Epistemologi Gerakan
Enam Tesis Kebuntuan Epistemik
Oleh: Firdaus Putra A.
Epistemologi sebagai ilmu tentang pengetahuan sekurang-sekurangnya membahas; sumber pengetahuan dan cara/metode mendapatkan pengetahuan. Tulisan ini akan menyoroti dua hal itu pada ranah gerakan mahasiswa. Sedangkan tulisan ini bersumber dari pengamatan sehari-hari terhadap kecenderungan gerakan mahasiswa, khususnya di Purwokerto
Sumber Pengetahuan
Ada beberapa tesis yang akan saya ajukan. Pertama, menurut saya, gerakan mahasiswa mengalami—meminjam bahasa Baudrillard—tranz. Istilah ini biasanya digunakan dalam analisis hiperealitas dan simulakrum. Pokok masalahnya saya khususnya pada perkembangan isu sosial yang cepat dan beragam.
Seperti analisis Baudrillard tentang “masyarakat tontonan”, saat ini informasi yang beredar terlalu banyak. Sederhananya, melalui media cetak dan elektronik, ditambah internet, membuat masyarakat tidak mampu memilah dan memilih informasi apa yang benar-benar dibutuhkan dirinya. Semua informasi diserap. Ujungnya, masyarakat kebanjiran informasi, tidak menjadi penonton, justru ditonton oleh informasi.
Seperti itu juga yang terjadi pada gerakan mahasiswa. Isu sosial, ekonomi, politik membanjiri ruang pergerakan. Akhirnya, mereka mengalami over load terhadap isu-isu yang ada. Proses untuk memilah dan memilih, dalam kerangka menyaring, memfokuskan, dan memprioritaskan isu menjadi hilang. Semua isu mereka anggap sama pentingnya, dan harus dikerjakan oleh gerakan mahasiswa.
Kedua, fenomena tranz ini terlihat jelas ketika gerakan mahasiswa mengalami dis-orientasi lokus gerakan. Memang logikanya tidak harus mengkonsentrasikan diri hanya pada masalah lokal, atau nasional saja. Akan tetapi, gerakan mahasiswa cenderung terlihat kemaruk atau rakus untuk menggarap semua isu tanpa fokus yang jelas. Gerakan mahasiswa tak ubahnya bagai the holding campany yang menggarap dari sektor hulu sampai hilir.
Akhirnya, penggarapan isu kampus kurang optimal. Bilamana ada, penggarapannya lebih meyakinkan pada isu nasional, daripada lokal. Sebutlah masalah pembangunan Purwokerto City Walk (PCW) di depan kampus UNSOED. Sama sekali kurang tersentuh. Ditambah masalah ini mulai terutupi oleh isu kenaikan harga BBM, 10 tahun reformasi, juga 100 tahun kebangkitan nasional. Daya magnetisnya lebih kuat pada penyikapan isu-isu nasional tersebut.
Kecenderungan semacam ini juga dirasakan oleh seorang akademisi. Sebutlah Arizal Mutahir, S.Sos., dosen Jurusan Sosiologi FISIP UNSOED yang sedang menyelesaikan S2-nya di UGM. Menurutnya, gerakan mahasiswa saat ini terlalu silau melihat perkembangan isu nasional, dan berujung pada melupakan isu lokal.
Ketiga, karena lebih mengkonsentrasikan diri pada perkembangan isu di masyarakat, gerakan mahasiswa kurang mampu memasuki perdebatan epistemologi, teoritik, bahkan metafisik/filsafati. Mereka menganggap bahwa gerakan mahasiswa harus membasis dan praksis. Tidak ada yang salah dari pernyataan itu. Hanya saja, kita ingat satu adagium, “Teori tanpa praksis adalah pincang. Praksis tanpa teori adalah buta”. Adagium ini bukan sebuah proposisi tertutup atau dogma, melainkan muncul dari refleksi sosial atau refleksi gerakan sebelumnya.
Gerakan mahasiswa terlalu memandang sebelah mata teori sosial. Yang sering mereka lakukan hanya sekedar analisis sosial (ansos). Sekali mereka mempelajari pemikiran tokoh, teori, dan sebagainya, biasanya pengetahuan itu dipegang sebagai ideologi. Alhasil, mengingat ideologi sebuah proposisi tertutup, peluang kebuntuan epistemologi terbuka lebar.
Metode Pengetahuan
Tesis saya yang pertama, gerakan mahasiswa terjebak pada determinisme perspektif (selengkapnya baca tulisan saya “Menghindari Determinisme Perspektif”, dalam blog ini). Determinisme perspektif merupakan kecenderungan untuk mentotalitaskan semua analisis masalah hanya pada satu basis pengetahuan semata, misal, Marxisme, Islamisme, dan sebagainya.
Karena menggunakan cara pandang yang deterministik, gerakan mahasiswa seringkali hanya melakukan retorika, menghambur-hamburkan jargon, dan sebagainya. Lihatlah pernyataan, “Revolusi akan datang sebentar lagi”, “Khilafah Islam adalah solusi dari sistem demokrasi yang kufur”, dan sebagainya. Ironisnya, retorika manis itu tidak dilengkapi dengan rasionalisasi yang mencukupi dan common sense.
Tesis yang kedua, gerakan mahasiswa mengalami blind spot (titik buta) atau over sight. Analisis ini saya pinjam dari guru Posmodernisme Indonesia, Emanuel Subangun. Over sight yang dimaksud adalah bahwa gerakan mahasiswa seringkali tidak mampu melihat hambatan struktural yang ada di depannya. Hambatan itu kasat mata. Akan tetapi, karena tidak bersungguh-sungguh melakukan analisis, hambatan tersebut tak terlihat atau diacuhkan begitu saja.
Over sight ini disebabkan oleh determinisme perspektif. Ketika gerakan mahasiswa mendaku paling mencukupi melakukan analisis sosial, pada titik itu, mereka menutup kemungkinan terjadinya pencerahan nalar atau terbukanya analisis yang lain. Selain itu, secara teknis memang secara harfiah mereka tidak melakukan analisis secara serius dan detail. Biasanya hanya berhenti pada “narasi besar”. Berawal dengan kesimpulan, dan berakhir dengan kesimpulan.
Tesis yang ketiga, gerakan mahasiswa kurang kritis terhadap kondisi konkret yang dihidupinya. Kritis yang saya maksud—sekali lagi meminjam analisis Emanuel Subangun—yakni ketika gerakan mahasiswa mengetahui tapal batas keterbatasannya. Misal, gerakan mahasiswa di Purwokerto tentunya mempunyai “daya ledak” yang berbeda dengan gerakan mahasiswa di Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta. Kota-kota besar itu berada di lingkaran kekuasaan, sedangkan Purwokerto jauh dari kekuasaan, baik provinsi pun nasional.
Kemampuan untuk mengetahui tapal batas keterbatasan gerakan ini akan mengarahkan pada efektivitas lokus gerakan apa yang seharusnya digarap secara serius. Saya cukup miris ketika melihat banyak gerakan mahasiswa secara “latah” menyikapi isu kenaikan BBM. Memang tidak salah, bahkan harus. Menjadi bermasalah ketika isu kenaikan BBM membuat kita lupa pada masalah riil yang dihadapi mahasiswa.
Termasuk tidak kritis dan mengalami over sight, ketika saya mendengar BEM UNSOED ingin membuat desa binaan di Banyumas. Tidak ada yang salah, hanya saja dengan keterbatasan gerakan mahasiswa, juga mahasiswa sebagai individu, program semacam itu tidak tepat sasaran dan justru menghambur-hamburkan energi.
Demikian, semoga diskursus kali ini dapat menyentil para pegiat organisasi, baik intra pun ekstra kampus. Saya sangat senang bilamana pembaca bisa memberikan kritik (anti-tesis) dari diskursus ini. Mengingat kebuntuan epistemik akan menyebabkan kebuntuan pada ranah aksiologinya. Demikian pendapat saya. []
15/05/2008
0 comments :
Posting Komentar