Janji Politik?
Oleh: Firdaus Putra A.
Janji, sebuah penangguhan sementara atas kewajiban yang pemenuhannya di masa mendatang. Tidak banyak perbedaan antara janji partai dengan janji perorangan. Yang mendasar, janji partai selalu bersifat politis dan mempunyai syarat tertentu, misal, menunggu kemenangan partai bersangkutan.
Pada dasarnya tidak ada persoalan partai mengeluarkan “janji politik” berupa program atau berbagai macam tawaran perbaikan. Bahkan, dalam rangka pendidikan “janji politik” harus diberikan. Yang justru patut dipermasalahkan, pertama, sejauh apa janji itu realistis untuk diwujudkan. Kedua, bagaimana atau dalam situasi apa janji itu disampaikan. Dan ketiga, komitmen partai bersangkutan dalam menepati janjinya.
Sebutlah beberapa janji yang sering diobral partai saat kampanye; penyediaan lapangan kerja, pendidikan murah bahkan beberapa partai tidak tanggung-tanggung menyebut gratis, layanan kesehatan murah, fasilitas publik diperbaiki dan dikembangkan, dan seterusnya. Janji-janji tersebut merupakan turunan program kerja, misi dan visi partai. Dari sudut manapun kita melihat “janji politik” selalu saja terlihat bagus dan ideal. Hal ini benar, mengingat “janji politik” merupakan abstraksi dari keinginan masyarakat sebagai basis konstituennya. Kecil kemungkinan masyarakat mendebat substansi “janji politik” partai tertentu.
Yang harus dicermati dari sekian janji ideal itu, sejauh mana janji-janji atau program-program itu realistis? Bagi masyarakat, kita membutuhkan analisis mendalam untuk melihat kemungkinan janji tersebut bisa diwujudkan. Dan selayaknya, partai bersangkutan memberikan rasionalisasi yang mencukupi tentang bagaimana cara merealisasikannya. Rasionalisasi ini harus bersifat obyektif, terlepas dari satu variabel dependen, kemenangan partai bersangkutan.
Selanjutnya, “janji politik” harus disampaikan melalui komunikasi politik yang sehat. Sangat penting untuk memperhatikan bagaimana caranya “janji politik” itu dikomunikasikan. Faktanya, seringkali “janji politik” disampaikan sepintas lalu dalam ajang kampanye yang berbentuk pesta musik dangdut dan sebagainya. Cara ini tentu saja sama sekali tidak efektif. Mengeluarkan janji dalam kesempatan ini sama dengan “mengumbar janji” yang sifatnya mubadzir. Oleh karenanya, “janji politik” seyogyanya disampaikan dalam situasi kondusif, dimana konstituen mau dan mampu untuk menalar seabrek janji itu.
Semua “janji politik” yang baik tidak akan berfaedah tanpa adanya komitmen politik. Tentu saja konstituen harus mengawal dan mendampinginya. Seyogyanya konstituen mendesak partai untuk menandatangani kontrak politik. Bagi partai bersangkutan, celah untuk menciderai janji menjadi semakin kecil. Mengingat, kontrak politik yang tentu saja “hitam di atas putih”, suatu tempo bisa digugat dan bisa mempengaruhi track record partai bersangkutan.
Dalam pesimisme terhadap partai yang hari ini semakin akut, akan sangat beresiko bilamana partai hanya sebatas “mengumbar janji”. Masyarakat semakin kritis dan sampai titik tertentu gelombang the critical citizen ini akan menyapu partai yang menjadikan janji sebatas pemanis belaka.
Tidak ada salahnya berjanji, apabila kita merasa mampu mewujudkannya. Selebihnya, waktu yang akan membuktikan. Apakah hari ini partai politik kita masih sama—berpeluang besar cidera janji—atau sedikit demi sedikit mulai mengoreksi dan merubah diri? Wallahu a’lam bishshowab. []
__________
* Versi asli dari tulisan yang dimuat di Seputar Indonesia Jateng & DIY, tanggal 9 Juli 2008, kolom Suara Mahasiswa, hal.5.
0 comments :
Posting Komentar