Tak Perlu Keliling Dunia


Dear Gita Gutawa,

Kapur putih yang pucat, terasa penuh warna.
Dan kelak ia enggan datang pun berpinang.
Kertas putih yang pudar, tertulis seribu kata.
Dan kuungkap semua yang sedang kurasa.
Dengarkanlah kata hatiku,
bahwa ku ingin untuk tetap di sini.
Tak perlulah aku keliling dunia, biarkan ku di sini.
Tak perlulah aku keliling dunia, karena ku tak mau jauh darimu.
Dunia boleh tertawa, melihat ku bahagia.
Walau di tempat yang kau anggap tak biasa.
Biarkanlah aku bernyanyi, berlari, berputar, menari di sini.
Tak perlulah aku keliling dunia, karena kau di sini.
Tak perlulah aku keliling dunia, kaulah segalanya bagiku di dunia.


Sahabatku Gita, pandanganmu masih saja sama seperti beberapa tahun yang lalu. Kamu benar-benar sosok yang romantis. Kamu sangat pandai menghayati masa lalu. Namun, Gita apakah kamu yakin akan senantiasa hidup dalam lingkaran itu?

Gita yang baik, hari ini aku juga kamu hidup di zaman yang oleh para Sosiolog sebut era modern. Masa dimana bumi semakin menyempit dan waktu semakin cepat. Di masa ini, negeri kita, Indonesia, bisa terhubung ke negeri-negeri lain hanya dalam hitungan detik. Ke depan kamu akan melihat apa yang oleh para pemikir bilang sebagai “global village”. Ya, ternyata hidup kita bertetangga dengan Malaysia, Inggris, Belanda, Kuba, Saudi Arabia, Jepang, dan banyak negara lainnya. Kita hidup berdampingan bersama mereka, dalam makna sebenarnya dan seutuhnya.

Dalam kehidupan bersama itu, pertukaran berbagai hal menjadi niscaya. Mulai dari yang kasat mata; teknologi, barang, jasa, dan lain sebagainya, juga yang tak kasat mata; kebudayaan, nilai, pandangan, dan seterusnya bisa saling bertukar. Ya benar, seperti kita saling bertukar ide, gagasan, pandangan melalui surat ini. Komunikasi di antara kita inilah yang membuat persahabatan menjadi langgeng.

Kamu masih ingat, dulu kamu sempat marah saat surat-suratku tak bisa kamu terima lantaran Tsunami menyapu Aceh? Kamu mengira aku telah melupakanmu. Kamu mengira aku memutuskan tali persahabatan kita. Kamu mengira aku sudah muak dengan nyanyian juga tarianmu itu. Kamu ingat, bukan? Dan ternyata semua dugaanmu salah.

Gita, itulah pentingnya komunikasi. Tidak berbeda dengan kita berdua, di kampung global atau “global village”, juga diperlukan komunikasi satu sama lain. Agar prasangka, curiga, standar ganda, dan sebagainya bisa terkikis dan lebur. Gita, tenang saja aku tak melupakan masa lalu negeri ini. Aku ingat siapa Belanda dan aku sebagai putra Indonesia. Aku ingat ia pernah menjajah tanah air kita selama ratusan tahun. Aku masih ingat cerita kakekmu di Aceh Besar. Namun, bumi terus berputar, waktu terus berjalan, dan sejarah terus berubah. Film Nagabonar mungkin menarik bagi pembangkit nasionalisme-patriotisme kita. Akan tetapi apakah dalam Bumi yang satu kita saling menegasikan satu sama lain?

Gita, sejarah adalah sejarah, ia masa lalu! Kita anak zaman modern yang tak mungkin menutup diri. Sekalipun pada bangsa yang pernah menyakiti kita. Itu terjadi di masa lalu, oleh rezim yang lalu pula. Sedangkan aku, kamu dan lainnya, hidup di masa yang sama sekali berbeda. Masa dimana nilai-nilai kemanusiaan, kerjasama, serta nilai-nilai mulia lainnya begitu dijunjung tinggi.

Sebagai penerus negeri ini, kita perlu memaknai ulang nasionalisme-patriotisme dalam konteks global. Dalam “global community” ini perlu kita insyafi bahwa kita saling bergantung satu sama lain. Tidak ada satu individu pun yang mampu hidup soliter. Begitupun negeri ini. Ia harus solider terhadap yang lain.

Gita tak perlulah kamu berburuk sangka padaku. Aku masihlah putra Indonesia, sepertimu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa cara berpikir kita sesekali perlu digeser. Beasiswa studi di Belanda ini aku rasa bisa bermanfaat bagiku, bagi Indonesia, dan bagi dunia ini. Aku bisa mengenal anak-cucu para penjajah. Dan mereka akhirnya mengenal anak-cucu bangsa terjajah. Dari proses dialog itu, standar ganda, kompleks rendah diri, dan lain sebagainya dapat berubah dan terhapus. Belanda bukan lagi superordinat dan kita subordinat. Ia dan kita menjadi setara.

Gita yang baik, dulu aku tinggalkan buku “Theorie des Kommunikativen Handelns” atau “Teori Tindakan Komunikatif” karya Jurgen Habermas di Aceh Besar. Kalau kamu sudah baca dua jilid buku itu, kamu akan menemukan syarat dimana proses dialog yang setara itu menjadi mungkin. Ya, masing-masing kita harus benar dalam menyampaikan pesan. Benar dalam pengertian apa yang kita sampaikan tidak berbeda dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Kita juga harus menyampaikan pesan itu dengan jelas. Syarat ini hanya mungkin terlaksana jika satu sama lain memahami bahasa, konteks bahasa, dan seterusnya yang digunakan dalam dialog itu. Dan syarat terakhir, kita harus jujur dalam melakukan dialog itu.

Di awal aplikasi beasiswa tersebut aku sudah membaca dengan cermat “term and conditions” yang harus dan tidak boleh dilakukan. Di sana lalu lintas informasi juga berjalan secara terbuka. Aku rasa sampai titik ini, aku belum menemukan suatu hal yang menyimpang. Sehingga aku tak berkeberatan bila esok aku meninggalkan Indonesia.

Gita sahabatku tercinta, doakan aku agar memperoleh beasiswa ini. Dan tetaplah yakin, aku akan selalu mengingatmu dan menghubungimu. Mungkin kita berbeda, tapi semoga perbedaan ini tak membuat persahabatan kita hancur. Gita, aku perlu keliling dunia. Beasiswa ini menurutku adalah ticket to a global community. Ku tunggu selalu surat balasanmu. Miss you! []

Purwokerto, 28 Maret 2009

Temanmu tercinta,


Firdaus Putra A.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

10 comments :

eljudge mengatakan...

Siiip menang dech... kompetisi ke Belandanya...

saingan ma Jajang dunkz...

Rame nih...!

MzFer, jadilah Gita di Negeri Orang nanti yeah...

Vicky Mahendra mengatakan...

wah ikutan beasiswa kebelanda ya
good luck semoga menang.
komment balasaan ya?

Herhar mengatakan...

Dapet beasiswa ke belanda ya..?
Wah selamat ya.. manfaatin dengan sebaik-baiknya karena kesempatan belum tentu datang 2 kali.
Memang terkadang berat untuk meninggalkan orang terdekat yang kita kasihi tapi kan cuma sementara, yang penting tetap jalin komunikasi, jaman sekarang udah canggih dalam hitungan detik kita bisa berkomunikasi dengan orang di belahan bumi yang lain.

Semangat ya..!!!

Anonim mengatakan...

wah keren..ke blanda jangan lupa oleh2nya ya...firdaus putra pasti menang niy..
oia bawain terong belanda ya..hehehe

Anonim mengatakan...

keren mazz,,,
stuju deh,,,,
kita mank perlu keliling dunia,,jangan hanya karna terpaku pada masa lampau sejarah bangsa,kita menutup segala dari dunia luar..
jiwa terbuka,adalah jiwa yg cukup dicari pada remaja saat ini..
smangad y maz!!!!
u can do it,,,klow jadiii tititp bule belanda y maz,,heheheh

Anonim mengatakan...

Belanda, negeri yang menarik memang sebuah kesempatan yang tak datang kedua kalinya untuk mengunjungi negara yang akrab disapa "negeri kincir angin" tersebut terlebih lagi kita pernah memiliki sejarah panjang dengan negara Ratu Beatrix itu...

Dilihat dari tulisanmu aku yakin kamu mempunyai kans buat ke Belanda, SELAMAT BERJUANG KAWAN...semoga kau mendapatkan pengalaman yang lebih, setidaknya lirik lagu dari penyanyi ternama Gita Gutawa bisa berubah dengan kau mengunjungi Belanda untuk pertama kalinya....GOOD LUCK

el-ferda mengatakan...

makasih yang dah pada komentar ... kalau bisa jangan anonim ya ... seumpama harus milih tag anonim, berilah nama di bawah tulisan anda. makasih sekali lagi.

Dimas Saputra mengatakan...

yah,selamat dos... semoga sukses. tulisannya cukup unik.. tapi hati² dengas proses cross cultural encounter (semoga bahasanya bener), karena kalo ga waspadai bisa jadi benturan antara budaya... heheheh ngaco ya? sukses.. kalo jadi berangkat, ati² tar DAM-nya pada jebol kaya situgintung.. ahahhah

Alih mengatakan...

Tulisan yang sangat tidak ringan. Membacanya membuat kerut-kerut di dahi tidak berhenti bergerak.
Sebenarnya usaha menyederhanakan tulisan dengan membuatnya seperti monolog dengan Gita sudah bagus, tapi sayangnya kaitan dengan tiap poin di tulisan tersebut jadi nggak jelas.
Kenapa Gita dihubungkan dengan Aceh? Gak dijelaskan apakah Gita yang dimaksud berasal dari Aceh.
Dan analogi-analogi lainnya, hampir semuanya terputus-putus dan sulit terdeteksi apa benang merahnya.
Itu dari struktur ya. Kalau dari isi, kemasan isu yang diangkat merupakan hal yang sudah menjadi common saat ini. Hari gini, ngomongin komunikasi global? Saat anak umur 5 tahun udah bisa internet-an? Dengan tulisan di Blog? Kayanya, maaf, sudah basi.
Beda ceritanya kalau justru mengangkat keterbelakangan masyarakat atau ketidaksiapan masyarakat tertentu menghadapi komunikasi global ini. Apa bahanya buat mereka, dan kenapa mereka bisa seperti itu.
Tapi satu yang patut dikasih jempol.
Tulisannya, isi dan struktur, khas Firdaus. Konsistensi yang gak semua orang punya.

Jefasta mengatakan...

wahhhh... kenal ma gita? salamin dunks... kangen ma dy.. jadi inget waktu gw jalan bedua ma dia di pinggir pantai pangandaran, di pegang tangan gw.. dan bilang... BANGUUUUUUNnnnnnn KUUUliah gak lo!!! tiba-tiba dalam sekejap dah ada di kost2an!!