Posmo - Setuju?


Oleh: Firdaus Putra A.

Tulisan ini merupakan hasil diskusi saya dengan beberapa kawan, salah satunya dengan Gery Sulaksono. Kami memasuki diskusi posmodernisme setelah terpancing oleh lontaran-lontaran Francisco Budi Hardiman dalam sebuah pelatihan History of Thought (HoT) di Yogyakarta.

Sebutlah di satu pihak, Gery, membela posmodernisme sampai titik eksistensialisme ekstrem. Meski tidak terlalu tepat, kita sederhanakan dengan frasa any thing goes. Semuanya boleh dilakukan, boleh diperbuat. Mengapa? Karena dalam posmodernitas, segala sesuatu dikembalikan pada keinsyafan individu. Maka dari sinilah berbagai macam narasi kecil lahir. Praktik-praktik hidup individu yang unik satu dengan lainnya lahir.

Persoalannya kemudian, sejuah apa kebebasan individu itu? Gery membela, bahwa kebebasan itu tidak harus dibatasi. Serahkan kepada individu. Individu cukup cerdas untuk mengatur hidupnya, tingkah-lakunya masing-masing. Saya tidak terlalu bermasalah dengan pernyataan itu. Hanya saja, bagaimana Gery merasionalisasikan kasus pembunuhan (baca: penusukan) tujuh orang di sebuah jalan raya di Jepang beberapa minggu yang lalu?

Ada seorang pemuda Jepang yang kecanduan video game. Sampai titik nadirnya, ia menyatakan bosan hidup. Dalam sebuah situs, ia menceritakan rencananya tentang pembunuhan. Dan benar, selang satu hari, ia melaksanakan rencana konyol itu. Tercatat, tujuh orang pejalan kaki meninggal tanpa tahu apa kesalahannya. Ia meninggal lantaran berpapasan dengan si pemuda yang frustasi itu.

Seorang warga yang diminta pendapatnya berujar, “Pemuda itu mungkin mengira kehidupan (riil) ini seperti di video game. Sayangnya, tidak ada tombol reset di kehidupan nyata”. Baiklah, dalam kerangka posmodernisme, kita bisa menganalisis bahwa pemuda itu mengalami krisis ontologis. Krisis keberadaan diri, ia mengalami kebingungan antara dunia vitual dan dunia riil. Kehidupannya terasuki nalar virtual, video game.

Kembali ke diskusi awal. Bagaimana kita bisa merasionalisasikan kebebasan jenis ini? Apakah akan kita benarkan pembunuhan yang mengatasnamakan keunikan individu yang mungkin bersifat psikopatologis?

Dengan tegas saya menyatakan tidak bisa dibenarkan. Mengingat, dalam telisik epistemologi, menurut saya, narasi kecil yang direpresentasikan dari praktik kehidupan individu yang unik tidak bisa berdiri sendiri. Narasi kecil, menurut saya, senantiasa membutuhkan narasi besar berupa kebebasan. Untuk lebih memperjelas saya nyatakan dengan frasa “liberal (isme)”.

Coba bayangkan apakah narasi-narasi kecil akan lahir di tengah atmosfir otoritarianisme atau diktatorisme? Saya yakin tidak! Pada titik ini, saya lebarkan diskusi, negara Islam tidak akan mampu memayungi berbagai macam narasi kecil. Negara Islam cenderung melakukan homogenisasi dan seragamisasi.

Adanya “payung hukum” terhadap narasi kecil itu memperlihatkan kepada kita bahwa tindakan individu bukanlah tindakan yang bebas tak terbatas. Melainkan, tindakan yang tetap harus berada di dalam koridor narasi besar; liberal(isme), human(isme), konstitusional(isme), dan lain sebagainya.

Sebagai seseorang yang berharap pada kebebasan, saya cukup prihatin melihat term kebebasan didefinisikan sebagai kebebasan tak terbatas. Padahal, John Rawls, filsuf dan penulis buku “Teori Keadilan” mendefinisikan kebebasan sebagai; seseorang (atau orang-orang) yang bebas (atau tidak bebas) dari suatu batasan (atau serangkaian batasan-batasan) untuk dilakukan (atau untuk tidak dilakukan). Definisi padat itu ia susun berangkat dari tiga asumsi; para pelaku yang bebas, batasan-batasan atau pelarangan yang dibebaskan dari mereka, dan apa yang bebas dan tidak boleh mereka lakukan.

Kembali ke awal diskusi, oleh karenanya, saya sepakat dengan kebebasan yang digulirkan posmodernisme, yang menitiktekankan pada keinsyafan individu sebagai subyek sejarah, sejauh kebebasan individu itu tidak merugikan atau melanggar kebebasan individu yang lain di ruang publik. Di luar itu, bilamana kebebasan individu itu merugikan atau mengganggu kebebasan orang lain, seperti kasus di atas, saya menolak.

Jadi, saya lebih sepakat memaknai posmodernisme sebagai kelanjutan dari modernitas. Bukan sama sekali terputus dan menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Karenanya, saya lebih sepakat mengatakan narasi-narasi kecil yang lahir di masa posmodernitas senantiasa membutuhkan “payung hukum” sekurang-kurangnya berupa liberalisme dan humanisme. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Anonim mengatakan...

Persoalan menolak atau stuju pada posmodernisme saya pikir terlalu bergaya Gellnerian. Posmo itu gejala riil yang mengarus dan in-flux, jadi setuju tidaknya kita hanya berbentuk teriakan yang tidak mengubah apa-apa!