Ill Feel
Oleh: Firdaus Putra A.
Malam itu (10/2) sehabis pulang dari kampus ekonomi, saya mengisi perut di warung hik pertigaan Jl. Madrani. Ada seorang laki-laki yang sedang menikmati rokok. Dan saat saya datang, ada seorang perempuan (mungkin 20an tahun) yang sedang menerima telepon. Di sebelahnya ada seorang laki-laki yang nampak menunggu si perempuan. Ia duduk di jok motor, bukan di bangku panjang.
Saya makan sebungkus nasi kucing berikut mendoan. Sembari ngobrol dengan si pemilik, saya sruput jahe susu panas. Beberapa saat si perempuan ngobrol dengan si laki-laki di atas motor. Sedang membahas pacar yang tak mau diputus. Ia bercerita, meski pelan, namun saya tetap bisa mendengar dengan jelas. Tak berapa lama, si pemilik warung menawarkan, “Ta LA masih ada neh”. Entah Ita, Nita, atau Mita, perempuan itu disapa pemilik warung. Dia hanya menjawab, “Enggak lah beh (mungkin babeh maksudnya) jangan rokok ah”.
Tak berapa lama, perempuan itu memanggil sepasang lelaki yang berkendara melintas depan warung. Ia sedikit berteriak. Suaranya agak keras. Ya, keras. Sepasang lelaki itu berhenti dan memenuhi panggilan si perempuan. Mereka berdua duduk di bangku panjang. Satunya memesan es teh, dan satunya tidak.
Lantas si perempuan membuka obrol. “Tau gak, tadi aku putusin cowokku. Terus dia SMS gini. Neh baca sendiri”. Yang dituju tak mau (atau ogah-ogahan) untuk membaca SMS itu. “Ya udah, aku bacain”. Perempuan itu membaca SMS itu dengan keras, maksudnya dengan suara yang saya yakin orang yang berada di kanan-kiri-depan-belakangnya mendengar. Saya pun, mendengar, saya berada di sisi kanannya. SMS itu tentang permintaan maaf dari pacarnya dan penegasan tentang betapa sayangnya pada si perempuan. Sedang si perempuan, membaca SMS itu sembari tertawa lepas. Lelaki di depannya juga tertawa.
Di sisi kirinya, lelaki di atas motor hanya duduk manis, diam, dan memainkan jarinya di atas HP. Saya yakin ia mendengar. Namun, ia hanya berdiam diri. Tidak berkomentar. Juga tidak bertanya. Sedang perempuan itu, dengan kaos seukuran tubuh kecilnya, sepatu olah raga berkaos kaki, tetap ketawa-ketiwi dengan si lelaki di depannya. Sesekali ia mencaci, “Entut lah ...”, dan lainnya. Ia tetap mengobrol dengan bahasa Indonesia dialek Banyumas pada lelaki di depannya. Sedang lelaki di atas motor, tetap saja duduk manis dan diam.
Menarasikan kejadian ini mungkin Anda akan mengklaim bahwa saya terlalu bias. Bias terhadap gender, tepatnya. Coba kita balik, apakah saya atau Anda akan merasa ill feel, bilamana kejadian seperti itu dilakukan oleh laki-laki? Ya, saya tetap akan merasa ill feel. Pasalnya, saat itu waktu sudah sangat larut, pukul 1.30 dini hari. Di sana (warung) ada pembeli di luar lingkaran pertemanan mereka, yakni saya. Dan satu hal lagi, bagi saya begitu vulgar membeberkan masalah pribadi di ruang publik. Ya, warung itu adalah ruang publik/ ruang bersama.
Saya duduk manis dan diam seperti lelaki di atas motor. Saya hanya bisa mendengarkan orang (untuk menukarbalikkan jenis kelamin, yang bisa diisi laki-laki atau perempuan) yang dengan begitu percaya dirinya tertawa ngakak dan dari mulutnya keluar aneka cacian. Telinga saya terasa tak nyaman duduk di sisi kanan orang tersebut. Mata saya juga tak nyaman memandang orang tersebut “mencampakkan” orang (sekali lagi bisa ditukar balik) di atas motor yang duduk manis dan diam.
Adakah pandangan saya bias gender, karena si orang adalah perempuan? Umpamakan iya, adakah menjadi benar atas nama kesetaraan gender atau feminisme, seorang perempuan tertawa terkekeh sembari mencaci di sembarang tempat? Saya rasa semuanya tidak dibenarkan. Karena, duduk permasalahan yang sedang saya bicarakan bukan soal “siapa” melainkan “apa” dan “dimana”.
Ya, saya sedang mempersoalkan tingkah orang (laki-perempuan) yang berada di tempat umum. Saya ill feel bukan karena orang tersebut perempuan. Saya ill feel, karena makan serta aktivitas rehat setelah makan saya menjadi tak nyaman dengan serapah, “Entut lah ...”. Anda tahu “entut”, ya itu bahasa Jawa untuk “kentut”. Saya tak nyaman dengan kekehnya yang tak kenal ruang-waktu.
Saya ill feel, bergegas saya hitung apa-apa yang saya makan. Saya siapkan kendaraan, dengan sepintas saya pandang laki-laki di atas motor. Ya, saya merasa iba padanya. Ia masih tetap duduk manis dan diam dengan jemarinya yang menari lincah di keypad HP-nya. Entah, apakah ia galau atau ill feel seperti saya, atau justru memaklumi karena meski “tercampakkan” ia masih berada di lingkaran pertemanan dengan perempuan itu. []
2 comments :
salam kenal bos
wah asyik tulisanya, bagus banget
ikut baca2 ya
thanks
pergeseran nilai memang seperti wabah, sekarang ini. Tidak ada batasan gender, dimensi ruang dan waktu. Tinggal individunya sekarang, gimana menyikapi itu semua. Mengikuti arus, atau mempertahankan keluhuran yang ada selama ini.
Salam kenal....
Posting Komentar