Aksi Sepi Peserta?


Rethinking Pilihan Media Perjuangan Mahasiswa
Oleh: Firdaus Putra A.

Salah satu indikator yang paling kasat mata dinamika gerakan mahasiswa saat ini adalah seberapa sering mereka menggelar demonstrasi. Lihatlah, tanggal 1 Mei kawan-kawan mahasiswa turun ke jalan membantu kawan buruh memperingati May Day dengan tuntutan dan aspirasi kepada pemerintah. Sehari kemudian, 2 Mei, demonstrasi dilakukan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan. Lantas, ada demonstrasi apa lagi di tanggal-tanggal ke depan? 21 Mei akan diperingati sebagai 10 tahun Reformasi, dan seterusnya.

Tanggal 2 Mei yang lalu saya secara sadar tidak mengikuti aksi massa yang digelar oleh aliansi ormas mahasiswa di Puwokerto. Bukan lantaran kesibukan lain, tetapi saya mempunyai dan pandangan dan instrumen lain untuk memperingati hari itu.

Dalam dua tahun terakhir, untuk kali pertamanya, saya kembali turun ke jalan. Bersama kawan-kawan petani Banyumas saya menuntut Pemda Kab. Banyumas melakukan pensikapan terhadap naiknya harga kebutuhan pokok. Tergabung dalam Aliansi Gerakan Masyarakat Banyumas (AGAMAS), saat itu saya dipercaya sebagai negosiator. Dengan sepenuh hati, saya turut langkah. Mengapa? Menurut saya, target, tuntutan dan capaian riil gerakan itu jelas, yakni local action Pemda Kab. Banyumas untuk mensikapi kenaikan harga kebutuhan pokok. Bukan sekedar aspirasi atau peringatan.

2 Mei, seharusnya saya turun jalan. Mengingat masalah itu berhubungan erat dengan kelas sosial saya, mahasiswa sebagai peserta pendidikan. Seharusnya saya membantu kawan-kawan yang aksi saat itu. Namun tidak saya lakukan. Mengapa? Menurut saya, pertama, aksi dengan isu yang sama, yakni komersialisasi pendidikan, sudah sering dilakukan. Kedua, aksi dengan metode yang sama, yakni demonstrasi juga sudah sering dilakukan. Ketiga, saya punya padangan jangka panjang terhadap kecenderungan mahasiswa/masyarakat saat ini dalam melihat demonstrasi mahasiswa. Alasan terakhir inilah yang sangat menentukan sikap saya.

Analisis pertama, saya membaca bahwa telah terjadi kejenuhan mahasiswa/masyarakat dengan digelarnya demonstrasi di setiap peristiwa atau momentum. Kejenuhan ini secara psikologis dapat dijelaskan. Kita tahu bahwa, satu tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang akan mereduksi atau mengikis makna tindakan itu sendiri. Premis ini sebenarnya sering kita temukan di banyak aktivitas sehari-hari. Ilustrasi sederhananya, sekali kita makan permen, rasa manis itu terasa lezat. Dua kali masih terasa enak. Tiga, empat dan seterusnya, rasa manis akan berubah menjadi rasa yang tak terdefinisikan oleh indera pengecap kita. Singkat kata, kita sebut dengan rasa tidak enak.

Kecenderungan semacam itu juga saya lihat di kalangan mahasiswa/masyarakat. Sekali mereka melihat aksi massa, mereka kagum dan tergerak untuk ikut. Jika kawan-kawan UNSOED masih ingat, rentang tahun 2003-2008, demonstrasi yang besar dan heroik hanya terjadi pada dua isu; penarikan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) oleh UNSOED, dan Pemilihan Rektor (Pilrek) UNSOED. Selebihnya, aksi mahasiswa, ketiga, empat kalinya, sebanyak-banyaknya hanya diikuti oleh 50-70 orang.

Saya tidak terlalu sepakat dengan asumsi bahwa minimnya peserta aksi lantaran kecenderungan mayoritas mahasiswa hari ini sedemikian apatis dan acuh. Saya lebih membacanya sebagai kecenderungan titik jenuh mahasiswa melihat aksi massa atau demonstrasi. Mereka jenuh dengan day-to-day demonstrate!

Saya pernah menyampaikan ini di forum gerakan mahasiswa. Menurut saya, kejenuhan basis gerakan adalah masalah serius. Sayangnya, sampai sekarang, gerakan mahasiswa belum melakukan evaluasi terhadap media perjuangan dan mencari media alternatif yang lain.

Mari kita imajinasikan sejenak, pada tanggal 2 Mei, Anda melintasi kawanan mahasiswa yang sedang berorasi, meneriakan yel-yel, membawa bendera ormas, dan membagi-bagikan selebaran. Tanpa harus berhenti dan menyimak, Anda akan mengatakan, “Pasti Hari Pendidikan. Isunya pasti pendidikan mahal”. Pertanyaan saya kemudian, mengapa Anda tidak berhenti dan kemudian ikut aksi tersebut?

Analisis kedua, saya curiga bahwa aksi massa atau demonstrasi tidak bersifat populis atau memasyarakat. Justru, sebagian mahasiswa melihat aksi massa sebagai tindakan yang elitis. Dulu, seorang kawan pernah meyakinkan saya bahwa salah satu tujuan aksi massa adalah untuk mendidik mahasiswa/masyarakat. Sekurang-kurangnya, mahasiswa/masyarakat akan tahu bahwa hari ini ada masalah.

Menurut saya, tujuan itu justru kurang tersampaikan. Mahasiswa yang tidak ikut aksi merasa bahwa mereka bukan bagian dari aksi itu. Padahal, bisa jadi mereka mempunyai kegelisahan dan tuntutan yang sama. Ada semacam jarak kultural antara mahasiswa yang ikut dan yang tidak ikut. Saya katakan, aksi massa cenderung elitis dan tertutup. Mengapa?

Analisis ketiga, saya khawatir jangan-jangan memang aksi massa hari ini terlalu elitis dan tertutup. Sekurang-kurangnya, simbol-simbol yang mereka gunakan saja sudah berbeda. Pengibaran bendera ormas, jargon-jargon yang sangat propagandis dan seterusnya. Entah disadari atau tidak, kawan-kawan ormas justru menutup kemungkinan terbukanya aksi yang membasis. Poin ini dulu pernah saya lontarkan ketika rapat aksi untuk AGAMAS. Saya menolak ormas mengeluarkan benderanya.

Keempat, saya takut kalau niatan kita masih banyak diwarnai oleh nalar eksistensialisme keormasan. Menggelar aksi massa dalam rangka menjual nama besar ormas. Ibarat perusahaan mereka sedang mengiklankan produknya. Semoga salah!

Keempat analisis ini merupakan faktor yang menyebabkan aksi massa tidak pernah membasis. Aksi massa hanya sekedar tontonan di pinggir jalan, dimana orang lewat dengan ringannya akan berkata, “Ah biasa!”.

Kesekiankalinya, saya sarankan bahwa gerakan mahasiswa harus melakukan evaluasi terhadap pilihan media perjuangan. Saya tidak menolak aksi massa. Dan saya juga tidak sepakat bulat-bulat. Saya sepakat dengan pertimbangan tertentu, dan saya akan menolak dengan mempertimbangkan ritme gerakan mahasiswa secara jangka panjang.

Jika kita tidak mau mengevaluasi, saya khawatir, suatu tempo kita akan sakit hati ketika berteriak lantang atas nama kepentingan mahasiswa, akan tetapi justru mereka mengacuhkannya. Sebelum itu berlarut-larut, alangkah baiknya kita memikirkan ulang media perjuangan kita.

Terakhir, janganlah kita umbar aksi massa di setiap kesempatan atau momentum. Ibarat makan, orang juga akan sampai pada titik nadirnya sampai ia merasa jenuh. Dan saat kejenuhan itu datang, bergantilah sekali waktu ke menu yang lain. Demikian pendapat saya. []

04/05/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :