Surga & Neraka
Jika Keduanya tak Pernah Ada
Oleh: Firdaus Putra A.
Siang tadi (Jumat, 31 Mei 2008) saya dan seorang teman kelabakan mencari masjid untuk menunaikan salat Jumat. Bukan lantaran masjid yang kami maksud sudah penuh, melainkan karena kami telat.
Saat itu waktu sudah menunjukan pukul 12.30 WIB, Masjid Darul Hikmah Grendeng sudah memulai salat Jumat. Akhirnya, kami berdua langsung memacu motor ke Masjid Nurul Ulum. Sesampai di sana, salat Jumat juga sudah dimulai. Awalnya kami ragu untuk masuk. Namun, setelah mengetahui teryata baru berlangsung satu rakaat, kami lantas ikut berjamaah. Lega rasanya!
Singkatnya, kami menjadi makmum masbuk yang datang belakangan dan pulang duluan. Teman-teman satu kos yang lain sudah 15 menit yang lalu berangkat. Tentu saja status mereka aman. Dan sangat mungkin, mereka mengira kami tidak menunaikan salat Jumat. Tapi, saya tidak terlalu ambil pusing dengan prasangka mereka.
Jumatan tadi siang menjadi menarik ketika sepulang ke kos, teman saya berujar, “Bang kita pulang duluan nih! Yang lain belum pulang. Ntar dikirain kita nggak salat”. Dengan ringan saya jawab, “Ya terserah mereka punya prasangka apa. Toh salat urusan kita. Bukan mereka. Apakah aku harus memberitahu orang kalau aku salat, atau sebaliknya”. Teman itu manggut-manggut pertanda paham apa yang saya maksud.
Mari saya ajak bermain tafsir. Terlepas dari seperti apa sebenarnya—karena pengetahuan yang hakiki kita yakini tak akan pernah tertemukan—isi hati teman saya, jika boleh kita menafsirkan, ekspresi spontan di atas menyiratkan satu hal, yakni eksistensialisme dalam beribadah. Sederhananya, teman saya masih bimbang ketika saat ia beribadah tidak diketahui orang lain. Ia bimbang karena takut menerima ejekan atau celaan, “Gak salat Jumat ya!”.
Masalahnya adalah bahwa baik teman saya atau yang mengejek, sebenarnya kurang menginsyafi bahwa salat (ibadah mahdloh) merupakan urusan individu dengan Tuhannya. Memberi ejekan (punishment) kepada seseorang yang tidak melaksanakan salat atau ibadah lainnya, pada sisi lain akan melahirkan—meskipun secara tidak langsung—sanjungan (reward) ketika orang itu melaksanakan salat. Proses semacam ini jika terjadi secara terus menerus hanya akan mengkerdilkan makna ibadah kita. Yakni, kita menunaikan ibadah karena takut diejek atau karena ingin mendapat sanjungan. Hilanglah makna ikhlas atau demi Tuhan semata, atas ibadah yang kita lakukan.
Saya menjadi ingat satu cerita sufi masa lalu. Konon ceritanya, ada seorang perempuan sufis, Robiyatul Adawiyah, ia berjalan di pasar. Menjadi fenomenal karena beliau membawa air di tangan kiri; dan membawa api di tangan kanannya. Beberapa orang di pasar menyapa sembari bertanya, “Wahai Robiyatul Adawiyah, untuk apa kamu membawa api dan air?”. Sang Sufis pun menjawab, “Dengan api di tangan kananku, aku ingin membakar surga. Dan dengan air di tangan kiriku, aku ingin menyiram api di neraka!”. Terlepas dari sejarah itu ada atau sekedar mitos, ada makna metaforis yang bisa kita ambil.
Metafor itu menggambarkan kegelisahan Sang Sufis ketika melihat banyak umat Islam beribadah hanya dalam rangka mengharapkan surga atau jauh dari api neraka. Makna ibadah menjadi sekedar “pembelian tiket” untuk menuju surga. Bukan dalam rangka memperoleh ridlo Allah atau perkenan Tuhan. Sikap ikhlash menjadi tereduksi, bahkan hilang. Lahirlah kita sebagai hamba-hamba kapitalis yang senantiasa menghitung-hitung amal baik dan buruk.
Dulu saya pernah mendiskusikan metafora di atas dengan beberapa teman. Sebagian mereka berpendapat, surga dan neraka hanya sekedar taktik Tuhan agar hamba-hamba-Nya beribadah. Taktik ini memperhitungkan tingkat keimaan hamba-Nya. Bagi yang masih awam, tentu saja iming-iming dalam bentuk material (surga) menjadi motivasi psikologis yang mendorong orang untuk beribadah. Dan sebaliknya, adanya neraka laksana cambuk yang akan mengganjar mereka ketika ia tidak menunaikan ibadah. Sampai titik ini kita bisa memakluminya.
Masalah berikutnya, apakah keberagamaan kita selalu berheti di titik ini terus? Saya rasa tidak! Kita perlu ke tingkat yang lebih tinggi. Dari motivasi materialis ke motivasi spiritualis. Pada titik ini, saya melihat pendidikan agama atau dakwah Islam gagal melakukan transformasi kesadaran. Umat hanya belajar—meminjam bahasa Machfudin Yusuf—dari alif ke alif, tidak pernah ke ba’, ta’ dan seterusnya.
Secara reflektif, kita perlu untuk merenung apakah kita akan tetap beribadah manakala surga dan neraka tak pernah ada? Apakah kita akan tetap beribadah manakala tidak ada sanjungan atau ejekan dari orang lain?
Terakhir, perlu bagi kita merenungkan syair lagu yang sering dibawakan almarhum Chrisye, Jika Surga Dan Neraka Tak Pernah Ada;
“Apakah kita semua, benar-benar tulus menyembah pada-Nya. Atau mungkin kita hanya takut pada neraka, dan inginkan surga. Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepada-Nya. Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyebut nama-Nya. Bisakah kita semua benar-benar sujud sepenuh hati. Karena sungguh memang Dia, memang pantas disembah, memang pantas dipuja”.
Jika kita masih di titik alif, tidak ada salahnya kita belajar—bahkan harus—untuk ke titik ba’, ta’ dan seterusnya. Belajar beribadah dari motivasi materialis ke motivasi spiritualis, dalam rangka hanya mencari perkenan Tuhan Yang Maha Kasih. Bukan semata surga, pun menjauhi neraka. []
0 comments :
Posting Komentar