Hanya Mengirim SMS


Mencari Alternatif Media Pendidikan/Perjuangan
Oleh: Firdaus Putra A.

Tulisan ini bisa dianggap sambungan dari judul “Mengapa Aksi Massa Sepi Peserta?
Rethinking Pilihan Media Perjuangan Mahasiswa”. Seperti analisis yang saya ajukan di judul itu, bahwa sepinya aksi massa lantaran semakin jenuhnya mahasiswa sebagai basis gerakan. Dalam tulisan ini saya ingin memberikan pandangan alternatif apa-apa yang bisa kita lakukan selain dengan aksi massa.

Tanggal 2 Mei yang lalu saya tidak turun ke jalan memperingati Hari Pendidikan dengan menuntut pemerintah. Dengan pacar, saya justru berada di kos. Bersama pacar saya mendiskusikan seluk-beluk aksi massa. Dua tema ini merupakan hasil refleksi diskusi tersebut. Akhirnya, kami berdua memutuskan untuk mengirim pesan singkat yang berbunyi, “Pendidikan. Mengapa kita butuh? Untuk kerja. Apakah hanya sebatas itu? Biayanya bagaimana? Mahal tentunya. Lantas yang miskin bagaimana? Ingat tujuan nasional kita! Sebarkan ke yang lain. Cukup satu SMS saja”.

SMS ini kami kirim ke sedikitnya lima nomor. Kami kirim ke mahasiswa kebanyakan, bukan aktivis atau pegiat. Mengingat, kami yakin para aktivis atau pegiat sudah cukup lama jam terbangnya. Jadi percuma saja mengirimi SMS berantai itu pada mereka.

Saya akan memulai diskusi ini dengan beberapa pertanyaan. Pertama, jika Anda menerima SMS semacam itu, apakah Anda akan membacanya? Saya yakin iya. Karena SMS tersebut masuk ke ruang privat (ponsel) Anda. Kedua, bagaimana Anda membacanya? Poin ini yang menurut saya penting dan tidak saya temukan di media aksi massa. Saya akan memulai diskusi ini.

Pertama, seseorang yang menerima SMS itu mau tidak mau akan membacanya. Seperti di atas, karena SMS itu memasuki ruang privat yang paling intim dengan dirinya. Ia membaca, mata langsung melihat ke arah LCD ponsel. Hanya dirinya dan SMS itu. pada titik inilah, peluang untuk terjadinya dialog dalam diri individu bisa terjadi.

Kedua, orang sangat mungkin melakukan jawaban spontan (di dalam hati) ketika membaca SMS itu. Mari saya tunjukan proses dialog internal itu.
SMS : Pendidikan. Mengapa kita butuh?
Penerima: Ya butuh dong ...
SMS : Untuk kerja. Apakah sebatas itu?
Penerima: Ya iya, untuk kerja. Tapi tidak hanya itu seh, pokoknya ada selain itu.
SMS : Biayanya bagaimana? Mahal tentunya.
Penerima: Namanya juga orang sekolah. Pasti ngeluarin biaya dong.
SMS : Lantas yang miskin bagaimana?
Penerima: Lha ... gimana lagi, emang mahal. Kasihan se ... aslinya.
SMS : Ingat tujuan nasional kita!
Penerima: Mencerdaskan kehidupan bangsa kan!
SMS : Sebarkan ke yang lain. Cukup satu SMS saja.
Penerima: Gak masalah. Cuma satu SMS saja kok.


Saya mengimajinasikan akan terjadi dialog internal seperti di atas. Pertanyaan reflektif dan terbuka. Terserah dia akan menjawabnya dengan nada mayor atau minor. Sekurang-kurangnya, ketika dia berdialog, dia sudah menunjukan sikapnya secara jujur. Entah itu naif atau kritis.

Proses semacam ini yang tidak bisa ditemukan pada sebuah aksi massa. Selain publik bersifat cair, publik juga biasanya mobile (bergerak). Mereka hanya menerima informasi, yang sudah menumpuk. Karena mereka juga mendengar di radio, melihat di televisi, juga membaca di koran. Jadi, stok pengetahuan atau informasi sudah cukup banyak. Yang kurang adalah proses mendialogkan pengetahuan atau informasi itu.

Perbedaan yang lain, SMS berantai memberikan dampak psikologis bahwa saya—sebagai penerima—dianggap sebagai mahasiswa yang lengkap. Ikut diajak diskusi, dikirim SMS dan seterusnya. Individu menjadi terapresiasi. Tidak hilang di tengah-tengah hingar-bingar seperti aksi massa.

Bandingkan dengan aksi massa, individu (publik), bersifat anomin. Mereka sama sekali tidak saling mengenal. Ditambah dengan hingar-bingar, informasi yang dicerap juga terlalu dangkal. Meskipun ada selebaran yang dibagikan, karena bahasanya yang terlalu propagandis, orang membacanya hanya sebagai jargon yang sering mereka dengar. Selain itu, ikatan psikologis juga sama sekali kurang, bahkan nyaris tidak ada.

SMS berantai saya tawarkan hanya sebagai salah satu alternatif media pendidikan/perjuangan. Jadi, saya tidak sedang menganggap cara ini paling manjur. Hanya saja, tidak ada salahnya digunakan mengingat ada beberapa fungsi yang dapat menutup celah dari media aksi massa.

Khusus mengomentari tanggal 2 Mei, menurut saya masih banyak media lain. Seperti teatrikal, renungan bersama (di ruang publik), dan sebagainya. Media ini meskipun tidak dapat menarik peserta di luar lingkaran aksi, namun dapat memberikan warna lain dalam ritme pergerakan mahasiswa.

Sebagai media pendidikan, aksi massa 2 Mei kemarin saya rasa kurang optimal. Dia hanya pada media agregasi, artikulasi aspirasi dan tuntutan. Tentu saja, targetnya bukan memberdayakan mahasiswa di luar lingkaran, melainkan media massa.

Jika benar, saya semakin khawatir, kecenderungan ini lama ke lamaan menjadi kesadaran bahwa aksi massa tidak perlu banyak orang (massal). Cukup 50-an orang, yang penting media meliputnya. Dampaknya, mahasiswa di luar lingkaran akan ditinggal atau tertinggal jauh.

Dan ketika saya menonton televisi, aksi massa dengan hingar-bingar bendera dan simbol keluar di sana-sini. Dalam gegap gempita teriakan yel, jargon yang propagandis, mereka lupa, kalau mahasiswa yang lain sedang menontonnya. Ya, hanya menontonnya melalui si kotak ajaib yang semakin mempertegas jarak kultural antara pegiat/aktivis sosial dengan basisnya.[]

04/05/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :