For Blogger
Pembatasan dan Pengawasan Aktivitas Blog
Oleh: Firdaus Putra A.
Hari kemarin saya kaget ketika menerima kabar dari seorang teman yang menonton tayangan “Kupas Tuntas”. Tema yang diangkat masalah blog, blogger, dan blog content. Pokok masalahnya, pemerintah menghendaki agar aktivitas blogger diawasi, dibatasi. Khususnya bagi mereka yang memuat tema-tema kritik sosial dan kritik pemerintahan. Tentu saja hal ini sangat menarik perhatian saya, juga Anda tentunya. Sekurang-kurangnya, bilamana kebijakan itu keluar, saya dan Anda semua sebagai blogger akan terancam dan terkebiri hak kebebasan berpendapat dan akses informasi.
Jujur, saya mulai bingung memandang pemerintahan sekarang. Baru kemarin, DPR kita meributkan syair lagu Slank yang bernuansa kritik pemerintah. Dan sekarang ditambah dengan meributkan blog content yang “menyerang pemerintah”. Saya rasa, dua kasus ini bisa memperlihatkan kecenderungan pemerintah yang ternyata masih gagap dengan alam kebebasan dan demokrasi.
Apa jadinya jika dikemudian hari ada larangan mengeluarkan kritik dalam bentuk apapun; blog, opini, syair lagu, puisi dan sebagainya? Reformasi menjadi mundur ke belakang. Lebih seramnya, mendekati prototype Orde Baru dengan sentralisasi informasi dan kedikatatoran pemerintahan. Sangat berbahaya!
Nampaknya telinga pemerintah mulai memerah dengan banyaknya kritik yang masuk. Bisa jadi hal ini pertanda bagus, artinya mereka masih mendengar. Persoalannya, bukan memberikan report atau klarifikasi, justru pemerintah ingin membatasi, menghalang-halangi aktivitas kritik itu. Tentu saja tindakan ini, sekurang-kurangnya ide ini, sangat reaktif.
Alasan yang sering digunakan oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan berpendapat, dalam berbagai instrumennya, adalah dalam rangka menjaga wibawa pemerintah, khususnya. Dan pada umumnya menjaga citra negara Indonesia di mata publik internasional. Coba ingat, Jusuf Kalla dalam sebuah wawancara pers, pernah menyampaikan, janganlah kita senantiasa mencari keburukan, cacat, dan borok pemerintah. Dan dengan tidak mencantumkan keberhasilan pemerintah. Apalagi dengan membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain. Kurang-lebih seperti itu pernyataan Jusuf Kalla, si Wapres RI.
Klop sudah. Kesadaran untuk menerima kritik sedikit demi sedikit mulai tertutup. Dari DPR RI, pemerintah (kabinet), bahkan sampai departemen di bawahnya. Apalagi kalau bukan kita sebut dengan kecenderungan otoriter.
Kembali ke masalah blog. Sebenarnya ketakutan seperti apa yang pemerintah rasakan, hingga mengeluarkan pernyataan problematis seperti itu? Apakah sekedar ketakutan temporer, mengingat sebentar lagi Pemilu 2009? Atau memang ketakutan akut yang mengekspresikan citra rendah diri?
Mengingat, lontaran pembatasan atau pengawasan aktivitas blogger merupakan pernyataan atau ide yang problematis. Kita ingat, bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat, selain di atur oleh UUD 1945, juga diatur oleh Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam kovenan itu, pasal 19 ayat 2, secara tegas mengatur, “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya”.
Kovenan ini juga membahas pelaksaan kebebasan itu dapat dibatasi bilamana dalam rangka melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Dan juga dalam rangka menghormati hak atau nama baik orang lain (lihat ayat 3, poin a dan b).
Meskipun ada ketentuan dalam rangka menghormati hak atau nama baik orang lain, pertanyaan selanjutnya, apakah pemerintah/pemerintahan merupakan personifikasi dari SBY, JK dan seterusnya? Tentu saja tidak. Selama kritik atau hak mengeluarkan pendapat ditujukan secara obyektif kepada pemerintah, maka tidak bisa kita sebagai warga negara dianggap telah mencederai nama baik atau kewibawaan pemerintah.
Bilamana kebijakan pembatasan atau pengawasan itu benar-benar diundangkan, maka demi hukum undang-undang atau aturan tersebut batal. Selebihnya, kita bisa menuntut pemerintah ke pengadilan, baik dalam negeri pun internasional, karena telah mencederai hak kita sebagai warga negara.
Saran saya, pemerintah seharusnya tidak sereaksioner dan seproblematis itu. Justru yang lebih penting adalah mengusahakan laporan, jawaban, klarifikasi dan sejenisnya pada kritikan-kritikan yang diterima.
Untuk apa pemerintah mempunyai banyak departemen negara, bilamana mereka tidak bisa merespon opini di masyarakat? Teknisnya, bisa saja pemerintah menjawab satu per satu atau massal kritikan yang dialamatkan kepadanya. Via e-mail, blog, site dan media lainnya.
Saya pernah membaca satu buku tentang demokrasi di era digital. Jika tak salah ingat, buku itu mengangkat kasus demokrasi digital di Amerika. Yang perlu kita contoh, anggota parlemen, kabinet dan sebagainya merespon secara langsung aspirasi, pendapat, tanggapan warga atau konstituennya. Seperti judulnya, media yang mereka gunakan adalah surat elektronik atau e-mail. Pernah suatu waktu, dimana bio-terorisme mengancam keselamatan para pejabat publik dengan virus Anthrax, eskalasi e-mail naik dua ratus persen dari hari-hari biasanya.
Nah, apa yang sama dengan kondisi Indonesia? Tentu saja bukan ancaman bio-terorime dengan memasukan serbuk yang mengandung virus Anthrax di dalam amplop surat, melainkan ternyata tingkat melek internet masyarakat Indonesia mulai tinggi. Penggunaan e-mail, blog, dan sebagainya, akhir-akhir ini sudah cukup membudaya.
Terakhir, saya menolak bilamana pandangan ini dianggap sebagai cara pandang orientalisme, ketika saya meminjam pengalaman Amerika terkait dengan demokrasi digital. Menurut saya, infrastruktur ke arah itu sudah mencukupi. Tinggal ada-tidak inisiasi kebijakan dari pemerintah.
Lantas, bilamana kebijakan pembatasan dan pengawasan tetap bergulir, apa yang akan kita lakukan? Kalau saya, jelas-jelas menolak! Bagaimana dengan Anda? []
Note: Kovenan internasional tersebut sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005.
04/05/2008
0 comments :
Posting Komentar