Parfume


Oleh: Firdaus Putra A.

Malam itu seperti biasa saya dan Wahyu memilih tempat duduk paling pojok. Soalnya tempat itu jauh dari alat pengeras suara yang mendendangkan hit-hit popular. Ikut di meja kami, seorang cewek dan cowok SMA. Kami berdua sepakat kalau cewek SMA tersebut sangat manis. Nampaknya si cowok sedang PDKT. Dan nampaknya pula, si cewek sedang merajuk, meminta jalan-jalan ke GOR Purwokerto, tempat dimana pesta akhir tahun digelar dengan berbagai kembang api.

Wahyu bertanya ke cewek tersebut, “Mbak dari SMA mana?” Si cewek menjawab dengan halus, “SMA 5”. Wahyu melanjutkan, “Semuanya sama, teman-temannya?” Dia menjawab, “Bukan, ada yang SMA 3”, sembari menunjuk cowok yang sedang PDKT itu. Selang berapa menit, entah karena merasa terganggu atau ingin lebih intim, si cowok mengajak pindah meja.

Tak selang lama, meja samping kami terisi orang. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan dewasa. Saya duduk di sebelah kursi perempuan itu. Tiap angin berhembus, saya rasakan aroma yang sangat segar. Wanginya sungguh elegan. Saya pikir wangi itu dari si perempuan samping saya.

Wangi itu seperti minyak kayu putih. Tetapi bukan itu. Mungkin seperti cengkeh atau sebangsa kayu-kayuan. Wanginya halus tidak menusuk hidung. Segar dan terasa dingin. Wanginya benar-benar membuat nyaman.

Tak hanya saya, Wahyu juga mengamininya. Saya bujuk Wahyu untuk menanyakan parfum jenis atau merek apa pada perempuan itu. Dengan sedikit ragu akhirnya Wahyu bertanya ke perempuan asing itu. Si perempuan nampaknya sangat senang. Dengan serius ia mengingat-ingat merek parfum yang dipakainya. Bahkan lebih dari serius, perempuan tersebut memberikan nomor ponselnya.

Katanya, ia lupa merek parfum itu, namun kalau Wahyu serius, sesampai di Jakarta ia akan cek mereknya. Perempuan asing itu memperkenalkan diri sebagai Mbak Melisa. Wahyu mencatat nomor ponselnya. Dan kemudian kami kembali dengan obrolan masing-masing.

Akhirnya malam itu kami juga membahas masalah parfum, selain hingar-bingar malam akhir tahun. Sekitar dua bulan yang lalu saya membeli parfum, Pierre Cardin terbitan Perancis. Mungkin bukan kualitas utama, harganya hanya Rp. 50.000. Aromanya sangat perempuan. Wahyu lebih menyukai aroma parfum itu daripada saya sendiri, si empunya.

Saban pergi saya semprotkan lima sampai enam kali di baju. Mengingat di bawah botol kacanya tertulis, Eau de Toilette. Label itu berarti bahwa kandungan air di parfum cukup banyak. Sehingga agar tahan lama kita perlu menyemprotkannya beberapa kali. Dan parfum dengan label ini harus dikenakan di baju, bukan di badan. Di atas Eau de Toilette adalah Eau de Cologne. Pemakaiannya masih sama, di baju. Hanya saja konsentrasi wanginya lebih tinggi. Dan di atas dari keduanya adalah Eau de Parfume.

Baru kalau tertulis deodorant, kita kenakan parfum itu di tubuh. Pemakaiannya setelah mandi. Beberapa kali semprot, setelah itu diangin-anginkan terlebih dulu sampai yakin benar bahwa parfum sudah kering. Baru kemudian kita kenakan baju.

Seperti Wahyu, karena sudah cukup lama dengan satu jenis parfum, saya tak lagi merasakan aromanya. Biasanya aroma itu tercium saat menyemprotkan di pakaian. Setelah itu hilang atau tak tercium. Lebih dari saya, pemakai parfum, teman-teman saya lebih mencium aromanya. Mungkin ini terjadi lantaran bulu-bulu di hidung dengan syaraf penciuman sudah cukup kebal dengan aroma itu. Makanya tidak heran kalau di outlet-outlet tertentu, penjual menyediakan biji atau serbuk kopi untuk menetralisir kemampuan syaraf itu.

Semakin sering kita memakai, maka semakin tak terasakanlah aroma parfum itu. Lantas, sebenarnya untuk siapa kita memakai parfum? Diri kita? Atau justru orang lain? Malam itu, saya dan Wahyu sepakat kalau wangi parfum justru untuk orang lain. Kita membuat mereka nyaman dekat di sisi kita. Berbeda jauh tentunya, kalau tubuh kita hanya beraroma keringat. Tentu, orang di sisi kita juga yang akan menanggungnya.

Dalam kajian yang lebih ilmiah, memang terkuak bahwa parfum merupakan salah satu bahasa simbolik yang digunakan masyarakat. Dengan memakai parfum tertentu, individu ingin diidentifikasi sebagai orang berkepribadian tertentu. Sebut saja, saya jarang memakai parfum berjenis “Sport” karena bukan kepribadian itu yang ingin saya “jual” ke orang. Biasanya saya lebih memakai parfum dengan jenis elegan, lembut, dan berbau agak manis.

Nah, dalam hal itulah parfum menjadi bahasa pengantar baru dalam pergaulan di era modern. Sehingga jangan heran, rekaman Bre Redana dalam bukunya, “Potret Manusia sebagai Si Anak Kebudayaan Massa” menemukan kalau parfum merupakan bisnis skala internasional yang menjanjikan. Sebutlah beberapa merek terkenal, Romeo Gigli, Tommy Hilfiger, Kenzo, Escape, Chevignon, Nikos, Shalimar, dan seterusnya. Tentu saja merek-merek atas itu bukan barang konsumsi mahasiswa seperti saya. Harganya berada di kisaran ratusan bahkan jutaan rupiah, bukan puluhan ribu seperti dua parfum di kamar saya, Pierre Cardin dan Private Number. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

el-ferda mengatakan...

mbak melisa sudah memberi nama parfumnya, "L.SARAH". dan dia juga mengirim SMS ke wahyu, "Klu ga ad kapan ak ke pwkto ak bel km".

pertanyaan tentang parfum malam itu berbuah jalinan sosial yang tak pupus hingga sekarang....