Belajar Motor
Oleh: Firdaus Putra A.
Beberapa pemuda di pinggir kios rokok memperhatikan kami berdua. Atau mungkin lebih tepatnya memperhatikan perempuan ayu yang duduk di depanku. Dengan sedikit gugup dan kaku, Wahyu memedang kemudi. Maklum, malam ini ia sedang belajar mengendarai motor.
Usianya tak terpaut jauh dariku, 21 tahun. Jangan tertawa atau mencibir dulu. Sebenarnya Wahyu sudah bisa mengendarai motor. Dulu, ketika SMA, ia pernah mengalami kecelakaan. Bukan sekedar luka ringan, bahkan ia harus rawat inap di rumah sakit. Selebihnya, beberapa anggota tubuhnya harus dijahit. Peristiwa itulah yang sampai sekarang membuatnya trauma untuk mengendarai motor.
Malam ini (08/05), aku mengajak Wahyu berkeliling GOR Purwokerto. Benar-benar “berkeliling”, dalam makna harfiahnya. Dari ujung, kembali ke ujung lagi. Belok kiri, dan berlatih membelok ke kanan. Khusus belok kanan, sulit katanya. Sesekali tubuh pun ikut miring ke kanan atau ke kiri.
Kurang-lebih satu jam kami berkeliling di GOR. Awalnya kami berkeliling di lapangan sepak bola, hanya saja karena kondisi tanah dan rumputnya tak rata, membuat Wahyu harus bertegang otot. Telapak tangannya memerah lantaran mencengkeram kuat kedua hanlde.
Berbeda di GOR, jalan beraspal. Lapang, seluas bahkan lebih luas lapangan sepak bola. Dan yang menarik, ada garis putih seperti marka jalan yang bisa kami gunakan sebagai garis pemandu. Paling sulit, menjaga Wahyu tetap berada di jalur garis itu. Tangan atau tubuhnya cenderung meliuk. Sesaat kawat gas tertarik, tubuhnya akan sedikit menghentak pertanda kaget.
Potret Wahyu malam ini tidak berbeda jauh denganku di masa SMP. Ayah mengajariku dengan motor Honda. Sama, awalnya aku hanya berkeliling di lapangan sepak bola. Lambat laun, aku mulai berlatih di jalan desa. Tidak ada keramaian, juga tidak ada lampu lalu lintas. Yang jelas, tidak ada yang mengangguku untuk belajar.
Saat aku duduk di belakangnya, menikmati wangi rambutnya, aku merasakan perasaan yang dekat. Sedekat aku harus menjaganya bilamana tubuhnya oleng. Perasaan yang sangat hangat. Kasih sayang, mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkannya.
Mungkin perasaan seperti itu juga yang dirasakan ayahku saat berada di belakangku. Ia harus membimbingku. Cara menambah dan menurunkan dari satu gigi ke yang lain. Saat aku harus melepas dan menarik kawat gas. Saat aku harus sepenuh hati merasakan dorongan yang dihasilkan dari tarikan kawat gas. Benar-benar hangat.
Selang berapa lama, aku mulai tak merasakan hentakan atau liukan tubuhnya. Mungkin tangan dan tubuhnya sudah mulai terbiasa dengan laju roda, kecepatan dan dorongan mesin. Meski aku pun tetap yakin, nanti malam pasti otot pergelangan tangannya akan sakit. Juga telapak tangannya pasti akan memerah.
Yang jelas, aku berharap Wahyu tidak kapok. Tetap mau belajar, agar suatu ketika bisa bertukar peran denganku. Aku sebagai pembonceng, dan dia sebagai pengemudi. Menurutku pertukaran peran ini merupakan ekspresi kecil dari sebuah kesetaraan gender. Sebuah pertukaran peran yang mampu melibas sekat perbedaan jenis kelamin. []
15/05/2008
0 comments :
Posting Komentar