Koperasi, Sebuah Telisik Epistemologi
Oleh: Firdaus Putra A.
I
Karl Marx, merupakan seorang intelektual yang secara cermat melakukan riset terhadap ketimpangan masyarakat akibat sistem kapitalisme di zamannya. Ia menemukan fakta bahwa pemilikan faktor produksi merupakan akar masalah yang mengantarkan buruh (pekerja) pada masalah penghisapan, keterasingan, dan seterusnya. Analisis Marx yang menekankan pada pemilikan faktor produksi ini mengantarkannya pada impian besar tentang sarana produksi yang manusiawi, kolektif, dan membebaskan, yakni sosialisme.
Dengan rendah hati, sebagai penghormatan terhadap kredibilitas Marx, saya akan meminjam analisis empiris tersebut untuk menyelesaikan bangun epistemologi koperasi. Di awal, kita tangguhkan sementara waktu, mengapa Marx justru tidak menggunakan konsep koperasi sebagai pilihan perjuangan ekonomi politik. Yang penting adalah, secara ilmiah kita harus melakukan telisik epistemik koperasi apakah secara rasional nantinya mampu menjadi alternatif kemanusiaan-kemasyarakatan untuk keluar dari sistem kapitalisme.
II
Dalam sistem kapitalisme yang mewujud nyata dalam perusahaan-perusahaan swasta/pemerintah, baik nasional pun transnasional, faktor produksi berupa modal (kapital) baik uang maupun alat-alat produksi dimiliki oleh investor selaku owner pemilik perusahaan. Sedangkan para pekerja, hanya dimanfaatkan tenaga dan pemikirannya untuk mengoperasionalkan unit usaha tersebut.
Dari semula, hubungan antara pemilik usaha dengan pekerja tidak setara. Posisi tawar tentu saja berada di tangan pemilik mengingat dialah yang memiliki faktor produksi. Sebagai pihak yang tak memiliki faktor produksi, sudah selayaknya pekerja mengikuti perintah pemiliknya. Sedari awal, sistem produksi kapitalisme tidak membuka ruang musyawarah antara pekerja dengan pemilik dalam konteks fundamen keberadaan dan keberlangsungan usaha.
Konsekuensi selanjutnya dari faktor produksi yang dimiliki oleh pemilik, bahwa produk atau jasa yang dihasilkan oleh tenaga serta pemikiran pekerja secara otomatis menjadi milik perusahaan. Sehingga penentuan harga barang/jasa berada sepenuhnya di tangan pemilik, bukan pekerja.
Mengingat produk atau jasa semuanya menjadi milik perusahaan, maka surplus value (nilai lebih) dari selisih antara harga jual barang/jasa dikurangi biaya produksi + upah tenaga kerja, dengan sendirinya masuk ke kas perusahaan (pemilik). Pada titik inilah, Marx menemukan bahwa sistem produksi kapitalisme selalu berorientasi pada akumulasi modal (kapital) yang didapatkan dari nilai lebih tersebut. Ingat, nilai lebih ini tidak didistribusikan pada pekerja sebagai “produsen” yang sejatinya mencipta, mengolah, dan mengkreasi barang/jasa itu.
Konsekuensi selajutnya, barang/jasa yang secara otomatis dimiliki oleh perusahaan membuat barang/jasa jasa itu lepas dari diri pekerja. Artinya, pekerja tidak bisa mengontrol harga, laju, dan jumlah barang/jasa yang dihasilkannya. Pada tahap ini, Marx menyebut hal itu sebagai fetitisme komoditas, dimana barang/jasa sudah lepas dari pembuatnya.
Maka, konsekuensi besar kemudian, sistem produksi kapitalis selalu bercorak bahwa antara produsen dan konsumen terpisah. Produsen menciptakan barang/jasa, sedangkan konsumen membeli atau mengonsumsi barang/jasa tersebut. Pada dasarnya proses ini merupakan salah satu bentuk dominasi (membuat ketergantungan) konsumen pada produsen. Tidak ada konsumen yang mampu mengontrol harga produsen selain produsen (perusahaan) itu sendiri, dan pemerintah.
Temuan Marx beberapa abad terdahulu masih cukup relevan untuk kita gunakan sebagai pisau analisis dalam membedah sistem kapitalisme. Selebihnya, kita mungkin perlu meminjam pisau analisis lain dalam membaca neo-liberalisme sebagai metamorfosa mutakhir dari kapitalisme. Meski demikian, analisis Marx merupakan analisis mendasar dan mengakar yang akan selalu bisa kita pergunakan.
III
Dengan cara membandingkan dengan sistem produksi kapitalis, dengan mudah kita akan mengetahui gambaran sistem produksi/konsumsi koperasi. Mengingat, sistem produksi/konsumsi koperasi merupakan anti-tesis dari sistem produksi kapitalis. Berikut saya suguhkan batu bata argumentasi rasionalnya.
Berbeda dengan sistem produksi kapitalis, koperasi menempatkan sarana produksi sebagai pemilikan bersama, kolektif. Mengingat, pendirian awal koperasi bermula dari insiasi kelompok individu yang menyertakan modal untuk mendirikan usaha tertentu. Tanpa individu-individu yang berkomitmen ini, koperasi tidak akan pernah terwujud. Individu-individu ini dengan sendirinya menjadi pemilik unit usaha tersebut atau secara lugas, individu-individu inilah sebagai owner dari perusahaan barang/jasa.
Konsekuensi dari pemilikan kolektif, tidak ada lagi term pemilik dan pekerja. Semua anggota (yang menyetorkan Simpanan Pokok) adalah pemilik dan juga pekerja. Relasi seperti ini tidak memberi tempat pada ketimpangan kekeuasaan atau perbedaan posisi tawar. Gerak atau laju serta orientasi usaha diputuskan bersama melalui musyawarah, dimana setiap individu memiliki hak suara yang sama.
Pemilikan sarana produksi yang kolektif dengan sendirinya membuat produk barang/jasa dimiliki secara kolektif. Harga, sampai jenis usaha ditentukan bersama berangkat dari kebutuhan anggota sebagai pemiliknya. Mengingat, semangat awal koperasi adalah self ralliance (kemandirian), sehingga produksi koperasi sekurang-kurangnya harus terlebih dulu mencukupi kebutuhan anggota-anggotanya.
Selanjutnya, nilai lebih dari logika jual-beli barang/jasa dikembalikan pada para penyerta modal, yakni seluruh anggota koperasi. Nilai lebih ini ditentukan dari besaran Simpanan Pokok, Simpanan Wajib, dan frekuensi serta besarnya transaksi yang dilakukan oleh masing-masing anggota. Nilai lebih ini dikembalikan kepada seluruh anggota di akhir tahun dalam bentuk Simpanan Hasil Usaha (SHU).
Berbeda dengan sistem produksi kapitalis, fetitisme komoditas tidak akan pernah terjadi. Keberadaan koperasi bukan akibat dari dikte pemilik modal, melainkan anggota-anggotanya yang menentukannya. Karena inilah, dengan sendirinya konsumen (anggota) mampu mengontrol; harga, sistem, sirkulasi, distribusi, dan seterusnya, barang/jasa yang diproduksinya. Imbasnya, tidak ada logika dominasi dalam pola relasi ini.
Tentu saja, karena fetitisme komoditas dapat dihilangkan, fenomena keterasingan (alienasi) pekerja dapat dihindari. Tidak akan ada anggota koperasi yang merasa terasing dari sistemnya, mengingat keanggotaan bersifat suka rela, artinya berangkat dari kesadaran individu untuk memperjuangkan kehidupan sosial-ekonominya dengan cara kolektif.
IV
Meminjam analisis Suroto, sistem produksi/konsumsi koperasi dan sistem produksi kapitalis dapat dibedakan sebagai berikut;
V
Demikian telisik epistemologi koperasi dengan meminjam pisau analisis Marx, yang kemudian membedakannya secara tegas dengan sistem ekonomi kapitalis. Untuk itu, secara rasional, tidak ada alasan lagi untuk menolak sistem produksi/konsumsi koperasi sebagai counter terhadap sistem kapitalisme. Sayangnya, sedikit gerakan mahasiswa, gerakan sosial, juga para pegiat LSM yang melirik sistem ini sebagai perangkat pemberdaya sosoio-ekonomi masyarakat.
Sedangkan mengapa Marx tidak merekomendasikan koperasi sebagai bentuk operasional dari sosialisme patut kita kaji. Dan juga mengapa gerakan mahasiswa, sosial, LSM justru cenderung mencibir koperasi, perlu kita kaji. Dan yang jelas, secara pribadi, epistemologi koperasi konsisten dengan landasan pemikiran saya yang lebih concern pada matra pemberdayaan sosial, meski dengan cara evolutif. Bisa jadi gerakan mahasiswa mencibir lantaran cara kerjanya tidak revolusioner (cepat). Sedangkan bagi saya, epistemologi gerakan koperasi teryata sangat radikal (mengakar). Ia, lambat namun pasti, langsung menusuk jantung kapitalisme. Bagaimana dengan Anda? []
_________
Note: Tulisan ini diberi beberapa komentar oleh Bpk. Sularso (Ketua Pembina Yayasan Ibnoe Soedjono Center - ISC) beberapa hari yang lalu.
0 comments :
Posting Komentar