Hopeless Society



Oleh: Firdaus Putra A.

Apa yang akan terjadi ketika saban hari kita menyaksikan tayangan televisi yang menjurus ke arah pornoaksi? Betul! Otak kita akan dipenuhi oleh fantasi-fantasi seksual yang membangkitkan libido.

Dan apa yang akan terjadi ketika saban hari televisi di rumah kita menayangkan berita kriminal dengan berbagai jenis/macamnya? Sekurang-kurangnya, informasi tentang tindak kriminalitas tidak akan berasa sebagai sebuah peristiwa yang luar biasa. Bahkan, menjadi kewajaran.

Saya mempunyai pandangan kuat, tentang keberadaan televisi terkait dengan efek psikologis yang ditimbulkannya. Bayangkan, berapa jam sehari kita menghabiskan waktu di depan si kotak ajaib dan bagaimana dampaknya terhadap psikologis kita. Saya rasa sangat signifikan. Fakta, melalui televisi kita pernah melihat seorang anak SD yang mencabuli teman sebayanya setelah melihat acara tertentu di salah satu stasiun televisi swasta.

Dan mari kita bayangkan, apa yang akan terjadi dengan bangunan kesadaran masyarakat kita yang saban hari dijejali dengan berbagai masalah sosial, ekonomi, politik, agama, dan sebagainya dari layar kaca televisi. Saya berasumsi, kesadaran masyarakat akan sampai pada titik jenuh. Boleh jadi ia akan berpandangan, sudah sewajarnya ada masalah di negeri ini.

Dalam term yang lain, saya sebut kesadaran itu sebagai titik kulminasi kejenuhan yang mengarah pada sikap apatis. Masyarakat menjadi tak mau tahu. Biarkan satu masalah lewat, dan selanjutnya akan datang yang lain.

Pokok masalahnya bukan sebatas masyarakat kian jenuh dengan masalah, lebih berbahaya jika masyarakat mengalami hopeless society. Masyarakat tak berpengharapan. Lambat laun tapi pasti, harapan tentang hari esok yang lebih baik hanya membuat mereka semakin muak. Pada satu masalah mereka berharap, dan pada masalah itu juga mereka kecewa. Lantaran, perubahan (perbaikan) yang digadang-gadang tak kunjung datang.

Fakta, lihatlah paska tragedi lumpur Lapindo berapa puluh orang harus menderita stres karena harapan mereka senantiasa pupus di tengah jalan. Jika pola itu kita samakan, tidak menutup kemungkinan masyarakat akan mengalami situasi hopeless.

Menurut saya, efek media yang semacam ini merupakan sisi gelap dari kebebasan media. Meski sedikit berbeda, simaklah analisis Bimo Nugroho dalam bukunya “Dead Media Society”. Media tak lagi memberikan harapan tentang perubahan. Media kurang menampilkan kabar kemajuan, kabar cerah, kabar baik tentang negeri ini. Media lebih gemar menyajikan kabar yang muram, pesimistik, atau sekurang-kurangnya skeptisism.

Saya khawatir efek psikologis seperti ini tidak hanya akan melahirkan hopeless society, lebih jauh lagi, masyarakat menjadi takut untuk berharap. Semuanya sirna, keinginan untuk berharap pun sirna.

Melalui perenungan ini, saya ingin merubah paradigma penulisan blog, tidak hanya menulis untuk selalu mengkritik tentang sesuatu yang buruk, muram, dan sebagainya. Tetapi pada titik tertentu, perlu kita wartakan tentang kemajuan, kegembiaraan, cerahnya hari esok dan seterusnya. Saya berharap, paradigma optimistik ini sekurang-kurangnya bisa membuat masyarakat (baca: pembaca) berani untuk berharap. Karena, tanpa harapan, saya yakin kita tak perlu lagi untuk hidup di dunia. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :