Riset dan Hipnotis


Oleh: Firdaus Putra A.

Kadang saya berpikir jahil. Misal, bukankah apa yang dikehendaki dari riset lapangan adalah sebuah jawaban yang jujur? Dengan jawaban jujur dari responden ini, maka realitas bisa terbaca dan terpetakan secara utuh. Jawaban jujur dari responden menjadi basis fundamen dari sebuah riset itu sendiri. Dalam rangka memperoleh jawaban-jawaban itu, disusunlah sebuah metode riset yang ketat. Ada uji validitas dengan berbagai cara; sumber, metode, peneliti. Atau triangulasi dari berbagai segi atau momentum.

Riset kurang-lebihnya nampak sebagai cara untuk “menginterogasi” dalam rangka memperoleh pengetahuan yang benar. Nah, pikiran jahil saya bermula dari hal itu. Jika benar riset dalam rangka memperoleh pengetahuan yang benar dari jawaban-jawaban responden, mengapa tidak digunakan saja pendekatan hipnotis.

Saya belum pernah merasakan dihipnotis. Hanya saja, menurut berbagai informasi seseorang yang dihipnotis dengan sendirinya akan berkata jujur. Apa-apa yang ada di alam pra-sadar bahkan bawah sadarnya, akan ia katakan secara jujur tanpa ada manipulasi. Yang bersangkutan tak dapat memanipulasi jawaban karena ia dalam keadaan tak sadar. Namun poinnya, apa-apa yang ia sampaikan adalah sebentuk kejujuran.

Saya pikir melakukan riset dengan menggunakan pendekatan hipnotis akan efektif dan efisien. Teknisnya, seorang peneliti secara tiba-tiba (model shock) atau persetujuan responden menghipnotis responden tersebut. Sehabis ia “tak sadarkan diri” barulah wawancara dengan banyak pertanyaan diajukan. Dijamin, pastilah si responden akan menjawab dari A-Z dengan penuh kejujuran.

Pendekatan ini juga bisa digunakan oleh kepolisian saat menginterogasi tersangka. Daripada repot-repot mereka memukul, menempeleng, menendang, dan bentuk “latihan fisik” lainnya, hanya dengan hipnotis, semuanya bisa diketahui dengan mudah, murah, dan cepat. Selain itu, polisi terbebas dari “dosa” karena tetap mengindahkan martabat manusia.

Dalam konteks interogasi polisi sudah sedemikian cerdas. Dengan lie detector mereka bisa mengetahui apakah jawaban yang diberikan tersangka benar-jujur atau salah-bohong. Lie detector ini sampai batas tertentu menjamin dapat menyaring pernyataan-pernyataan yang benar atau bohong.

Nah, kalau memang soal ketaksadaran saat hipnotis terjadi yang ditolak oleh riset, mengapa komunitas ilmiah tidak meminjam saja pendekatan kepolisian. Gunakan saja lie detector saat wawancara dengan responden. Ketika pertanyaan, “Berapa penghasilan keluarga Anda?” lie detector akan mencicit tanda jawaban itu bohong. Jawaban menjadi valid seluruhnya tanpa repot-repot melakukan triangulasi.

Lalu kalau tetap pendekatan ini ditolak, sebenarnya pendekatan seperti apa yang ditempuh oleh riset? Apakah tak boleh ilmu pengetahuan berangkat dari keraguan? Pasalnya, menggunakan hipnotis atau lie detector sama-sama berangkat dari asumsi bahwa responden mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memanipulasi jawaban. Apakah asumsi keraguan ini tak boleh dinyatakan dalam rangka ilmiah? []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :