Mistis-Eskatologis
Oleh: Firdaus Putra A.
Pagi buta (21:06:2008/04:38) saya terima sebuah pesan singkat dari nomor asing (belum terdaftar di buku telepon), “Kemenangan Turki atas Kroasia membuktikan kemenangan Islam terhadap (bekas) Komunis. Allahu Akbar!”, demikian bunyi pesan itu. Saya tidak tahu apakah salah kirim atau sengaja, lantas saya balas, “Sampeyan kok berfikir sederhana dan ng-asal sekali. Saya heran. Cobalah berfikir lebih jernih. Sebenarnya saya nggak pingin komentar, lha tapi kok aneh rasanya. Nuwun”. Si empunya nomor membalas dan menjelaskan bahwa SMS itu ia dapatkan dari kader ormas mahasiswa tertentu. Saya mulai paham duduk masalahnya.
Saya sarankan agar dia membalas bahwa cara berfikirnya (si kader) sangat mistis dan eskatologis. Mistik dalam arti, secara rasional apakah ada hubungannya antara kemenangan Turki atas Kroasia dengan Islam atas (bekas) Komunis? No thing! Tidak sekedar no thing, menghubung-hubungkannya hanya akan membuat otak kita semakin bodoh karena dua hal itu berbeda jauh konteksnya, no logic! Jadi, dua pernyataan itu tidak logis, baik kita dekati dengan silogisme atau penarikan putusan sederhana (Premis Mayor, Premis Minor, dan Konklusi).
Eskatalogis, saya memahami kalau pesan singkat itu merupakan ekspresi dari pengharapan atas sebuah kondisi, yakni kemenangan atau kejayaan Islam. Eskatalogis secara sederhana bisa kita maknai sebagai “hari yang dijanjikan”. Biasanya eskatologis hanya digunakan untuk menunjuk pada hari kiamat, pembalasan, penghitungan dan seterusnya. Term ini saya gunakan karena mengingat adanya teks (hadist, kalau tidak salah ingat) yang menjanjikan bahwa Islam akan mengalami kejayaan per 700 tahun.
Secara psikologis tentu saja kita dapat menangkap harapan yang besar dalam diri si kader. Sebuah harapan tentang bangkitnya Islam, jayannya Islam, atau lebih vulgar lagi—meminjam headtittle dalam blog seorang teman, Islam will be dominte the world! Islam akan mendominasi (menguasai) dunia. Tentu saja pernyataan semacam ini akan mempertebal prasangka hubungan antaragama.
Lebih jauh saya membaca bahwa ekspresi semacam itu lahir dari suasana psikososial yang menempatkan Islam sebagai looser, pihak yang kalah. Di sisi lain, Eropa atau Barat sebagai winner, peradaban yang menang dan saat ini berjaya. Cara berfikir seperti ini tentu saja setia dengan benturan antarperadaban. Bahwa kita mengada hanya untuk saling menguasai, menang atau kalah. Tidak ada pihak yang sama-sama menang (win-win solution).
Anehnya, orang-orang seperti ini sangat kritis terhadap teori konflik Marx. Padahal, cara berfikirnya tidak jauh dari gagasan konflik antarkelas Marx. Meminjam bahasa Emanuel Subangun, cara berfikirnya masih dalam satu garis dialektika yang saling menegasikan keberadaan satu sama lain.
Di sisi lain, Hanna, seorang Katolik Koptik mengkampanyekan ide Qabulul Akhar atau menyongsong yang lain. Ide besar itu ia torehkan dari pengkajian serius terhadap buku The Clash of Civilization Sammuel P. Huntington. Menurutnya, tidak ada masa depan atau hari esok yang cerah ketika satu dengan yang lain justru mengupayakan untuk saling berbenturan.
Kembali ke pesan singkat, “Kemenangan Turki atas Kroasia membuktikan kemenangan Islam terhadap (bekas) Komunis. Allahu Akbar!”, fakta apa yang bisa kita ambil dari SMS ini? Mistis, eskatologis, dan satu hal lagi, ambivalensi. Mengapa? Karena pengirim (si kader) lupa atau menafikan fakta bahwa Turki hari ini berbeda dengan Turki pra-1924. Turki hari ini adalah negara yang skuler, bukan khilafah Islam yang berambisi menguasai dunia. Turki hari ini bukan republik Islam. Ia berdiri di atas konsepsi nation state (negara bangsa).
Dan tentu saja, saya yakin Turki hari ini berbeda jauh dengan cara berfikir si kader ormas itu. Jika sama, maka boleh jadi si kader adalah seorang liberal-fundamental yang ingin menyemai gagasan liberalnya melalui kekhilafahan Islam sedunia. Maybe Yes, Maybe No! []
1 comments :
Jerman menang 3-2 atas Turki, brarti bisa disimpulkan itu kemenangan (bekas) fasis Jerman terhadap Islam bukan? Heil Hitler!!!
Posting Komentar