Menangisi Jilbab
Oleh: Firdaus Putra A.
Entah perasaan apa itu, tiba-tiba mataku berlinangan air ketika membaca paragraf demi paragraf temuan M. Guntur Romli di Padang, Sumatera Barat (www.guntur.name). Ada rasa sesak, dongkol, dan muak. Meski aku memang Muslim, tapi aku tidak tega ketika seorang ibu Kristen berujar;
“Lalu saya katakan padanya bahwa ini peraturan jadi putri saya harus mengikutinya dan saya pun menjelaskan bahwa pakaian hanyalah simbol sehingga tidak mewajibkan dia harus mempelajari Islam karena iman seseorang itu tidak digambarkan dari jilbab dan iman seseorang itu tidak digambarkan dari Salib tetapi iman seseorang itu berada pada hati nurani.
Sehingga saya katakan pada putri saya agar ia jangan kalah, ia harus bisa menunjukkan bahwa walaupun ia memakai jilbab, imannya masih teguh mempertahankan agama Kristen. Putri saya itu dididik untuk hidp berdampingan dengan umat agama lain, sehingga ia dapat memahaminya. Sebetulnya jauh di lubuk hati saya, hal ini sangat menyiksa. Putri saya sendiri merasa tersiksa dengan peraturan ini. Tapi jangan dianggap karena putri saya memakai jilbab, maka ia mengikuti agama orang lain. Ia masih tetap mempertahankan keimanannya pada agama Kristen. Ia hanya menyesuaikan diri saja”.
Ibu itu mengeluhkan pemberlakuan peraturan busana Muslim di Kota Padang berdasarkan Instruksi Walikota Padang, Fauzi Bahar, Nomor 451.422/Binsos-iii/2005. Pasalnya, melalui Perda itu, golongan non-Muslim menjadi terdiskriminasi.
Dengan pelan aku baca kutipan perda-nya, “Bagi Murid/Siswa SD/MI,SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MA se Kota Padang diwajibkan berpakaian Muslim/Muslimah yang beragama Islam dan bagi non Muslim dianjurkan menyesuaikan pakaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang bagi laki-laki)”. Karena malu, mau tidak mau, siswi non-Muslim juga mengenakan jilbab.
Ditambah, pernah seorang siswi non-Muslim dihardik seniornya karena tidak berjilbab, “Eh kok kamu enggak pakai jilbab?” , Dia jawab, “Saya non-muslim kak”, “Non-muslim, muslim harus pakai!”. Paska kejadian itu, Kepala Sekolah mengadakan rapat, dan akhirnya diputuskan, baik Muslim atau non-Muslim harus mengenakan jilbab.
Aku membayangkan, seandainya aku diperintahkan mengenakan Salib padahal aku seorang Muslim, pasti rasanya menyakitkan. Sayangnya aku tidak bisa berbuat banyak, lantaran umat Kristen di daerahku adalah mayoritas. Aku hanya diam, memendam kedongkolan dan kejengkelan. Klimaksnya, aku hanya bisa mengeluh pada orang tuaku, atau kyaiku.
Mungkin perasaan seperti itu yang terbenam di sanubari Kristiani Padang. Seperti ketika seorang anak mengeluh karena dongkol, “Kita tuh cerita-cerita kalau kesel banget pake jilbab ini. Masa kita harus pake jilbab, kita kan non-muslim. Ya pengennya tuh kita apain itu Pemda, ya kayak gitu-gitu lah! Ya kesel-kesel gitu, ya cuma di hati aja. Apa yang bisa kita lakuin sebagai siswa, gitu kan?”. Sebuah rasa yang nyaris tak terkatakan. Speech less!
Sejujurnya aku heran dengan orang seumatku, mereka suka sekali menunjukan simbol-simbol agama. Seolah-olah mereka akan terlihat hebat dan suci ketika mengenakan simbol-simbol itu. Padahal keimanan adalah ihwal bathiniyyah dan fi’liyah, bukan penampakan luarnya (appearance).
Aku juga heran, apakah orang-orang seumatku tidak bisa berempati. Menempatkan posisi, atau sekurang-kurangnya sudut pandang, kalau “aku menjadi dia”. Seenaknya mereka membuat aturan. Apa lantaran mayoritas?
Suatu ketika, pernah aku masuk ke Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK). Seorang kader menyatakan kesal karena umat Kristen di Manokwari menerbitkan Perda Injil. Kader itu tidak bisa menerima, lantaran negara kita merupakan negara kesatuan, bukan negara Kristen.
Melalui forum maya itu juga, kurang-lebih aku timpali seperti ini, “Eh kalian itu aneh ya. Perda Injil di Manokwari itu kan cuma reaksi. Nah kita, dari kemarin enak-enakan bikin Perda Syariat di banyak kota. Baru satu kota mereaksi saja sudah kebakaran jenggot. Makanya, tidak perlulah kita bikin Perda-perda Syariat”. Kader itu tidak memberi komentar.
Aku berpikir, kalau cara keberagamaan seperti ini masih tetap dipertahankan, berapa orang lagi akan tersakiti oleh “Islam”. Perlu lah kita berendah hati. Tidak mentang-mentang mayoritas. Karena aku yakin, Tuhan tidak menurunkan Islam untuk melukai perasaan orang lain.
Coba kita renungkan pernyataan Pdt. John Robert Pardede, GMI (Gereja Metodis Indonesia), Padang, “Kami tidak bisa melawan. Kami sadar inilah resiko menjadi kelompok minoritas. Kami hanya terus introspeksi. Kami melihat tidak ada jalan lain kecuali dengan mematuhi aturan ini. Mau gimana lagi? Ketika saya sering mendapat keluhan dari jemaat, saya hanya bisa membesarkan hati mereka dengan perkataan, tidak apa-apa tutup kepala kalian dengan jilbab, tapi tutup hati kalian dengan iman kepada Allah”. Lantas apakah umat Islam akan terus menjadi teror bagi pemeluk agama lain, golongan minoritas, dan seterusnya?
Kalau Anda menjawab, iya, patutlah saya kecewa. Dan patutlah saya menangis untuk kesekiankalinya. Semoga tidak! []
16/05/2008
4 comments :
“Kami tidak bisa melawan. Kami sadar inilah resiko menjadi kelompok minoritas. Kami hanya terus introspeksi. Kami melihat tidak ada jalan lain kecuali dengan mematuhi aturan ini. Mau gimana lagi? Ketika saya sering mendapat keluhan dari jemaat, saya hanya bisa membesarkan hati mereka dengan perkataan, tidak apa-apa tutup kepala kalian dengan jilbab, tapi tutup hati kalian dengan iman kepada Allah”
apa hubungannya baju sama agama? bingung saya.... mereka yang gila atau saya yang bego? hohoho
Ironis,arogan,angkuh...! itulah yg sering ditunjukkan kebanyakan orang yg mengaku2 sbg pembela agama,dg jihad sbg alasan. Pdhal sama sekali nonsens...sungguh memprihatinkan.
Saya sering trenyuh melihat hal2 spt itu,bahkan ga jarang sampai meneteskan air mata.Dlm hati saya bertanya2 "dimana Qolb' mereka,matikah otak mereka? hingga tiada bisa menempatkan diri mereka pd keadaan mereka yg ditindas?" Kita hidup di negara 'pancasila', bukan di negara "Islam" kita hrs bisa menghargai umat lain.
ass...
terimakasih sudah mampir ke blog saya.
membaca artikel `Menangis karena Jilbab` ini, saya jadi terharu. saya juga berpikiran :Apakah islam sediktator itu? islam itu tidak memaksa. bahkan Rosulullah pun memiliki jiwa toleransi yang tinggi.
tapi di satu sisi lain, sayapun berpikiran "Itu adalah kejadian di Padang. meskipun saya tak hendak membeda-bedakan antar daerah, tapi setidaknya masih banyak muslim yang toleran dan memahami nilai islam secara benar.
yg sepatutnya kita lakukan sebagai muslim adalah menjalankan syariat jilbab itu (karena memang itu adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar) tanpa harus memaksa orang lain mengikuti syariat kita.
salam,
ass...
terimakasih sudah mampir ke blog saya.
membaca artikel `Menangis karena Jilbab` ini, saya jadi terharu. saya juga berpikiran :Apakah islam sediktator itu? islam itu tidak memaksa. bahkan Rosulullah pun memiliki jiwa toleransi yang tinggi.
tapi di satu sisi lain, sayapun berpikiran "Itu adalah kejadian di Padang. meskipun saya tak hendak membeda-bedakan antar daerah, tapi setidaknya masih banyak muslim yang toleran dan memahami nilai islam secara benar.
yg sepatutnya kita lakukan sebagai muslim adalah menjalankan syariat jilbab itu (karena memang itu adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar) tanpa harus memaksa orang lain mengikuti syariat kita.
salam,
Posting Komentar