Sawang-sinawang


Oleh: Firdaus Putra A.

Frasa ini saya peroleh dari seorang teller salah satu bank di Purwokerto. Saat itu saya sedang mengantri beserta puluhan mahasiswa lainnya untuk membayar SPP. Hari itu tanggal 3 Januari adalah H-1 mendekati masa akhir pembayaran. Selebihnya, terhitung tanggal 5 Januari, mahasiswa akan dikenakan denda sebesar 0,3% dari besaran SPP. Tak heran hari itu antrian panjang seperti enam bulan-enam bulan yang lalu. Itulah momen tak menyenangkan yang senantiasa disesaki mahasiswa, termasuk saya. Anehnya, tetap saja sebagian besar mahasiswa memilih membayar di akhir jatuh tempo sebelum pengenaan denda. Padahal masa pembayaran SPP biasanya dibuka selama satu bulan penuh.

Siang itu saya datang pukul satu siang sehabis waktu istirahat. Saya tumpuk Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) di atas tumpukan lainnya. Tumpukan KTM saya taksir setinggi lima sampai tujuh senti. Dari pada borring, saya tinggalkan antrian untuk makan siang dan nongkrong sejenak di Warteg depan kampus FISIP.

Kurang-lebih pukul setengah tiga saya kembali ke bank. Tetap saja, antrian masih membludak. Kurang lebih 50-70 mahasiswa masih memenuhi ruangan. Di pojok-pojok dan pinggir jendela, mahasiwa merokok dengan santainya tanpa menghiraukan sirkulasi udara nan sesak. Ada tiga kipas angin menyala, berputar, membagikan udara bergerak ke sela-sela antrian. Sebagian yang lain sibuk dengan ponselnya masing-masing. Dan sisanya, sibuk dengan teman sebelahnya atau pacarnya.

Selang sepuluh menit, nama saya dipanggil. Saya ambil kursi di depan teller lelaki. Wajahnya terlihat lelah. Matanya terlihat sayu. Dan sembari menunggu komputer menemukan data tagihan, saya sentil si teller. “Capek ya pak?” Sembari mengangkat bahu dan menggerakkan anggota badan bagian atasnya, si teller menjawab, “Iya. Sudah dari tadi pagi”. Saya sambung, “Tapi kan kompensasinya sesuai pak”. Si teller dengan pelan namun jelas, “Ya mas, hidup itu kan sekedar sawang-sinawang”.


Ya, pernyataan yang saya ajukan memang berangkat dari asumsi, bekerja di sebuah bank tentu saja menyenangkan. Duduk di depan meja kerja. Dengan sedikit tenaga memencet tombol ini-itu keyboard komputer. Atau memegang pulpen dan menorehkan parafnya di atas bukti pembayaran. Itupun, biasanya paraf teller-teller bank sekenanya. Bukan tanda tangan panjang nan nyeni.

Namun bisa jadi asumsi yang saya bangun salah adanya. Hidup sekedar sawang-sinawang, hanya saling melihat. Saya, yang seorang mahasiswa, menganggap teller bank adalah kerja yang enak dengan kompensasi yang menjanjikan. Sedang bagi si teller, ritual yang meski tak menguras energi bisa jadi sangat menjemukan. Ditambah dengan sedikit bergerak, pastilah susunan otot, tulang, dan persendian berasa ngilu dimana-mana.

Pernah juga saya temukan antrian yang cukup panjang di bank berbeda. Saat saya sedang dilayani, seorang teller perempuan mengusap dan memijit kening serta pelipis dahinya dengan serius. Saya sentil, “Capek mbak?”, teller perempuan itu tidak menjawab sebagaimana teller lelaki di atas. Ia dengan senyum ramahnya justru tetap dengan prosedur pelayanan nasabah, “Selamat siang, apa yang bisa saya bantu Pak?” Ya inilah jerat prosedural nan mekanistik. Di sana sapa dan canda memang tak berlaku. Ada batas, ada aturan, ada mekanisme jelas bagaimana teller menghadapi nasabah.

Pernah juga sekali waktu saya ingin memancing mereka untuk tertawa atau tersenyum dengan alami. Di kantor cabang bank berbeda lagi, saya dan pacar saya turut meliuk-liukan badan mengikuti alur garis antrian yang berwarna biru. Garis itu di tata sedemikian rupa bagaikan leter L yang sambung-menyambung. Sampai di depan meja teller, saya sentil, “Eh kayak ular tangga ya”. Lontaran joke itu kembali lagi disambut dengan prosedur ketat a la bank, “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu Pak?” Dan berhentilah saya untuk menyuguhkan sedikit kekonyolan.

Dalam atmosfir seperti itu frasa “hidup sekedar sawang-sinawang” menjadi mudah dipahami. Ya, kita hanya saling melihat dan selanjutnya menganggap kesenangan hidup berada di orang lain. Sedang bagi yang bersangkutan, bisa jadi kehidupan orang lain lah yang dianggapnya menyenangkan. Begitu seterusnya.

Pernah juga saya chat dengan seorang teman, perempuan. Dia seorang TKW di Hongkong sembari kuliah di jurusan Manajemen Informatika di salah satu universitas di sana. Saya celetuk, “Seneng ya bisa ke luar negeri. Saya pingin lho. Tapi sampai saat ini keluar Jawa saja hanya ke Bali”. Si teman menjawab, “Eh saya juga sudah pernah ke Singapore, China, tapi tidak sesenang itu. Kalau kamu tahu, hidup di negara orang itu tidak enak”. Saya belum menyelidik apa tidak enaknya hidup di negara orang. Namun yang pasti, sekali lagi, semuanya sekedar anggapan saya tentang kesenangan kehidupan orang lain.

Dan pernah sekali waktu saya berimajinasi, mungkin begitu senangnya seorang SBY yang duduk di Istana Merdeka. Lihatlah, seluruh fasilitas tersedia dan langsung bisa diakses. Mulai dari makanan yang higienis, bergizi dan dengan cita rasa VIP. Pakaian yang pasti halus dan selalu rapih. Mobil dinas yang pasti dingin oleh AC dan berkaca anti peluru. Dan berbagai fasilitas lainnya yang pasti memikat semua orang.

Namun, seumpama bisa bertanya langsung ke SBY atau presiden lainnya, sebenarnya apakah ia menikmati segala tetek-bengek itu? Bisa jadi, ya sekali lagi imajinasi, seorang presiden justru menganggap bahwa petani di pojok desa tertentu adalah orang yang bahagia di dunia. Ya, lihatlah hidup petani, ia begitu alami, tanpa beban harus berpikir mengelola negara Indonesia yang terdiri 17.000 pulau. Hidup dalam kesahajaan dengan rutinitas nan mengalir dan seterusnya.

Ya, sekali lagi inilah citra hidup manusia. Kita hanya sekedar mengklaim bahwa hidup si Fulan atau Fulanah enak. Bagi si Fulan dan Fulanah, justru menilai kalau hidup si Zaid atau Zaidah lah yang menyenangkan. Lantas dimana letak hakiki kesenangan, kebahagiaan, dan ketercukupan itu? Apakah dalam konteks material-obyektifnya atau justru persoalan kesenangan, kebahagian dan ketercukupan itu terwujud dalam pemaknaan spiritual-subyektif individu yang bersangkutan? Atau mungkin dua-duanya? []

Note: Juga dimuat di http://we-press.com dan http://bahureksa.web.id
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 comments :

MUKIYO mengatakan...

Sawang sinawang tidak identik dengan rumput tetangga tampak lebih hijau.

Salam kenal.

el-ferda mengatakan...

makasih komentarnya.

kalau "sawang-sinawang" identik dengan "rumput tetangga lebih hijau" why not? karena masalahnya kan bukan pada rumput itu aslinya lebih hijau atau tidak. tetapi pada kesadaran reflektif kita untuk memaknai kehijauan rumput sendiri.

mennurut saya, makna kebahagiaan lebih pada dimensi spiritual-subyektif inidividual. meskipun saya tak menafikan ada faktor-faktor obyektif yang membuat orang lain bahagia, contoh sederhana, "siapa yang tidak ingin kaya atau punya uang?"