Justifikasi Teks?


Tanggapan untuk M. Guntur Romli
Oleh: Firdaus Putra A.

*
Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap judul “Bisakah Memperbincangkan “Seksual Minoritas” dalam Islam?” di www.guntur.name. Lebih jelasnya, sidang pembaca membuka situs pribadi Guntur Romli untuk mengetahui secara pasti masalah apa yang sedang didiskusikan.

Dalam artikelnya, Guntur Romli menyatakan bahwa ketika kita membicarakan “seksual minoritas” dalam Islam, bukan dalam kerangka mencari justifikasi teks (Quran). Karena, menurut beliau, hidup kita tidak selalu harus mendapat justifikasi teks. Secara sederhana beliau memberi contoh praktik kehidupan yang saban hari kita jalani, mandi, makan, pergi ke kantor, mengoperasionalkan komputer dan seterusnya. Tindakan-tindakan seperti ini tidak membutuhkan justifikasi atau penghukuman dari Quran pun Hadist. Justru, menurutnya, ketika kita selalu mencari-cari justifikasi teks, bisa jadi kita akan berbenturan dengan realitas yang ada di lapangan, misal, hubungan antara seorang Muslim dengan Kristiani, dan sebagainya.

“Seksual minoritas” yang dimaksud oleh Guntur adalah orientasi seksual seperti lesbi, gay, biseksual, transeksual, interseks dan queer (LGBTIQ). Dua term yang terakhir, jujur, saya belum memahaminya (interseks dan queer). Seperti model berpikir yang dibangunnya di awal, orientasi seks individu juga sepenuhnya masalah alamiah manusia. Sekedar masalah dorongan syahwat, nafsu dan sebagainya yang merupakan insting dasar manusia.

Sebagai proses diskusi, saya meminta agar tulisan ini dipahami sebagai pandangan sementara saya. Artinya, bila suatu tempo saya menemukan bangunan pemikiran lain yang bisa mendukung asumsi-asumsi Guntur Romli dan lainnya, tidak berberat hati untuk saya menerimanya.

**
Pertama, saya berpendapat, wilayah atau konteks diskusi yang disuguhkan oleh Guntur Romli dengan kawan millist-nya berada pada ruang yang berbeda. Kawan-kawan di forum millist menanyakan justifikasi teks seperti apa yang membenarkan praktik LGBTIQ. Sampai-sampai mereka menggunakan term “pemerkosaan teks” ketika kita mencari-cari dan mencocok-cocokan teks untuk menghalalkan LGBTIQ. Sedangkan Guntur Romli lebih membahas pada proses rekonsiliasi antara Islam dengan “seksual minoritas”. Yakni, bagaimana Islam menyikapi fenomena LGBTIQ tersebut.

Menurut saya, dalam trilogi Islam ada konsep iman, islam, dan ihsan. Masing-masing konsep memiliki kategori nilai yang berbeda. Juga berada pada ruang yang berbeda. Logika iman, tentu saja berada pada ruang akidah atau kepercayaan. Kategori nilainya yakni antara kufr atau mukmin. Sedangkan islam—dalam konteks ini mengacu pada syariah dan dipersempitkan lagi pada fiqih—berada pada ruang legal-formal. Kategori nilainya yakni halal atau haram. Sedangkan terakhir, ihsan, variabel ini berada di ruang publik. Yakni menyangkut hubungan antara satu individu atau kelompok dengan yang lain sebagai masyarakat manusia. Kategori nilainya yakni pantas atau tidak.

Pertanyaan atau diskusi di forum millist saya tengarai sebenarnya lebih menghendaki pada ruang islam (fiqih). Sedangkan Guntur Romli memberikan jawaban lebih pada ruang ihsan. Menurut saya, proses diskusi tersebut tidak nyambung dan bukan sebuah perdebatan. Karena, meminjam definisi Ahmad Shomali, perdebatan hanya mungkin terjadi bilamana berada pada satu konteks dan masalah yang sama.

Kedua, tulisan “Bisakah Memperbincangkan “Seksual Minoritas” dalam Islam?” memang tidak memiliki pretensi untuk menjawab hukum (fiqih) seksual minoritas dalam Islam. Tulisan tersebut, sesuai dengan penjelasan di atas, lebih memberikan jawaban pada persoalan hubungan antara Islam—mungkin juga agama samawi lain—yang pada awalnya memusuhi LGBTIQ agar menjadi lebih bijak dan arif kepada sesama manusia.

Saya memahami logika yang ditawarkan Guntur, dengan meminjam pernyataan Aquino dan Irshad Manji, yakni bagaimana kita merekonsiliasikan antara Islam dengan LGBTIQ, bukan mencari justifikasi teks yang membenarkan atau menyalahkannya. Logika ini tentu saja mencukupi, sebatas mengkaji hubungan antara Islam dengan LGBTIQ.

Ketiga, jawaban di atas menjadi tidak mencukupi ketika kita bertanya bagaimana Islam menghukumi LGBTIQ. Tentu saja kita harus menjawabnya pada ruang islam (fiqih), bukan lagi ihsan. Ketika tidak menjawab persoalan ini, ada kemungkinan kita sedang “melarikan diri” dari masalah. Atau kemungkinan yang lain “sesat logika”. Yakni ketika kita mencampuradukan antara pembahasan ruang islam dan ihsan dengan hanya memberikan satu jawaban saja.

Sebagai orang yang sepakat dengan ide sekularisasi, pemisahan ruang antara islam (fiqih) dan ihsan (publik), seharusnya membuat kita semakin mudah untuk berijtihad. Karena kita akan dengan mudah membedakan masalah mana yang termasuk akidah, fiqih dan akhlak. Bisa saja secara pribadi (fiqih) kita tidak sepakat dengan LGBTIQ, akan tetapi, di dalam ruang publik (ihsan), atas nama apapun kita tidak dibenarkan untuk memusuhi, menganggu, dan sebagainya. Justru sebaliknya, atas nama kemanusiaan kita tetap harus berbudi baik tanpa membeda-bedakan agama/keyakinan, afiliasi ideologi, orientasi seksual, dan sebagainya kepada siapapun.

***
Terakhir, mengapa kita membutuhkan justifikasi teks? Karena sebagai manusia yang beragama, kita memasuki beberapa ruang yang selalu beririsan. Dan biasanya, praktik sosialnya antara ruang yang satu dan yang lain bisa saling berbenturan. Untuk itu, satu justifikasi teks dibutuhkan—misal untuk mengkaji LGBTIQ pada wilayah fiqh. Dan justifikasi teks yang lain harus dikeluarkan untuk merekonsiliasikan hubungan antara Muslim dan LGBTIQ di ruang publik.

Menurut saya, justifikasi teks pada beberapa masalah tertentu harus bekerja di dua level; fiqih dan ihsan. Dan Guntur Romli adalah salah satu orang yang memilih bekerja di ruang yang terakhir (ihsan). []

23/05/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :