Sengkarut Israel – Palestina
Tali Kelindan Berbagai Faktor
Oleh: Firdaus Putra A.
Keuntungan dalam Konflik
Membela Israel tentu saja sangat tidak masuk akal untuk kita lakukan. Mengapa? Pasalnya Israel tidak hanya menyerang pihak militer Palestina, tapi juga penduduk sipil, mulai dari anak sampai manula. Tentu saja tindakan ini tak bisa dibenarkan dalam etika perang. Selain itu, Israel juga menggunakan senjata illegal, artinya tanpa diberitahukan jenisnya kepada publik, seperti Dense Inert Metal Explosive (DIME). Dr Mads Gilbert, anggota tim relawan medis Norwegia yang bekerja di Gaza, mengungkapkan kemungkinan itu dengan melihat korban-korban ledakan dari pihak Palestina (Republika, 14 Januari 2009).
Lantas mengapa Amerika Serikat begitu getol membela Israel? Bahkan menurut Marjorie Cohn, Direktur Pusat Studi Timur Tengah Universitas San Francisco, Amerika melanggar hukumnya sendiri. AS memberi bantuan US$3 miliar per tahun kepada Israel. Dana pajak rakyat AS inilah yang digunakan Israel untuk membeli jet F-16 dan helikopter tempur Apache yang dipakai untuk menggempur Gaza sekarang.
Dalam konteks itu, sulit untuk mengatakan siapa memanfaatkan siapa, Amerika memanfaatkan Israel atau sebaliknya. Namun, dari pola itu kita bisa meyakini bahwa kedua belah pihak, Amerika dan Israel, sama-sama meneguk untung. Kita bisa membuat pengandaian kalau pihak Amerika lah yang memanfaatkan Israel. Misal, dengan cara ini Amerika bisa “membunuh” musuh-musuh politiknya dengan meminjam tangan negara lain. Sebaliknya, Israel meneguk keuntungan, sumber daya perang bisa ia peroleh dengan leluasa dalam akses tak terbatas. Keduanya sama-sama untung.
Sejenak kita tinggalkan Barat dan beralih ke Timur. Baru-baru ini dunia Arab di landa bingung, pasalnya, Mufti Besar Arab Saudi, Syeikh Abdul Azis bin Abdullah Alusyeikh mengeluarkan fatwa tentang haramnya unjuk rasa anti-Zionis. Sebelumnya, Ketua Dewan Tinggi Peradilan Arab Saudi, Syeikh Sholeh al-Lahidan juga mengklaim bahwa keikutsertaan dalam aksi unjuk rasa akan melupakan orang dari mengingat Allah (12 Januari 2009). Di tengah-tengah masalah Israel-Palestina yang meruncing, tentu saja keluarnya fatwa tersebut menyulut berbagai pandangan miring terhadap otoritas keagamaan di negara kerajaan itu.
Fatwa tersebut bisa kita baca sebagai proses mistifikasi untuk meredam konflik yang secara obyektif tidak bisa dibenarkan. Lantas mengapa otoritas Arab Saudi seberani itu mengambil sikap kontroversial dengan mengeluarkan fatwa larangan unjuk rasa anti-Israel?
Dalam tesis S2-nya di UGM (1998), Sidik Jatmiko dengan baik membuktikan bahwa Amerika mempunyai klik khusus dengan Arab Saudi. Klik-klik politik ini bermuara pada tiga hal; Pertama, keduanya anti komunis dan anti gerakan-gerakan radikal revolusioner. Kedua, keduanya menginginkan stabilitas dan keamanan di kawasan teluk. Ketiga, kedunya menginginkan kontinuitas mengalirnya minyak Teluk dari negara-negara Arab ke Barat yang mendatangkan keuntungan bagi penjual (Arab Saudi) dan pembeli (Amerika Serikat).
Kepentingan ekonomi dan wilayah menjadi fokus politik internasional dua negara. Amerika membutuhkan pasokan minyak. Arab Saudi membutuhkan pasokan senjata serta perlindungan keamanan dari Amerika. Lebih jauh, Arab Saudi juga membutuhkan pengawalan untuk mengamankan sistem kerajaan di negaranya, di tengah-tengah gelombang demokrasi yang menyeruak dimana-mana.
Terkait masalah senjata, data tahun 1950-1987, Arab Saudi menempati posisi pertama dengan tingkat konsumsi persenjataan sampai 30 milyar US $. Sedang Israel persis di bawahnya, menembus angka 12 milyar US $. Menyusul kemudian Mesir, 11 milyar US $. Negara-negara Timur Tengah lainnya berada pada angka 8 milyar US $. Dengan melihat data ini, tak heran kalau otoritas keagamaan Arab Saudi berani mengambil sikap sekontroversial itu.
Konflik Israel – Palestina
Dengan mengggunakan frame di atas, saya ingin mengajukan pandangan bahwa agresi Israel ke Palestina sekarang ini lebih disebabkan perdagangan senjata Amerika. Bagaimana sekenario itu bekerja? Beberapa bulan terakhir kita mendapati krisis keuangan global. Pemicu krisis ini dari sektor kredit perumahan di Amerika. Disusul kemudian ambruknya Lehman Brothers sebagai lembaga keuangan swasta besar di Amerika.
Dalam kondisi terpuruk itu, Amerika tentu saja membutuhkan dana segar untuk disuntikan langsung ke jantung ekonomi makronya. Selain dari pinjaman luar negeri, perdagangan senjata nampaknya menjadi cara yang paling cepat untuk memperoleh dana itu. Dalam politik ekonomi Amerika, ada istilah Military Industrial Complex (MIC) yang merupakan lobi-lobi pengusaha level atas. Pada tahun 1992, MIC di Amerika memasok tak kurang dari 56,8% perdagangan senjata internasional. Dengan eskalasi konflik yang semakin meruncing, tentu saja prosentase itu itu akan mengikuti.
Dengan data yang ditemukan Sidik Jatmiko, pada rentang tahun 1950-1987 terungkap bahwa tingkat penjualan senjata Amerika ke Timur Tengah mencapai 65 milyar US $.
Angka itu belum termasuk penjualan senjata ke negara-negara selain Timur Tengah. Sidik Jatmiko dalam tesisnya juga memuat data anggaran pertahanan AS tahun 1990. Di sana tercatat 249.149 juta dolar. Sedang negara lain, seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan Israel, berturut-turut, 19 juta dolar, 18 juta dolar, 16 juta dolar, dan 3 juta dolar. Tabel pertahanan dan tingkat penjualan senjata itu menemukan kesejajaran.
Kesejajaran yang lain, rentang tahun 1950-1987, dimana tingkat penjualan senjata ke Timur Tengah meningkat, ada beberapa fakta sejarah yang tidak boleh kita lupakan. Sejak tahun 1948 paling tidak terjadi tujuh perang skala besar, yakni; Perang Arab – Israel tahun 1948, Perang Yom Kippur 1973, Perang Suez 1956, Invansi Enam Hari Israel 1948, Perang Irak-Iran, 1980-1988, Invansi Israel ke Libanon 1982, Perang Koalisi Barat menyerang Irak 1990. Masih menurut Jatmiko, daftar itu masih panjang dengan memasukan berbagai perang kecil; serangan Israel ke reaktor nuklir Irak di Osirak, konflik Yaman, konflik perbatasan Mesir – Sudan, konflik Arab – Yaman, konflik Israel – Palestina, dan lain-lain.
Dengan menjadi “pengasong perang” Amerika memperoleh keuntungan ekonomi yang luar biasa besarnya. Di sisi lain, Israel melalui basis-basis ekonomi dunianya, korporasi multinasional dan transnasional, merupakan negara kecil—dengan penduduk 15 juta jiwa—yang mampu mengakses berbagai produk senjata buatan Amerika. Pada titik inilah simbiosis mutualisme terjadi. Sehingga bisa kita baca mengapa agresi militer Israel ke Palestina ini muncul di akhir masa kepemimpinan Bush. New York Times mengutip sejumlah pakar Timur Tengah yang yakin bahwa serangan Israel kali ini sebagai “aji mumpung” Bush masih duduk di Gedung Putih. Aji mumpung ini juga terbaca saat Israel berencana menyerang instalasi nuklir sipil di Iran (Republika, 14 Januari 2009). Wacana penyerangan ini menurut sebagian pejabat tinggi Pentagon sudah ada 15 bulan yang lalu. Namun rencana urung lantaran Bush tak merestui, khawatir eskalasi konflik akan meluas dan tak terkontrol.
Psikologis Israel – Yahudi
Konflik Israel – Palestina menjadi kita kompleks dengan adanya legitimasi dari agama. Dalam kacamata Yahudi, mereka harus merebut kota Yerusalem guna mendirikan The Solomon Temple. Janji eskatologis ini terkait kejayaan bangsa Yahudi saat kuil Sulaiman mampu mereka dirikan. Sedangkan pada sisi lain, Islam mempunyai keterikatan sejarah dimana Masjid Aqsa terletak di sana. Kita ketahui, Masjid Aqsa merupakan kiblat (sholat) pertama umat Islam sebelum dirubah ke arah Ka’bah di Mekah. Tak hanya Islam, Kristen juga memiliki ikatan sejarah, yakni Bethlehem, dimana Yesus atau Nabi Isa dilahirkan.
Dalam konsepsi Islam, mengutip Faiz Husaini, bahwa Yahudi suka membuat kerusakan di muka bumi dengan melakukan perang dan sejenisnya. Pada akhir ayat (QS 5:64), Allah menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi akan selalu berbuat kerusakan di muka bumi, dalam ayat ini digunakan fi’il mudlari’ pada kata yas’auna, dalam ilmu balaghah penggunaan kalimat yang berbentuk mudlari’ memiliki arti istimrâr (terus menerus/berkelanjutan). Dengan tafsir bahkan penelusuran semantik itu, Husaini membaca kalau perilaku destruktif Yahudi memang sesuai dengan nash al Quran. Permasalahannya, mengapa saat ini hanya Yahudi saja yang bertindak brutal seperti itu, bukan bangsa yang lain?
Kita ingat bahwa masa lalu Yahudi penuh dengan penistaan. Kamp pembantaian Nazi di masa Hitler merupakan sejarah kelam yang menimbulkan trauma sejarah tersendiri. Bangsa Yahudi sedemikian rupa diinjak-injak dan dinistakan. Sehingga, saat ia menemukan momentum yang tepat, maka balas dendam atas tragedi masa lalu itu bisa kita pahami—bukan kita maklumi!
Kondisi psikologis yang inferior itu menjadi kian tebal ketika agama-agama besar lainnya, Islam dan Kristen, senantiasa membencinya. Proses ini selalu berlanjut dari generasi ke generasi sebagai proses transmisi nilai keagamaan. Di sisi lain, jumlah penduduk yang hanya 15 juta, membuat mereka semakin dipenuhi kecurigaan saat hidup di tengah-tengah bangsa dan agama lain yang senantiasa membencinya. Dalam konteks psikologis seperti inilah, sistem pertahanan diri merupakan fokus dari pembangunan negara.
Tragika Kemanusiaan
Dengan berbagai penelusuran di atas, kita bisa memahami (bukan memaklumi) berbagai unsur yang terlibat dalam konflik Israel – Palestina. Konflik itu tak hanya sekedar persoalan wilayah, kedaulatan, agama, melainkan juga ekonomi dan politik. Berbagai unsur ini bertali kelindan membentuk anyaman yang kompleks. Namun yang jelas, sekompleks apapun anyaman itu berujung pada penistaan manusia serta berbagai nilai-nilai mulia lainnya.
Menurut Amnesty International per 7 Januari 2009, agresi militer Israel ke Palestina (Gaza) telah menewaskan lebih dari 700 dan melukai sekitar 3.000 orang penduduk sipil. Bahkan di berbagai media massa, nasional dan internasional, kita bisa melihat dimana anak-anak, ibu, perempuan serta manula juga menjadi korban dari serangan itu. Dalam konteks etika perang, Israel telah melakukan pelanggaran HAM berat.
Dalam konteks inilah, berbagai tindakan Israel dan negara-negara pendukungnya, tidak bisa dibenarkan, demi kemanusiaan. Konflik yang berkepanjangan ini hanya akan membuat tata dunia menjadi kian penuh prasangka. Dampaknya, masing-masing negara akan berlomba mempersenjatai diri dan siap saling menyerang satu sama lain.
Homo homini lupus akan menjadi ironi yang sangat-sangat hiperbolis (berlebihan). Abad dimana nilai kemanusiaan disuarakan dan dijunjung tinggi, abad dimana perdamaian dunia serta berbagai bentuk penjajahan tak bisa dibenarkan, justru jauh dari berbagai propaganda suci itu.
Atas nama apapun, saya yakin kita semua mengutuk agresi Israel ke Palestina. Tak hanya kita, tak kurang dari 1000 warga Yahudi di Amerika ternyata juga mengutuk tindakan brutal nan biadab itu. Artinya, optimisme tentang nilai dan arti perdamaian itu masih menjadi keniscayaan di dunia. Mengingat, secara fitrah manusia tercipta tidak dibekali dengan sistem pertahanan atau persenjataan (bedakan dengan hewan yang dibekali sistem persenjataan berupa racun, bisa, tentakel, dan sebagainya), artinya secara fitrah setiap manusia senantiasa menolak segala bentuk kekerasan dan penindasan. Di sisi lain, setiap manusia memiliki fitrah untuk hidup dalam kerukunan. []
* Tulisan ini disusun dari berbagai sumber; buku, artikel, koran, dan lainnya.
Tulisan ini juga dimuat di http://we-press.com dan http://bahureksa.web.id
1 comments :
Hi,I love this site. I have put your link in mine. Put mine too, please. Thanx.
Posting Komentar