Serius - Santai
Oleh: Firdaus Putra A.
Saat saya SMP, tidak ada seorang pun teman yang mempunyai handphone (HP). Saat SMA, sedikit teman yang sudah membawa HP. Hanya satu, dua, tiga orang. Itupun HP monocrome yang layar LCD-nya masih hitam-putih. Namun sekarang, beberapa kali saya lihat teman-teman SMP sudah memegang HP dengan berbagai merk dan tipe. Apalagi SMA, tentunya tidak ketinggalan. Ada perubahan yang terjadi begitu cepat, hanya dalam hitungan empat, enam tahun.
Saat saya SMP, teknologi internet sama sekali tak masuk dalam perbendaharaan kata. Benar-benar asing. Sedangkan saat ini, anak SD pun bisa mengakses internet. Terlepas dari situs apa yang mereka kunjungi, yang jelas mereka sedang memanfaatkan fasilitas teknologi tinggi. Sekurang-kurangnya untuk mengakses internet, mereka harus bisa mengoperasikan komputer. Atau sekurang-kurangnya, mereka harus bisa menggunakan mouse dan keyboard.
Saya masih ingat betul, SMP saya dulu hanya menyediakan kursus mengetik. Baru satu tahun kemudian diadakan kursus komputer. Itupun dengan program dasar pengetikan yang masih menggunakan Wordstar (WS), bukan Microsoft Office seperti sekarang. Seingat saya, warung internet (warnet) di Pekalongan belum ada, atau sangat jarang.
Saat saya SMP, pun SMA, sepulang sekolah saya gunakan waktu untuk bermain bersama teman. Sesekali ke bioskop (sebelah Pasaraya Sri Ratu, sekarang sudah tidak ada karena kebakaran), ke Sri Ratu, dan lain-lain. Sorenya saya mengikuti beberapa kegiatan ekstra; PKS, Pramuka, dan sebagainya. Malamnya, saya menonton televisi, bermain dan tidur. Jarang begadang.
Saya yakin kegiatan sepulang sekolah semasa saya SMP atau SMA dengan teman-teman SMP atau SMA saat ini relatif sama. Tapi, dengan banyaknya fasilitas yang ada saat ini, kemungkinan besar kegiatan untuk menghabiskan waktu luang (di luar sekolah) lebih banyak sekarang daripada dulu. Sebutlah rental play station (PS) yang semakin menjamur. Supermarket, ditunjang dengan tersedianya motor, saya yakin banyak teman-teman yang berkunjung ke sana. Sekedar untuk mejeng, belanja, refresing, bermain (Time Zone, dll.), atau janji bertemu dengan teman/pacar dan sebagainya. Tak kalah menariknya, kafe atau sejenisnya menambah panjang daftar tempat untuk menghabiskan waktu luang. Munculah istilah anak nongkrong, kongkow, gaul, dan seterusnya.
Apa yang saya ceritakan di atas merupakan sesuatu yang dekat dengan kita. Lebih-lebih bagi sebagian teman yang hidup di wilayah kota, dan sedikit untuk yang hidup di wilayah kabupaten. Tentu saja, kenyataan yang saya gambarkan bisa kita maknai secara optimis/positif, juga pesimis/negatif. Mari kita obrol-kan.
Bagi orang yang optimistik ia akan melihat kenyataan di atas sebagai bukti bahwa masyarakat Pekalongan sedang bergeser ke arah metropolis (meskipun masih banyak tahap yang harus dilalui). Salah satunya bisa kita lihat dari gaya hidup remaja yang semakin melek teknologi, banyak waktu luang yang digunakan ke tempat-tempat hiburan (seperti yang saya sebut di atas), sangat menikmati kesendirian lantaran tersedianya segenap fasilitas; televisi, HP, PS, dan sebagainya.
Ada juga yang memandangnya secara pesimistik. Perubahan gaya hidup masa kini dengan empat, lima tahun yang lalu sangat berbeda jauh. Waktu luang habis digunakan sebatas untuk bersantai, bersenang-senang. Kegiatan ekstra kurang diminati. Televisi menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggal. Konsumsi majalah remaja (Aneka, Gaul, dll.) semakin meningkat. Jarang di rumah karena banyak bermain, dan lain-lain.
Lantas bagaimana semestinya kita mendudukan dua sudut pandang itu? Mengingat, pertama, bahwa perubahan zaman juga perubahan masyarakat merupakan sesuatu yang tidak dapat kita tolak. Menolak perubahan zaman sama artinya kita menutup diri dan meng-kataktempurung-kan diri sendiri. Kedua, secara psikologis remaja memasuki tahap storm and stress atau masa puber. Keingintahuan atau rasa penasaran begitu tinggi, suka mencoba hal baru, dinamis dan seterusnya.
Kalau kita jeli melihat serpihan fakta di atas, teman-teman SMP atau SMA sebenarnya terlalu banyak melakukan tindakan konsumsi. Yang perlu kita ingat, inti dari konsumsi adalah bagaimana kita memperoleh atau mendapatkan sesuatu dengan jalan mengeluarkan uang secara langsung atau tidak. Misal, saya rasa kita sering melakukan beberapa hal ini; “membeli kesenangan” (bermain PS, time zone, nongkrong di kafe, dll.), “membeli identitas” (baju, asesoris, rebonding, HP, dll.), “membeli idola” (majalah atau tabloid remaja gaul, konser musik, dll.), “membeli status” (pacaran, TTM-an, HTS-an, dll.), “membeli label” (anak gaul, anak nongrong, dll.), dan seterusnya.
Tanpa harus menolak tindakan konsumsi itu, kita perlu mengimbangi dengan tindakan produksi. Janganlah berpikir bahwa tindakan produksi harus menghasilkan uang. Menurut saya, tindakan produksi bukan semata-mata bekerja, melainkan sebuah tindakan yang lebih bersifat mencipta, mengadakan, atau membuat.
Sebenarnya kita sering melakukan tindakan produksi, misal; berimajinasi, menulis, dan sebagainya. Mengapa justru berimajinasi dan menulis? Karena beberapa tindakan itu pada dasarnya bersifat mencipta, mengadakan, atau membuat. Imajinasi merupakan proses berpikir tentang sesuatu yang sama sekali belum pernah terjadi. Artinya, sesuatu itu sama sekali belum pernah ada di kenyataan.
Dengan berimajinasi akan membuat kita senantiasa berpikir jauh ke depan. “Seandainya saya kencan dengan si A”, pertanyaanya, bagaimana kencan dengan si A itu? Apakah mengajak si A makan siang di warung sederhana? Atau justru di kafe? Setelah makan, apakah langsung akan pulang? Atau jalan-jalan ke obyek wisata? Dan lain sebagainya. Tanpa kita sadari proses imajinasi (berpikir) seperti ini akan menata tindakan kita menjadi sangat terencana dan terhitung. Mulai dari waktu, biaya, dan berbagai resikonya.
Sedangkan menulis, merupakan proses mencipta atau membuat sebuah kalimat sampai berbentuk tulisan. Tidak perlu kita bayangkan menulis sebagai proses yang serius dan sulit. Karena sifatnya mencipta atau membuat, pada dasarnya apa yang kita tulis tergantung atau terserah orang yang bersangkutan. Misal, saya masih ingat saat SMP atau SMA, saya gemar menulis di buku harian.
Melalui buku harian, kita akan tahu apa-apa yang pernah kita lakukan. Kekonyolan, ketololan, kebodohan, kesenangan, kesedihan, dan berbagai peristiwa yang sempat hinggap di hidup kita. Selain itu, menulis di buku harian, membuat kita mampu mengelola waktu secara teratur dan disiplin.
Melalui buku harian juga, kita bisa tahu tindakan-tindakan konsumsi yang pernah kita lakukan. Misal, kencan dengan pacar di Matahari Departement Store. Kita makan berdua di KFC. Sehabis makan siang, kita jalan-jalan ke pantai Widuri, dan seterusnya. Lantas, jumlahkan saja pengeluaran langsung atau tak langsung dari kegiatan kencan itu. Berapa rupiahkah untuk makan siang di KFC, berikut traktiran pada si A? Berapa rupiahkah yang kita keluarkan untuk bensin? Berapa rupiahkah yang kita keluarkan untuk membeli tiket masuk pantai Widuri? Dan berapa rupiahkah yang kita keluarkan untuk membeli snack sembari kita menikmati ombak laut, semilir angin, pasir pantai, dan sebagainya?
Proses membaca ulang buku harian ini merupakan proses merenung (refleksi). Dari membaca ulang buku harian, kita akan menjadi tahu, bahwa ternyata selama ini kita terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk; membeli voucer pulsa, kencan dengan pacar, membeli majalah gaul, kurang mengalokasikan uang untuk membeli buku (pelajaran, pengetahuan umum, koran), kurang mengalokasikan waktu untuk bermain dengan tetangga sekitar, kurang mengalokasikan waktu untuk ngobrol dengan orang tua, kurang mengalokasikan waktu untuk mengikuti kegiatan ekstra sekolah dan sebagainya.
Jadi, saya kira pertanyaan bagaimana caranya mendudukan dua sudut pandang antara yang optimistik dengan yang pesimistik sudah terjawab. Sama artinya kita sudah menjawab bagaimana caranya agar kita tetap bisa menikmati masa puber, tanpa harus jor-joran di masa yang penuh tantangan itu. Juga sama artinya bagaimana agar tetap gaul, tanpa harus mengorbankan aktivitas lain, semacam sekolah dan kegiatan ekstra.
Melalui tulisan ini saya mencoba menawarkan jalan tengah berikut caranya. Hidup kita tidak harus melulu “serius” (sekolah, belajar, kegiatan ekstra, dll.). Di sisi lain, juga tidak kita habiskan melulu “santai”. Ada kalanya kita serius, dan ada kalanya kita santai. Yang penting adalah, kita harus tahu kapan dan sejauh mana kita serius. Dan juga, kapan dan sejauh apa kita santai.
Ketika kita bisa mengelola keseriusan dan kesantaian kita, maka hidup kita akan semakin warna-warni. Tidak cupu, juga tidak bloon. Jangan seperti iklan coklat Silverqueen yang senantiasa mengajak kita untuk santai. []
_____________
Tulisan ini merupakan kontribusi untuk majalah remaja yang digagas kawan saya, terbit di Pekalongan.
0 comments :
Posting Komentar