Alat Vital?


Oleh: Firdaus Putra A.

Hari Kamis (19/06) saat berada di dalam bus melintasi Kab. Purbalingga di samping kiri dan kanan jalan saya baca poster iklan, “Spontan! Besar dan Panjangkan Alat Vital 081807007559”. Poster iklan itu tertulis di atas kertas, mungkin, F4 dengan dilatarbelakangi potongan kardus. Yang menarik, poster itu tidak hanya satu atau dua, melainkan banyak dan terpasang dengan jarak per 100 atau 200 meter di batang pohon.

Tidak hanya di Purbalingga, di Pemalang—sebelum memasuki Kec. Belik, di samping kiri jalan kita juga bisa melihat poster permanen. Tertulis, “Spesial Alat Kelamin, Mak Erot Asli Sukabumi”. Sesampai di rumah, saya masih melihat iklan yang substansinya sama, tercetak di sebuah harian sore.

Sepintas lalu saya yakin membaca iklan jasa semacam itu kita akan dibuat geli. Apalagi membacanya bersama kekasih kita, mungkin akan lahir candaan-candaan kecil yang tentunya tidak jauh dari selangkangan. Untungnya saat itu saya sendiri, sehingga bisa menikmati iklan jasa itu dalam sebuah lintasan permenungan.

Saya fikir apakah semaraknya iklan-iklan itu merupakan indikasi tertentu. Sekurang-kurangnya, tanda bahwa penyakit “orang modern” semakin “nganeh-nganehi”. Bisa jadi secara obyektif ukuran penis seseorang lebih kecil. 11-14 cm, panjang rata-rata penis orang Indonesia. Masalahnya, perempuan mana yang bisa membedakan mana itu penis kecil, dan mana yang besar. Toh, seumpama perempuan itu belum pernah berhubungan seks sebelumnya, ia akan menerimanya dengan sukarela. Mengapa? Karena praktis tidak pernah tahu dan tidak ada pembandingnya.

Namun bisa saja seks hari ini tidak melulu sebagai sarana reproduksi, justru sarana rekreasi atau prokreasi menempati urutan teratas. Jika konteksnya demikian, sensasionalitas menjadi kunci pemacu adrenalin, baik laki-laki pun perempuan. Ia akan senang merasakan sesuatu yang berbeda, dari pendek menjadi panjang. Dari kecil menjadi besar. Ada rasa yang berubah. Tentunya, ada kepuasaan yang turut berubah.

Dalam tradisi Hindu Jawa, penis disimbolkan dengan Lingga. Merupakan metafora dari keperkasaan, kejantanan, dan kekuatan. Sederhananya ia simbol agresifitas, menyerang, dan membobol. Lihat saja dari bentuknya, mengacung, memanjang, dan tegak berdiri. Bandingkan dengan vagina yang disimbolkan dengan Yoni, ia metafora dari kesuburan, kesukarelaan, dan kelembutan. Kita konversi menjadi simbol kepasifan, menerima, dan obyek terbobol. Simbol itu mewujud dalam sebuah rongga, nampak menggunduk, dan tentu saja berlubang sebagai tempat bersemayamnya si penis. Penafsiran semacam ini kita peroleh dari konsep gender yang didekati dengan dua jalan, nature dan nurture. Sedangkan yang kita gunakan yakni pendekatan nature (alamiah).

Hanya saja fenomena iklan-iklan jasa pembesar dan pemanjang alat vital membuat kemapanan berfikir kita tergugat. Sekurang-kurangnya kita berfikir bahwa hanya perempuan saja yang diekspolitasi; alat atau vacum pembesar payudara, masker pembesar dan pengencang payudara, obat-obatan pelangsing, sampai operasi selaput dara, dan sebagainya. Namun sekarang sudah berubah, laki-laki juga dituntut kuat perkasa. Tidak hanya tenaganya saja yang jreng, tetapi senjata perangnya juga harus jreng. Laki-laki ditekan sedemikian rupa oleh Sarah Azhari dalam sebuah iklan minuman suplemen.

Tak berhenti di situ, mulai jam 11 atau 12 malam iklan kesehatan “On Clinic” menghampiri ruang visual kita. Mereka laksana bengkel yang akan menyervis kerusakan sparepart laki-laki. Yang kalah dengan tantangan si Sarah, juga bisa melapor ke sana. Selain stres karena kerja, laki-laki juga mengalami stres karena berbagai “teror seks”. Kecillah, pendeklah, terlalu cepatlah, terlalu lembeklah, dan seterusnya.

Sedangkan yang sudah siap tempur, masih saja ada perkakas yang perlu laki-laki bawa, tengoklah “Bluemoon”. Kapsul kejantanan yang diiklankan lewat tengah malam. “Agar istri puas, dan keluarga bahagia”, begitu komentar salah seorang penggunanya.

Sudah siap tancap, tubuh prima, dan tegak bediri, masih saja ada perlengkapan yang perlu kita bawa. Sutra, Fiesta, Durex, dan berbagai macam merk kondom. Masing-masing mengklaim akan memberikan kenyamanan dari tipisnya lateks. Juga ada yang memberikan kenikmatan dari rasa yang disajikan, jeruk, pisang, coklat, bahkan mint. Ada-ada saja!

Dari Mak Erot, Bluemoon, sampai berbagai macam lateks sejatinya memposisikan laki-laki sebagai obyek seksual. Ia tidak lagi mengagresi, menentukan, dan memerintah, justru melalui persuasi ia tengah ditaklukan, diarahkan, dikonstruksikan, dan dituntut untuk A, B, C, dan seterusnya. Di hadapan industri (baik kesehatan, kenikmatan, jasa, citra diri, dan sebagainya) baik laki-laki pun perempuan sama-sama menjadi obyek. Obyek dari tubuh sosial yang senantiasa masuk dalam kerangkeng besi konstruksi sosial, media, dan tentunya iklan. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :