KKL ke Bali?


Oleh: Firdaus Putra A.

I
Akhir-akhir ini ada perdebatan yang menarik di kampus terkait dengan mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Menjadi menarik ketika pers mahasiswa ikut mengamati dalam arti melakukan reportase terhadap mata kuliah tersebut. Reportase itu diterbitkan dalam satu media, Suluh edisi KKL Jurusan Ilmu Komunikasi.

Saya baca dalam media itu, beberapa mahasiswa kecewa terhadap berlangsungnya KKL. Pasalnya, orientasi akademis (studi lapangan) dengan wisata tidak seimbang. Berbeda dengan apayang dimaklumatkan di Buku Pedoman Perkuliahan FISIP, mata kuliah KKL yang kreditnya satu SKS ternyata lebih berat ke arah wisata. Bila diprosentase mungkin 70% wisata, dan 30% studi. Tidak hanya mahasiswa, salah seorang dosen juga menghendaki agar mata kuliah tersebut sebaiknya dihapus.

Perdebatan tentang KKL terjadi hampir setiap tahun. Poinnya pada kredit mata kuliah yang hanya satu SKS, namun mahasiswa yang mengambil harus mengeluarkan biaya yang sangat besar, 500-600 ribu rupiah. Pasalnya, dari tahun ke tahun, meskipun tidak ada ketentuan khusus bahwa KKL harus ke luar kota, mahasiswa selalu memilih KKL ke luar kota. Sekurang-kurangnya Jakarta, Bali bahkan Lombok.

Saya amati dari tahun ke tahun, mayoritas mahasiswa lebih memilih Bali sebagai tempat kunjungan. Tentu saja, konsekuensi logis yang harus ditanggung adalah biaya KKL yang sangat mahal. Pada titik ini, dosen atau jurusan terkesan cuci tangan dari masalah. Tidak mencoba melakukan rasionalisasi, justru menyerahkan sekelumit persoalan pemilihan tempat pada mahasiswa. Ketika diminta pendapatnya, dosen justru berlindung dibalik Buku Pedoman Perkuliahan, bahwa tidak ada ketentuan yang mengharuskan tempat KKL di luar kota, misalkan Bali. Artinya, seakan-akan dosen “menyalahkan” kepada mahasiswa terkait pilihannya.

II
Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan pada kesempatan kali ini, pertama terkait pilihan tempat KKL yang “harus” di luar kota, misal Bali. Kedua, terkait dengan biaya KKL bilamana KKL dilaksanakan di luar kota. Dan ketiga, laporan KKL yang sifatnya wajib sebagai syarat untuk memperoleh nilai.

Masalah pertama dan kedua akan saya bahas secara mengalir, mengingat dua masalah itu saling beririsan satu dengan yang lain. Posisi saya jelas, saya setuju KKL ke luar kota, Bali. Meskipun pada praktiknya orientasi studi dengan wisata lebih besar wisata. Saya membangun pandangan ini melalui perenungan yang mendalam. Saya membaca bahwa pendidikan kita, juga cara pandang kita hari ini terlalu positivistik. Artinya, segala sesuatu harus bisa diverifikasi, dihitung, dan diangkakan. Menurut saya, hal ini juga diidap oleh sebagian mahasiswa yang secara kritis menyerang KKL ke Bali.

Menurut saya, KKL atau saya lebih sepakat kita sebut dengan studi tour, mempunyai nilai penting yang lain. Sekurang-kurangnya, KKL ke Bali memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berjumpa dengan budaya lain di Indonesia. Perjumpaan budaya ini memang tidak bisa kita kalkulasikan secara matematis. Namun, secara fenomenologis, perjumpaan budaya memberikan kita cara pandang yang lain terhadap perbedaan budaya.

Saya kira tesis tentang perbedaan budaya (multikulturalisme) sudah sering kita santap di kuliah. Dan saya yakin, sedikit mahasiswa yang betul-betul tahu seperti apa kebudayaan yang berbeda itu. Mereka hanya menerima sebatas pengetahuan teoritis. Melalui KKL ke Bali, mereka mempunyai kesempatan untuk bertemu dan berdialog langsung dengan kebudayaan lain.

Lebih jauhnya, mari kita imajinasikan apa yang akan mahasiswa dapatkan ketika KKL ke Bali. Bayangkan mayoritas mahasiswa belum pernah ke Bali. Dan saya yakin jumlah mahasiswa yang pernah dan sama sekali belum pernah ke Bali, lebih banyak yang belum pernah. Ketika KKL ke Bali, mereka akan memasuki sebuah kawasan budaya tempat berkumpulnya budaya-budaya lain. Kita ingat, Bali merupakan tempat wisata berkelas internasional. Ketika ke sana, mahasiswa akan mempunyai kebanggaan tersendiri.

Sekurang-kurangnya, paska kuliah, mahasiswa tersebut bisa bercerita tentang Bali pada keluarga, anak-cucunya, rekan kerjanya dan sebagainya. Jika peristiwa seperti ini terjadi, maka rasa percaya diri sebagai anggota masyarakat akan semakin terpupuk. Ia tidak minder lantaran di suatu kesempatan teman-temannya bercerita tentang Bali atau pulau luar Jawa lainnya. Ia akan bangga.

Sampai poin ini, persoalan biaya justru bisa kita tolerir. Pasalnya, selepas kuliah, kecil kemungkinan seseorang untuk mengalokasikan uangnya dalam rangka wisata ke Bali. Paska kuliah, kerja dan menikah, uang yang ia kumpulkan akan lebih dialokasikan bagi orang tua, istri, biaya sekolah anak, membuat rumah, dan sebagainya. Wisata ke Bali dengan cara rombongan saat kuliah menurut saya justru menjadi jembatan yang aman.

Lantas bagaimana kalau ada mahasiswa yang kurang mampu dalam konteks pembiayaan ke Bali? Justru karena itu, mahasiswa yang orang tuanya secara sosio-ekonomi kurang mampu—dengan berbagai cara—harus kita dukung/bantu agar bisa ikut KKL ke Bali. Karena, seperti yang saya kemukakan di atas, kapan lagi selain saat kuliah, mereka mampu dan mau pergi ke Bali? Saya rasa kesempatan itu tipis.

Ketika saya mengambil mata kuliah ini, perdebatan lebih saya arahkan pada bagaimana caranya mencarikan subsidi atau memberi subsidi bagi mahasiswa yang orang tuanya tidak mampu. Melihat nilai fenomologis yang besar, persoalan biaya harus kita pecahkan bersama. Bukan justru menafikan mereka, atau menghilangkan mata kuliah KKL ini.

Bahkan saya mempunyai pandangan bahwa mahasiswa yang menolak KKL ke Bali lebih disebabkan karena mereka sebelumnya (saat SMA) sudah pernah studi tour ke sana. Lebih jauh, saya beranggapan bahwa mereka secara sosio-ekonomi mampu. Sehingga, jika saat kuliah tidak ke Bali, suatu tempo mungkin mereka mampu. Asumsi ini meskipun sangat lemah namun bisa kita lontarbalikkan kepada yang menolak KKL ke Bali.

Menghapus mata kuliah KKL sebagai mata kuliah yang paling memungkinkan mahasiswa bertemu dengan budaya lain, menurut saya justru kita melepaskan tanggungjawab sosial dan kewajiban struktur (pendidikan) agar bagaimana caranya mahasiswa (Indonesia) mampu bertemu dengan budaya lain. Cara pandang seperti ini justru secara makro tidak produktif. Karena sejatinya melepas tanggungjawab struktur untuk mencerdaskan (bukan memintarkan) mahasiswanya.

III
Terkait dengan besaran antara orientasi studi dengan wisata, menurut saya kita harus menginsyafi dulu beberapa hal; pertama, saat di lapangan, semangat untuk berwisata lebih besar dari pada semangat untuk belajar. Oleh karenanya, kita jangan melupakan psikologis mahasiswa semacam ini. Kedua, secara filosofis sebenarnya KKL ke Bali termasuk wisata atau studi bergantung paradigma pengetahuan yang kita pakai.

Bilamana kita memakai cara pandang positivistik, maka dengan pasti kita akan menjawab bahwa KKL ke Bali sama sekali tidak bermuatan pendidikan (kuliah teoritik). Sedangkan bilamana kita sudah mampu menggeser paradigma kita ke arah fenomenologis, maka KKL ke Bali sangat sarat dengan pendidikan. Lebih umum lagi, kita berbicara dalam konteks stock of knowledge bukan sekedar ilmu pengetahuan.

Saya masih konsisten dengan cara pandang bahwa hidup tidak harus melulu “serius”. Juga tidak harus melulu “santai”. Dalam kedua hal itu, saya masih mempercayai ada nilai yang bisa kita ambil. Pada titik ini, sensitivitas kita sedang diuji. Apakah kita mampu mengambil ibrah (pelajaran) dari suatu keadaan, situasi, tempat, dan sebagainya, atau tidak. Tidak sekedar menggunakan rasio (akal), pada titik ini perasaan, hati nurani kita juga digunakan.

Sedangkan paradigma pendidikan kita yang terlalu positivistik, justru telah memberangus sisi lain kemanusiaan kita. Sedikit atau jarang kita dikenalkan dengan keindahan, kesenian, dan lain sebagainya. Kita sudah terlalu banyak mengalokasikan otak kiri kita dalam belajar, dan melupakan otak kanan serta perangkat kemanusiaan yang lainnya (emosi, hati nurani, dll.).

Untuk menjembatani tarik-ulur antara studi dengan wisata, saya mengusulkan agar format laporan KKL diubah total. Format KKL yang berlangsung saat ini justru menjerembabkan kita pada reason without rationality, nalar tanpa rasionalitas. Mengapa? Karena format KKL yang ada saat ini hanya sebatas formalitas. Mulai dari penyusunan latar belakang masalah, rumusan, pembahasan, dan lain sebagainya. Semuanya dibuat-buat yang justru lepas dari konteks filosofisnya. Pada titik ini, terbuktilah kekhawatiran Adorno dan Horkheimer, bahwa logos telah menjadi mitos baru.

Saya buktikan, apakah iya dalam waktu dua sampai tiga hari di Bali kita dapat menangkap masalah dalam konteks penelitian sosial? Saya yakin tidak. Memaksakan meneliti masalah sosial yang ada dalam tempo sesingkat itu, justru membuat semuanya tidak bisa berjalan dengan baik. Mahasiswa tidak bisa menikmati wisatanya, padahal mereka sudah mengeluarkan sejumlah uang. Selain itu, penelitian yang dilakukan juga tidak akan maksimal. Memaksakan melakukan penelitian dalam konteks penulisan laporan KKL hanya membuat semuanya sia-sia.

Saya mengusulkan agar format laporan penelitian diturunkan dari paradigma fenomenologis. Oleh karenanya, saya mengusulkan format laporan penelitian lebih berwujud “catatan perjalanan” yang mengungkapkan, mendeskripsikan detail situasi, peristiwa dan lain sebagainya.

Format penulisan laporan semacam ini pernah dilaksanakan oleh KKL mahasiswa Sosiologi 2004. Ketika saya membacanya, menurut saya, “catatan perjalanan” itu sangat menarik. Bahkan jika semua “catatan perjalanan” itu bisa dibukukan akan lahirlah sebuah karya non-fiktif yang sangat menarik untuk dibaca.

Dalam perdebatan epistemologis, sebenarnya paradigma dan cara penulisan itu bisa kita carikan landasannya, yakni kajian cultural studies. Bagaimana kita menampilkan narasi-narasi kecil yang senantiasa tergerus dan tertutupi oleh berbagai macam narasi besar yang positivistik.

Pada titik ini, lebih jauh dari sekedar menulis laporan KKL, mahasiswa bisa belajar menulis dalam tradisi non-akademis. Tanpa disadari, saat mereka menuliskannya, pada dasarnya mereka sedang melahirkan sebuah karya tulis yang sangat bermakna.

IV
emikian penjelasan lengkap saya terkait dengan KKL ke Bali yang dilaksanakan oleh empat jurusan di FISIP. Saya rasa setelah ini perdebatannya akan bergeser pada, apakah tepat jika jurusan Ilmu Politik KKL ke Bali? Apakah tepat jika jurusan Administrasi Negara KKL ke Bali? Dan apakah tepat jika jurusan Ilmu Komunikasi KKL ke Bali? Mungkin hanya jurusan Sosiologi saja yang tepat untuk KKL ke sana.

Pada titik itu, saya belum bisa memberikan komentar. Hanya saja, yang perlu kita pertimbangkan bahwa cara pandang positivistik seyogyanya perlu kita rubah atau perlu kita geser ke cara pandang fenomenologis. Sehingga, pada titik itu, bisa saja semua jurusan sah untuk KKL ke Bali (atau pulau lainnya), ketika kita sudah menginsyafi bahwa mata kuliah ini lebih memberikan porsi besar bagi olah rasa, nurani, dan sebagainya.

Terakhir, semoga keinginan untuk menghapus mata kuliah ini bisa ditinjau ulang. Justru, menurut saya, yang perlu dilakukan adalah mensistematiskan (landasan filosofis, paradigma, cara penulisan, dll.) mata kuliah ini. Jika tidak, saya yakin perdebatan akan selalu muncul pada setiap tahun akademik. Demikian pendapat saya. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

dandy mengatakan...

wah seneng juga bisa KKL ke bali yaaa.. gw jg seneng kalo bisa KKl kemarin.. gw jg pny cerita sobat