Timur dan Barat
Oleh: Firdaus Putra A.
Sudah ketiga kalinya ini saya membaca “Si Parasit Lajang” karya Ayu Utami. Belum juga membuat saya bosan. Bahasanya renyah, mudah dipahami, dan yang terpenting lontaran-lontaran narasi kecilnya sangat menyentil. Beberapa hari yang lalu saya sempatkan membeli buku ini. Saya hadiahkan pada seorang teman, Muhajir, yang melangsungkan pernikahan.
Buku kecil ini merupakan kumpulan esai Ayu Utami yang pernah dimuat di majalah “Djakarta”. Terdiri dari tulisan-tulisan lepas yang mengupas berbagai isu dari sudut pandang subyektif Ayu Utami. Meski sekedar narasi kecil dan bersifat opini, namun data atau fakta tetap Ayu gunakan. Alhasil, buku ini tetap memiliki bobot tertentu.
Bacalah satu judul, “Timur dan Barat”, hal 107. Membaca judul ini kita akan mendapatkan pemahaman baru terkait dengan perdebatan kebebasan (liberalisme). Bagi orang seperti Ayu, yang gaya hidupnya bebas, akan mudah distigma orang sebagai “kebarat-baratan”. Padahal, menurut Ayu, dulu Barat justru menstigma kita sebagai “ketimur-timuran”. Kebarat-baratan atau ketimur-muran dalam konteks ini adalah para penganut kebebasan.
Ia mengisahkan, dulu saat Eropa masih berselimut victorianisme, para kolonialis percaya bahwa masturbasi diajarkan oleh para inlander (Timur) kepada anak-anak mereka. Itulah salah satu pengaruh jahat Timur kepada Barat. Sedangkan saat ini, kita (Timur) yang justru sering mengutuk Barat karena moral seks-nya yang rendah. Orang percaya bahwa seks ekstramarital itu tidak jahat. Yang percaya seperti ini akan dituduh kebarat-baratan. Padahal, dulu Eropa justru menganggap hal itu sebagai ketimur-timuran.
Ayu menyuguhkan fakta, apa yang dilihat Eropa dan Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 tentang kita (Timur)? Antara lain seperti Bali dalam album juru potret Jerman Gregor Krause yang memesona Miguel Covarrubias. Timur yang eksotis, perempuan mandi di pancuran. The last paradise, firdaus yang terakhir. Sebab saat itu orang masih boleh telanjang dengan polos.
Ceritanya berbeda saat ini, ketika melihat orang Indonesia berjemur di pantai Bali dengan hanya menggunakan bikini, maka kita akan mengutuk orang itu sebagai kebarat-baratan. Padahal, Baratlah (bule-bule di Kuta itulah, kata Ayu Utami) yang semula meniru kita.
Ia melanjutkan, jadi adakah esensi Timur dan Barat jika kita telah berubah dan mereka juga telah berubah secara berbalikan. Siapakah kita, siapakah mereka? Sejarah menunjukan bahwa tak ada kita atau mereka yang abadi.
Lontaran hampir serupa dengan Ayu Utami juga disampaikan oleh Budy Munawar-Rachman. Dalam konteks kebebasan berfikir, sebenarnya dulu Baratlah yang meniru Timur (Islam). Sedangkan saat ini, ketika kita berbicara tentang kebebasan berfikir, kita dituduh sebagai antek-antek Barat, atau sekurang-kurangnya, orang yang kebarat-baratan. Padahal, seperti catatan akhir Ayu Utami, sejarah menunjukan bahwa tak ada kita atau mereka yang abadi. Jadi, tidak ada Timur atau Barat yang abadi dalam konteks kebebasan atau stigma tentang kebebasan.
Jika kita mampu menambah daftar panjang catatan sejarah tentang paradoks, kontradiksi, berbalikan antara Timur dan Barat, maka kita akan sampai pada pemahaman bahwa hal itu sekedar konstruksi politik. Kebebasan dalam dirinya sendiri “tidak jahat”, ia menjadi jahat lantaran—oleh kita (Timur)—berasal dari Barat. Dan sebaliknya, di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, karena berasal dari Timur. []
0 comments :
Posting Komentar