The Others
Judul Buku : Menyongsong yang Lain, Membela Pluralisme
Judul Asli : Qabulul Akhar: Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlarat
Penulis : Milad Hanna
Penerjemah : Muhammad Guntur Romli
Tahun Terbit : 2002 (Mesir) 2005 (Indonesia)
Penerbit : Jaringan Islam Liberal Jakarta
Halaman : xxx + 262 halaman
Oleh: Firdaus Putra A.
Jika kita tidak sepakat dengan teori “Benturan AntarPerdaban” atau The Clash of Civilization yang ditulis Sammuel P. Huntington tahun 1996, buku Hanna ini akan menyajikan jawabnya. Hanna sendiri dalam Kata Pengantarnya mengakui bahwa maksud penulisan buku ini yakni dalam rangka melakukan counter terhadap pemikiran Huntington.
I’tikad itu terekam kuat ketika Hanna mengawali pembahasan bukunya dengan menyajikan tesis benturan antarperadaban. Pada bab 2, Hanna melacak akar tesis “benturan” mulai dari pertengahan abad ke-19. Ia temukan dalam dialektika-historis yang digagas oleh Karl Marx, dimana konflik antarkelas menjadi faktor penggerak sejarah.
Menurut Hanna, gagasan Marx dan Huntington bertemu di satu titik, bahwa faktor penggerak sejarah adalah “benturan’ dan “konflik”. Bedanya, jika Marx mengatakan pergerakan sejarah dipicu oleh konflik kelas, sedangkan Huntington berpendapat bahwa pergerakan sejarah dipicu oleh benturan atau konflik peradaban. Dan tentu saja, masih menurutnya, tesis ini lebih menyeramkan dan provokatif (hal. 39).
Pada bab selanjutnya, Hanna menyuguhkan tesis qabulul akhar (menyongsong yang lain) sebagai jalan keluar dari benturan. Tesis ini berangkat dari penginsyafan akan keterbatasan manusia yang lahir dalam latar belakang masing-masing. Menurutnya, tidak ada manusia yang bisa memilih ketika lahir di satu negara tertentu. Juga tidak ada manusia yang bisa memilih lahir dalam keluarga dengan agama tertentu, warna kulit, suku bangsa, kelas sosial, juga jenis kelamin tertentu. Ketakmungkinan untuk memilih latar belakang kelahiran ini semestinya kita insyafi sebagai kesetaraan dalam derajat. Tidak ada yang lebih tinggi antara satu ras, suku bangsa, agama dengan lainnya.
Oleh karena itu, masing-masing latar belakang memiliki keunikan-keunikan sendiri. Masing-masing budaya, ras, suku bangsa, agama dan seterusnya merupakan latar belakang yang tak terbandingkan (incommensurability). Bahkan Hanna secara ironi melontarkan pernyataan, “Mengapa menepuk dada terhadap hal yang tidak dipilih sendiri?” (hal. 60).
Perbedaan berbagai latar belakang itu merupakan hukum Tuhan yang tak bisa dibantah. Kemajemukan atau pluralitas menjadi lahir. Kuncinya, untuk bisa menerima yang lain, manusia atau masyarakat harus bisa menerima keadaan dirinya sendiri. Dalam konteks ini, ia mengingatkan, qabulul akhar bukan juga berarti ajakan kepada perempuan untuk menerima penindasan laki-laki. Juga bukan dalam artian permakluman terhadap penindasan sosial-ekonomi yang terjadi antara si miskin dan si kaya. Karena penindasan tersebut bertentangan dengan prinsip kesetaraan sebagai sesama manusia.
Budaya qabulul akhar bukan sekedar menerima secara pasif keberadaan yang lain. Melainkan secara aktif menghargai dan mengapresiasi keberadaan yang lain. Bukan juga menerima perbedaan sebatas basa-basi. Akan tetapi, secara aktif melakukan usaha kerja sama bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban dunia.
Pada bab-bab selanjutnya, eksplorasi Hanna tertuju pada metode qabulul akhar, internalisasi budaya qabulul akhar pada individu dan masyarakat, sosialime demokrat sebagai ideologi yang senafas dengan qabulul akhar, budaya qabulul akhar di Mesir, dan seterusnya. Dalam edisi revisi, Hanna menambahkan bab khusus yang mengupas tragedi “September Berdarah”, peledakan gedung kembar WTC.
Buku ini sekurang-kurangnya sudah diterjemahkan ke tiga bahasa dunia. Pada tahun1998, buku ini menerima penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu sosial pada Pameran Buku Internasional di Kairo. Juga mendapat sambutan istimewa dari Ibu Negara Mesir, Suzanne Mubarak, dengan mencetaknya sebanyak 50.000 eksemplar yang dijual dengan harga sangat murah LE. 1.5 atau setara dengan 25 sen dolar.
Melalui buku ini, keberpihakan Hanna terlihat jelas. Ia menolak tesis benturan antarperadaban sebagai cara merekayasa kembali tatanan dunia (the remaking of world order). Menurutnya, tesis Huntington tidak hanya menjadi sekadar produk penelitian ilmiah seorang intelektual, tapi juga sebagai rekomendasi penting kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat; sebagai early warning akan adanya musuh masa mendatang setelah musuh sebelumnya (Uni Soviet) takluk. Musuh mendatang itu adalah Islam. Dan cara menghadapinya hanya satu; benturan atau perang (hal. xvi).
Dan sayangnya, tesis benturan peradaban ini justru memicu kalangan fundamentalis Islam untuk melakukan aktivitas kekerasan atau konflik. Sedangkan di sisi lain, opini publik masyarakat Eropa dan Amerika digiring dengan cara yang sama untuk memusuhi dan membenci Islam. Pendek kata, tesis benturan peradaban tak lebih dari gaya baru strategi politik devide et impera.
Hanna menegaskan, bahwa perbedaan tidak semestinya menjadi benturan. Dengan qabulul akhar perbedaan antara satu dengan lainnya akan saling melengkapi mozaik peradaban dunia. Toh, berkembangnya satu peradaban dimungkinkan karena perkembangan peradaban yang lain. Merasa paling unggul terhadap agama, ras, suku bangsa, jenis kelamin, dan sebagainya, merupakan bentuk kebebalan akibat ilusi dari cara pandang kita saat membaca kemajemukan atau pluralitas sebagai fakta sosial yang tak terbantahkan.
__________
Kontribusi untuk buletin Profetika edisi II Mei 2008, diterbitkan oleh LS Profetika
0 comments :
Posting Komentar