule, ada juga tayangan tentang bule yang ditantang untuk menari di atas panggung.

Saya membayangkan, apakah di negara lain ada tayangan serupa? Yakni ketika orang asing menjadi pusat dari tontonan tersebut. Atau apakah orang Indonesia di negara lain, akan sebegitu istimewanya seperti bule Eropa ketika masuk ke negara kita? Dugaan saya tidak seperti itu!

Fenomena seperti ini sebenarnya sangat berbahaya. Mengapa? Sekurang-kurangnya, para produser acara televisi memandang bahwa orang bule adalah istimewa. Sebaliknya, orang pribumi adalah biasa, atau justru rendah. Indikasi cara pandang ini terekam kuat dengan menjadikan bule sebagai pusat tayangan.

Dalam kajian ilmu sosial, cara pandang seperti itu dapat kita analisis melalui pendekatan post-kolonial. Sederhananya, bagaimana kita mendefinisikan atau memandang diri sendiri dengan membandingkan—bahkan dibayang-bayangi—oleh orang lain (asing). Kita memandang bule atau orang asing—khususnya kulit putih—adalah hebat. Di titik yang sama, kita merasa sebagai etnis kelas kesekian.

Bisa jadi atmosfir post-konolial ini merupakan konstruksi rezim Hindia Belanda yang memasukan penduduk pribumi sebagai kelas tiga. Urutan teratas, atau kelas pertama adalah orang kulit putih (Belanda – Eropa). Penduduk kelas dua adalah Timur Jauh (China, Arab dan sebagainya). Sedangkan kita berada di piramida paling bawah sebagai kelas inlander (rendahan).

Secara ilmiah kesadaran masyarakat Indonesia seperti ini sudah banyak dikaji. Seperti hasil penelitian Aquarini tentang warna kulit model iklan sabun. Jika kita jeli, jarang iklan sabun yang menggunakan model orang Indonesia dengan kulit sawo matang untuk orang Jawa, bahkan hitam untuk Indonesia bagian Barat. Yang sangat digandrungi adalah model persilangan atau campuran. Sebutlah nama, Sophia Lajuba, Tamara Blezinsky, dan seterusnya yang dikontrak oleh perusahaan sabun Lux.

Kesadaran sebagai bangsa inlander ini juga terekam dalam pola makan. Lihatlah, remaja-remaja kita sangat gemar menyantap fast food, khususnya MC Donald, KFC, CFC dan sebagainya. Bila karena rasa (taste), ayam goreng Mbok Berek tentunya lebih sedap. Juga ayam goreng atau semur ayam buatan ibu-ibu rumah tangga, lebih berasa sedapnya. Tidak ada alasan lain, kecuali mereka sedang melakukan konsumsi simbolis.

Pada dasarnya mereka makan (KFC, CFC, Bunthos, MC Donald, dll) bukan dalam rangka mengisi perut karena lapar. Akan tetapi lebih karena prestige yang ditawarkan oleh produk-produk itu. Sekali lagi, karena mereka akan merasa “naik kelas” ketika dapat mengonsumsi makanan siap saji yang kurang menyehatkan itu. Perasaan “naik kelas” ini merupakan implikasi logis dari perasaan inlander atau rendahan.

Pertanyaan selanjutnya, kapan kita menjadi leader? Sekurang-kurangnya menjadi pemimpin untuk diri atau bangsa sendiri. Pertanyaan ini sering diajukan di setiap seminar, diskusi, atau workshop dengan tema kebangsaan, nasionalisme, atau sekedar identitas bangsa. Menurut saya, ketika kita berani melakukan revolusi kebudayaan. Seperti apa detailnya? I dont know. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :