Damailah Indonesia!


Refleksi Kebangsaan atas Insiden Monas 1 Juni 2008
Oleh: Firdaus Putra A.

I
Insiden Monas tanggal 1 Juni 2008 merupakan tamparan yang sangat menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), yang tengah melakukan refeksi hari jadi Pancasila dibubarkan oleh salah satu organisasi massa yang menamakan diri Front Pembela Islam (FPI). Aksi damai berubah menjadi aksi anarkhis, seperti yang diberitakan Kompas Cyber Media (2/6), sekurang-kurangnya, sepuluh orang anggota AKKBB mengalami luka parah. Dan tiga di antaranya harus menjalani rawat inap di rumah sakit.

Pada titik itu, AKKBB sebagai aliansi gerakan masyarakat sipil yang menyerukan pentingnya toleransi, berkebangsaan, dan berkenegaraan, mendapat simpati dari banyak pihak. Tak ayal, kecaman dari segala penjuru harus diterima oleh FPI akibat tindakannya. Simpati dan kecaman tidak hanya datang dari wilayah Jakarta, di beberapa daerah, aksi kecam dan simpati mewarnai. Tidak sekedar kecam dan simpati, aksi sweeping juga dilakukan oleh ormas-ormas tertentu yang kadung kecewa dengan ulah FPI. Masih di harian yang sama, beberapa jam selepas insiden, Puluhan warga Nahdlatul Ulama (NU) terdiri dari unsur PMII dan Anshor, Minggu (1/6) malam merobohkan papan nama Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Fatahilah, Gang Dukuh Dalem, Desa Setu Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Klimaksnya, bentrok antarmassa hampir terjadi.

Akhirnya, beberapa hari terakhir, insiden Monas memantik aksi balasan dari berbagai ormas di tanah air. Artinya, benih konflik horizontal mulai terjadi di beberapa wilayah. Sebutlah Banyumas, aksi sweeping anggota FPI sempat dilakukan oleh elemen yang menamakan diri sebagai LIBAS. Untungnya, seperti diberitakan, tidak satu pun ditemukan anggota aktif FPI di Kab. Banyumas.

II
Sedangkan di sisi lain, kita harus jeli membaca konteks peristiwa insiden Monas. Sebutlah Hendardi, Ketua Badan Setara Institute yang menegaskan, penyerangan massa organisasi dengan atribut FPI harus dikutuk dan penegakan hukum harus didukung. Namun, elemen bangsa dan publik jangan lupa dengan persoalan kenaikan harga BBM yang telah menyengsarakan rakyat banyak. Masih menurutnya, di Kompas Cyber Media (3/6), ia menyatakan, "Waspadai pengalihan isu kenaikan harga BBM dengan naiknya berita penyerangan FPI. Kedua masalah ini harus dikawal agar tetap ditangani serius".

Pernyataan Hendardi cukup relevan untuk kita perhatikan. Berkaca pada peristiwa-peristiwa sebelumnya yang terjadi di Indonesia, satu isu atau masalah nasional akan diikuti isu “besar” lainnya. Secara sosiologis, kita bisa membaca proses tersebut sebagai pengalihan isu atau meminjam analisis Cooser, mencari atau mengadakan savety valve (katup penyelamat). Tengoklah beberapa kasus di Indonesia, pada tahun 2006 ketika kasus kekerasan di Abepura terjadi yang klimasknya menewaskan beberapa masyarakat adat setempat, pembahasan RUU APP menarik perhatian publik (melalui media), dan akhirnya kasus Abepura surut dari pemberitaan (baca: tanggapan). Sedangkan di tahun 2005, ketika pemerintah Susilo Bambang Yudoyono mencabut subsidi BBM untuk kali pertamanya, isu Ambalat mengemuka dan menjadi opini publik yang kuat.

Meski demikian, terlepas dari wacana tentang pengalihan isu kenaikan harga BBM, secara obyektif insiden Monas tetap menjadi batu sandungan di sejarah NKRI. Secara obyektif, tidak ada alasan yang bisa membenarkan seseorang atau organisasi untuk bertindak anarkhis dengan mengatasnamakan apapun (SARA). Sekali lagi, menjadi relevan lontaran Hendardi, masalah kenaikan harga BBM dan insiden Monas merupakan dua masalah yang berbeda yang harus kita dampingi penyelesaiannya.

III
Lebih jauhnya lagi, mengatasnamakan agama sebagai pembenar tindak kekerasan dalam insiden Monas membuat kita berfikir ulang, apakah benar demikian? Bukankah agama diturunkan dalam rangka menjaga keteraturan kosmos? Dan lebih penting, juga sebagai agen perubahan sosial. Sekurang-kurangnya, urun rembug agama dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia. Mengangkat keterbelakangan masyarakat dan bangsa, juga sebagai nilai universal yang mempertemukan antara satu dengan yang lain.

Keagungan nilai itu nampaknya mulai luntur. Agama (baca: institusi agama) justru menjadikan perpecahan, pertikaian dan konflik. Padahal, sejarah manusia mencatat, agama apapun senantiasa menyeru pada kebaikan, kasih, dan keramahan.

Untuk itu, insiden Monas harus kita maknai sebagai early warning tentang semakin lunturnya visi kemanusiaan-kemasyarakatan agama di Indonesia. Akhirnya menjadi niscaya bagi para anak bangsa untuk melakukan konsolidasi elemen kebangsaan, dengan berbagai perbedaan dan persamaan, untuk bahu membahu melakukan kerja-kerja kemanusiaan-kemasyarakatan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Dan kita semua yakin, kerja-kerja kemanusiaan-kemasyarakatan senantiasa akan melibas sekat/perbedaan yang ada di antara kita. Sudah saatnya kita tundukan syahwat ke-sendiri-an, egosentrisme, dan sebagainya. Dengan khidmat kita pun berusaha dan berharap, “Indonesia hari esok harus lebih cerah daripada kemarin atau sekarang”. Semoga harapan besar itu tertanam kuat di lubuk sanubari seluruh anak bangsa. Semoga ! []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :