Bermain Air


Oleh: Firdaus Putra A.

Untuk kali pertamanya dari sepuluh tahun yang lalu, aku bermain air di kolam renang. Awalnya sama sekali tak terpikirkan untuk ikut beberapa teman yang nongkrong di warteg depan FISIP. Siang itu listrik padam. Maklum beberapa minggu terakhir PLN sering memadamkan listrik bergiliran. Krisis energi terjadi di mana-mana.

Aku pikir lebih baik gabung bersama delapan teman cowok lainnya, daripada harus borring di kos sendirian. Tidak ada yang bisa aku lakukan saat semua alat elektronik mati. Membaca buku? Entahlah, beberapa hari terakhir aku rada malas. Lebih suka menikmati suasana kos yang sepi dengan menonton film. Tidak ada teman kos, mudik ke kampung masing-masing. Hanya aku sendirian.

Pacarku, Wahyuningsih, juga tidak ada di Purwokerto. Selama satu minggu ia mengikuti pelatihan History of Thought di KAS SATUNAMA Yogyakarta. Aku tidak ikut serta, karena aku sudah mengikuti pelatihan serupa enam bulan yang lalu, Februari 2008, angkatan ke-12.

Siang itu, setelah salat Jumat selesai, aku dan beberapa teman yang lain ke Langen Tirto. Jujur, meski sudah empat tahun di Purwokerto, baru pertama kalinya aku ke tempat pemandian itu. Ada rasa aneh, juga rasa penasaran. Aku penasaran bagaimana rasanya bermain air di kolam renang. Mandi beramai-ramai, campur antara cewek dengan cowok. Mungkin lucu, mungkin menggoda, mungkin juga malu.

Teman-temanku sepertinya sudah terbiasa dan mahir renang. Dengan sedikit melompat, mereka masuk ke air. Awalnya hanya berada di kedalaman satu meter. Lambat laun mereka ke tengah, dua sampai tiga meter. Sedang aku, tetap saja tak berkutik dari kedalaman satu meter. Di kedalaman itu, tidak hanya aku yang tidak bisa berenang, beberapa cewek, anak-anak, juga ibu-ibu. Sebenarnya aku malu. Malu karena tak bisa berenang dan malu lantaran badanku sangat kurus. Yang jelas saat itu aku tak memakai kaos, hanya celana pendek.

Tapi lama ke lamaan aku bisa menikmatinya. Aku tepis rasa malu itu. Aku pikir, toh, bukan suatu kesalahan orang tak bisa berenang. Tentunya juga, bukan kesalahan orang berbadan kurus. Tapi aku tetap penasaran ingin mencoba ke kedalaman dua atau tiga meter. Aku lihat anak-anak kecil, di atas tujuh tahun memakai ban pelampung.

Tanpa pikir panjang, dan tanpa malu, aku sewa dua ban besar. Aku katakan pada teman-temanku, “Aku ingin menikmati seluruh area kolam renang. Jadi aku butuh alat bantu”. Sembari tertawa meledek, toh akhirnya mereka mendukungku. Mereka minta satu ban. Sekali sewa kita harus membayar seribu rupiah. Aku kasih pecahan Rp. 10.000, dengan kembalian Rp. 8.000.

Akhirnya aku bisa ke kedalaman dua sampai tiga meter. Padahal, dengan memakai ban pelampung, tidak ada bedanya antara kedalaman dua atau tiga meter. Pasalnya ban mengambang atau mengapung di atas air. Tidak pernah sampai ke dasar kolam. Tetap saja aku senang. Sekurang-kurangnya, aku bisa berenang katak di atas ban tanpa khawatir menabrak anak kecil, cewek, atau ibu-ibu.

Siang itu Langen Tirto cukup ramai. Bisa jadi mereka sama-sama dalam rangka menghabiskan waktu luang sembari menunggu listrik menyala. Atau bisa jadi, kata temanku, mereka numpang mandi lantaran pompa air tak dapat dipakai. Ah, semua alasan bisa kita gunakan untuk ke kolam renang. Sekedar pacaran, boleh. Latihan renang, boleh. Cuci mata, boleh sekali. Mencari kenalan, juga boleh. Yang tak boleh adalah kita bertelanjang ria, eksibionisme.

Aku rasakan dadaku sesak. Kebiasaan merokok membuat jantung dan paru-paruku harus bekerja keras ketika aku nyelam ke dasar kolam. Sekeluarnya dari air, rasanya sesak dan ingin batuk-batuk. Teman-temanku yang lain juga merasakan. Parahnya, dasar anak muda, sembari berenang mereka menyulut rokok di tepi kolam. Tidak hanya sebatang, seorang teman, Widi, membeli rokok tiga jenis, GG Filter, LA Mild, dan Djarum. Mungkin oleh yang lain kami bisa disebut nggak normal. Bayangkan saja, kalau berenang adalah olah raga, masak kita menyela-nyelainya dengan merokok. Sebuah tindakan yang kontradiktif, bukan?

Ah masa bodo’ dengan pendapat orang. Yang penting saat kami merokok tidak ada orang yang terganggu. Kolam renang itu terbuka. Udara bahkan angin bebas mengalir. Juga banyak pohon dan tumbuhan.

Sampai pukul empat, menjelang listrik nyala, kami mengakhiri “pesta air” itu. Ada rasa senang. Juga rasa tak enak. Agaknya badanku meriang. Kedinginan. Sepulang dari Langen Tirto, aku mandikan motorku di Kasanga Cuci Motor. Sudah lebih dari satu bulan motor itu tak pernah ku cuci.

Sesampai kos, aku langsung mandi membilas diri. Aku kenakan baju hangat, aku tidur. Listrik menyala, aku putar satu film. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :