Untu Wojo
Oleh: Firdaus Putra A.
Tubuh kita menjadi sedemikian estetik. Dengan berbagai piranti, keindahan itu diwujudkan. Ada rebonding, smoothing, atau sekedar catok rambut. Menjadi indah dengan cara yang berbeda saat rambut menjadi “rambut jagung”. Itu hanya soal rambut, belum yang lain-lainnya.
Tapi masih dalam anatomi yang sama, kepala, rezim keindahan bekerja secara massif dalam mulut kita. Gigi, jajaran putih bak serdadu itu harus senantiasa putih. Bila perlu mengkilap, itu kata iklan pasta gigi. Bagi yang bergelombang, kecanggihan teknologi bisa merapihkan. Entah dikikir, diamplas, atau bahkan didempul.
Namun, bagi yang sukar ditaklukan, teknologi juga mempunyai jurus lain. Dokter gigi akan memberi saran untuk memasang behel (be: toilet, hel: buah apel). Seorang Bapak menyebutnya, untu wojo. Untu, bahasa Jawa untuk gigi. Sedang wojo, bisa kita terjemahkan sebagai baja, besi atau logam. Maksud si Bapak desa, kawat behel.
Nah, teknologi ini benar-benar tahu hasrat keindahan manusia. Behel dibuat dengan detail asesoris, misal, bermata berlian, berukir bunga, dan sebagainya. Bahkan ada, behel yang penuh warna. Awalnya behel ditujukan bagi gigi-gigi yang tidak rapi barisnya. Seperti komandan, behel memberi intruksi dengan cara menekan perkembangan gigi. “Siap gerak!” Gigi diwajibkan baris lurus. Bila masih bengkong, tak teratur, dan berkelok, maka, “Lencang kanan gerak!” Gigi dipaksa turut perintah si kawat behel, mau atau tidak.
Alhasil, kadang di awal pemakaian, si empunya merasa ngilu tak ketulungan. Hasil tekan dan paksa itu melahirkan semacam shock culture pada si gigi. Biasanya bengkok, tak teratur, atau bergelombang, selepas komandan behel datang, semuanya harus lurus.
Inilah yang Foucault katakan sebagai bio-power dan bio-politic. Jejaring kuasa yang memerintahkan, mungkin lebih tepatnya, membentuk agar tubuh kita mengikuti sebuah episteme tertentu. Keindahan! Bio-power dan mekanisme bio-politic ini acapkali diterima secara pasrah oleh masyarakat. Seakan-akan mereka sepakat, bahwa seharusnya gigi harus berbaris lurus. Bengko, tak teratur, dan lain sebagainya, ialah sebentuk panyimpangan dari sebuah order.
Mekanisme bio-politic kita temukan juga dalam mitos kecantikan. Naomi Wolf, menulis dengan amat baik operasionalisasi mitos itu. Namun perkembangan kontemporer juga melahirkan mitos ketampanan. Masih ingat iklan komersil susu formula penggemuk badan? Ya, agar susu itu bisa beroperasi, si perusahaan harus meneror terlebih dulu masyarakat (baca: laki-laki) dengan jargon, “Kerempeng mana keren!”
Kembali ke untu wojo, si Bapak yang terheran-heran melihat perempuan cantik di depannya ber-behel, memberi komentar, “Kok tidak nrima sama pemberian Tuhan” Maklumlah, si Bapak hidup di zaman yang cukup berbeda dengan sekarang. Seperti gigi yang shock akibat pendisiplinan, si Bapak juga nampaknya mengalami shock. []
0 comments :
Posting Komentar