Kimpoi
Oleh: Firdaus Putra A.
Malam tahun baru 2009 saya mengalami banyak kejadian menarik. Salah satunya ini, kimpoi. Kejadian ini berawal ketika saya membeli sebungkus rokok di warung tak jauh dari kafe Loja, tempat saya dan Wahyu nongkrong malam itu. Di sana saya bertemu dua teman mahasiswa.
Ia menanyakan mau beli apa? Saya jawab rokok. Lalu saya tanyakan, kalian beli apa? Ia tidak menjawab, karena selang beberapa detik kemudian si empunya toko menyajikan barang pesanannya, bir dan anggur merah. Saya sentil, “Rame-rame neh, banyak banget”.
Di sela-sela obrolan pendek ia bertanya, “Kimpoi gak malam ini (tahun baru)?” Saya jawab, “Ya … biasanya kalo lagi sehat iya. Cuma sekarang aku lagi flu, jadi enggak”. Terus dia melanjutkan, “Aku juga biasanya ma cewekku”. Sontak saya kaget, saya mulai khawatir kalau telah terjadi salah tafsir. Dengan ragu saya tanyakan, “Eh, kimpoi itu ML (making love)?” Ia mengangguk. Langsung saya bilang, “Oh maaf, aku salah tafsir. Kirain kimpoi itu minum. Maaf”. Langsung buru-buru saya ralat, “Iya, aku minum kalau lagi sehat. Kalau sedang tidak fit, enggak. Males mualnya”.
Ya begitulah kejadian tidak menyenangkan malam itu. Saya khawatir kalau teman saya merasa malu karena salah paham itu. Ya memang salah saya juga, sok tahu bahasa gaul, “kimpoi”. Teman tersebut memang asli Jakarta. Jadi penggunaan bahasa gaul sudah sering ia pakai. Sampai akhirnya saya tahu kalau bahasa gaulnya “minum” itu bukan “kimpoi” tapi “nokeb”.
Entah dari mana istilah-istilah seperti itu muncul, yang jelas saya mengalami “lingual roaming” dengan beberapa istilah. Kadang juga saya ribet kalau teman, biasanya Jakarta, menyebut mata uang dengan “cepek”, “gopek”, “seceng” dan sebagainya.
Setelah memberikan klarifikasi nampaknya teman tersebut paham. Semoga saja demikian. Dan jujur, kesalahan malam itu bukan hal yang disengaja. Benar-benar karena ketololan saya yang sok tahu. Dan salah tafsir malam itu karena konteks pembicaraan sedang membahas ihwal “minum”.
Memang biasanya saya minum, sekedar Bir Bintang dengan kadar alkohol lima persen. Itupun biasanya saat bersama teman-teman. Atau juga pernah saya minum Anggur Merah saat mengecat ruang tamu dan lorong kos dari jam enam sore sampai jam tiga dini hari. Tentu saja, bukan karena ingin mabuk, melainkan sebagai penambah stamina.
Beberapa kali minum, saya tak pernah mabuk. Karena memang bukan itu tujuannya. Namun yang paling menyebalkan, saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Banjarnegara seorang teman membeli Putau Che Che. Kadar alkoholnya di bawah lima persen. Rasanya manis dan asam, lebih enak dari Bir Bintang. Celakanya, kami terkena musibah, fitnah tak sedap. Akhirnya, ihwal Putau Che Che dibahas si empunya rumah yang padahal hari-hari sebelumnya beliau membiarkan saja. []
2 comments :
Bung, KKN di Banjarnegara di daerah mana dan kapan? Saya orang Banjarnegara. Pertahankan tidak mabuk lebih bagus lagi tinggalkan minuman beralkohol, oke jendelakatatiti.wordpress.com
istilah jaman sekarang emang aneh2 bro.
Posting Komentar