Islam & Non-Islam


Oleh: Firdaus Putra A.

Melafalkan “Islam dan non-Islam” nampaknya sudah kadung membudaya di masyarakat kita. Tentu saja, si pelafal adalah seorang Muslim. Kadung membudayanya, atau karena alasan lain, seorang Muslim lebih sering menyebut non-Islam daripada, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan seterusnya. Apakah sekedar alasan teknis, yakni mempermudah penyebutan? Karena dalam istilah non-Islam terkandung beberapa macam istilah lain sebagaimana di atas? Atau jangan-jangan nalar oposisi biner kadung mendarah daging di benak masyarakat (Muslim) Indonesia? Dan bagaimana implikasi penggunaan istilah tersebut?

Meminjam analisis Derrida, tentang dekonstruksi, nampaknya alasan terakhir lebih mencukupi daripada sekedar alasan teknis. Opisisi biner sedari awal sudah “diajarkan” turun-temurun melalui sejarah budaya Islam. Lihatlah bagaimana Islam menandai secara tegas sekuel sejarah dengan pra-Islam dengan term “Jahiliyah”. Dalam konteks lain, Islam menandai komunitas beriman dengan “Mukmin”, di lain sisi, “Kafir”. Dalam konteks hukum, “Halal” dan “Haram”, dan sebagainya.

Oposisi biner, sebagaimana dijelaskan Derrida, tidak akan menaruh persoalan selama tidak menyimpan hirarkhi. Misal, sekedar tanda “Mukmin” bagi yang percaya Tuhan, dan “Kafir” bagi yang mengingkari-Nya. Persoalannya, oposisi biner acap kali melahirkan jenjang makna atau hirarkhi makna. “Mukmin” lebih tinggi daripada “Kafir”, “Jahiliyah” lebih rendah daripada “masa Islam”, dan seterusnya. Pembabakan atau penandaan ini menyimpan kekerasan, peminggiran, dan tentu saja penindasan.

Dalam konteks lain, sebagai perbandingan, “laki-laki” terbedakan dengan “perempuan”. Persoalannya, “perempuan” baru menjadi “perempuan” hanya jika dikaitkan dengan laki-laki. Artinya, makna perempuan terkandung dalam makna jenis kelamin laki-laki. Konkretnya bisa dilihat, “Polisi” untuk menunjuk baik personel laki-laki pun perempuan. Namun, “Polwan”, secara khusus menunjuk “Polisi Wanita”. “Polisi” lebih umum dan mencukupi daripada “Polwan”. Dan seperti di atas, personel perempuan juga bisa ditautkan dalam kata “Polisi”.

Penggunaan yang lain terekam pada, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) untuk menunjukan organisasi pelajar NU yang berjenis kelamin laki-laki. Pada sisi lain, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), harus memberikan ajektif “Putri”. Dimana ajektif “Putri” berfungsi pengkhususan (isim ma’rifat) dari kata induk “Pelajar” yang bersifat umum (isim nakiroh). Terlihat jelas bahwa term yang menunjuk pada laki-laki lebih luas dan lebih umum daripada term untuk perempuan.

Lantas bagaimana dengan “Islam” dan “Non-Islam”? Dengan perbandingan beberapa contoh di atas, modus operasi oposisi biner ini terlihat jelas. Dimana “Islam” lebih mencukupi dan luas daripada “Non-Islam”. Agama lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu dan sebagainya merupakan sub-ordinat dari keluasan term “Islam”. Sehingga untuk menunjuk agama-agama itu, seorang Muslim hanya perlu memberi pembeda dirinya dengan yang lain, “Non-Islam” yang bisa mengacu kepada agama-agama selain Islam.

Penggunaan imbuhan “non” di depan “Islam” merupakan proses peminggiran keberadaan entitas lain. Penggunaan term “non” menyiratkan bahwa pusat dari perbincangan adalah “Islam”. Di luar pusat; Kristen, Hindu, dan sebagainya, adalah pinggiran yang mengacu pada cara pandang pusat (Islam). Ada proses pendefinisian serta pengidentitasan yang berlangsung secara kasat mata untuk merepresi di luar pusat. Bahkan, secara langsung atau tidak, pusat (Islam) mendefinisikan serta mengidentitaskan entitas-entitas selain dirinya dengan cara pandang dirinya sendiri.

Kemudian imbuhan “non” selain membedakan, ia secara tak langsung menaruh hirakhi makna. Bahwa kata induk (Islam) posisinya lebih tinggi daripada kata sifat (non). Kesadaran seperti ini lahir secara tak sadar melalui proses internalisasi dan sosialisasi dari kanak-kanak hingga dewasa. Kesadaran seperti ini menjelma dalam sikap arogansi sebagai pemeluk agama mayoritas.

Lantas bagaimana keluar dari nalar oposisi biner itu? Sederhananya dengan jalan tak lagi menggunakan term “non-Islam” untuk menunjuk agama lain. Lebih baik dan mencukupi melafalkan, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan seterusnya untuk menyebut pemeluk atau agama selain Islam. Dalam penyebutan itu, maka masing-masing term berada dalam posisi yang setara. Hirarkhi makna sudah terlampaui. Tidak ada pusat dan tidak ada pinggiran. Semuanya menjadi entitas yang ada karena dirinya. Bukan karena pertautan atau tergantung dari entitas lain.

Dalam konteks seperti itu, sebenarnya makna “toleransi” tak lagi mencukupi. Toleransi merupakan sikap kemurahhatian “yang di atas” atau “yang kuat” terhadap “yang di bawah” atau “yang lemah”. Dalam makna itu masih terkandung hirarkhi kuasa. Bahwa kemurahhatian hanya menjadi mungkin bila “yang di atas” mentoleransi “yang di bawah”. Untuk itu, perlu secara bertahap mencari dan menggunakan term lain yang lebih mencukupi, misal, koeksistensi atau proeksistensi. Dalam istilah lain, Millad Hanna lebih suka menyebut dengan istilah qabulul akhar atau menyongsong yang lain.

Melalui proses penelanjangan jejaring kuasa yang bermain dalam struktur bahasa ini, sampailah kita di ujung kesetaraan posisi. Semua agama setara. Tidak ada yang lebih tinggi. Dan tak ada pula yang lebih rendah atau direndahkan. Masing-masing agama berada pada lavel yang sama. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :