Kejujuran Diri


Oleh: Firdaus Putra A.

Ketika menyaksikan film ini, saya tertegun bagaimana Ary Ginanjar Agustian membeberkan bagaimana bekerjanya “kecerdasan emosi”. Film itu berdurasi 30 menit. Sebelum memasuki tema “kecerdasan emosi”, pada bagian awal Ary Ginanjar menjelaskan “kecerdasan intelektual”. Pada sesi “kecerdasan emosi” ia memberikan contoh “Kisah Safety Box”. Di bawah ini saya kutipkan beberapa kalimat kunci yang ia ceritakan.

(... di depan saya ada koran, kebetulan ia baru saja di lantik sebagai ketua organisasi tertentu yang di hormati ...)

“Boleh saya minta waktu dua menit saja untuk bertanya secara pribadi kepada Bapak. Karena saya jujur saya mengagumi Bapak. Pertama kali saya ingin ucapkan selamat Bapak dipilih sebagai ketua suatu organisasi sosial”.

“Lho Anda tahu dari mana?” (Dia-pemilik hotel-mulai terpancing).

“Ah saya kan senantiasa mengamati juga ... bla bla bla ...”

Lantas apa yang perlu kita analisis? Telitilah kalimat, ”... di depan saya ada koran, ternyata dia baru saja di lantik sebagai ketua organisasi tertentu yang di hormati ...” dan bandingkan dengan kalimat “...Ah saya kan senantiasa mengamati juga ... bla bla bla ...”

Dari kalimat itu kita bisa melihat bahwa sebenarnya Ary Ginanjar mengetahui si pemilik hotel baru saja dilantik sebagai ketua organisasi tertentu dari koran yang ada di depannya. Namun ketika pemilik hotel bertanya, “Lho Anda tahu dari mana?”, Ary Ginanjar menjawab, “...Ah saya kan senantiasa mengamati juga ... bla bla bla ...” Nah pada titik inilah saya mempertanyakan kejujuran diri Ary Ginanjar. Ia tidak menjawab pertanyaan pemilik hotel dengan kejujuran spontan, melainkan jawaban instrumental dalam rangka meraih simpatinya.

Tentu saja hal ini ia lakukan agar safety box yang ia pasarkan bisa laku terjual. Dan benar, di akhir kisah, Ary mengatakan kalau pemilik hotel itu membeli safety box-nya sebanyak kamar di hotelnya. Memang secara ekonomis (bisnis) trik ini sangat produktif. Trik ini tak ubahnya kelihaian marketing yang dimainkan perusahaan tertentu dalam rangka mempromosikan atau memasarkan produknya.

Di lain pihak, menurut saya cara itu tak ubahnya dengan “menjilat” yang tentu saja akan membuat orang lain senang. Bedakan atau bandingkan bilamana Ary Ginanjar saat itu menjawab, “Ini Pak tadi saya sepintas baca beritanya di koran”. Jawaban ini merupakan kespontanitasan yang jujur. Dan tentu saja, pujiannya lahir dari kejujuran. Bukan semata untuk meraih simpati, melainkan benar-benar untuk mengapresiasi prestasi. Celakanya bilamana Ary Ginanjar kehilangan sisi kejujuran spontanitasnya setelah ia membaca berbagai buku tentang “kecerdasan emosi” sebelum ia menemui si pemilik hotel. Artinya, banyak orang yang akan mengikuti trik itu sembari melempar jauh nilai kejujuran yang sangat mendasar, yakni jujur terhadap diri sendiri. []

Note: Untuk lebih jelasnya silahkan saksikan film tersebut. Tulisan ini merupakan tulisan ke lima yang menyoal masalah Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) a la Ary Ginanjar Agustian. Silahkan baca tulisan lain dalam blog ini dengan memasukan kata kunci “ESQ” pada search engine di sebelah kiri-atas halaman.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :