Tetap Perlu Keliling Dunia
Dear, Sahabatku Gita
Aku sudah terima dan baca surat balasanmu. Aku yakin sesaat kamu terima suratku, kamu pasti langsung menjajagi tulisan peserta lain yang ikut program itu. Gita, aku memahami betul kekhawatiranmu. Ya, kamu pasti khawatir adanya sindrom “amnesia sejarah”, “rendah diri” dan “silau” pada negeri Belanda oleh peserta program. Aku pun berpikir sama. Dalam kajianku, Sosiologi, inilah mentalitas masyarakat poskolonial. Sebuah sikap masyarakat yang pernah mengalami penjajahan. Meski penjajahan itu sudah berakhir cukup lama, lebih dari 60 tahun yang lalu, namun bekas-bekasnya masih tersisa di relung-relung jiwa masyarakat. Dan ironisnya, seperti yang kamu tulis, sindrom itu lekat pada generasi kita, generasi yang sebenarnya tak mengalami sejarah kelam itu.
Tak perlulah aku keliling dunia, biarkan ku di sini.
Tak perlulah aku keliling dunia, karena ku tak mau jauh darimu.
Dunia boleh tertawa, melihat ku bahagia.
Walau di tempat yang kau anggap tak biasa.
Gita yang manis, aku memahami benar sindiran halusmu. Dengan baik kamu menyindirku untuk waspada terhadap sindrom bangsa poskolonial. Kamu tulis dengan nyata, “Dunia boleh tertawa, melihatku bahagia. Walau di tempat yang kau anggap tak biasa.” Aku sepakat denganmu, sindrom ini menyerang telak pada cara berpikir dan cara pandang masyarakat. Cara berpikir dan cara pandang kita menjadi silau Belanda. Jadilah kita pandang negeri kita, Indonesia dengan kaca mata Belanda. Indonesia yang adalah negara berkembang (“tak biasa”), dengan kaca mata Belanda (“biasa”) sebagai salah satu negeri yang mapan di Eropa sana. Padahal kedua negara itu mempunyai konteks sejarah yang sama sekali berbeda. Dan akhirnya menjadi sesuatu yang tak terbandingkan (uncomparable).
Gita, aku tahu kamu sedih membaca sebagian besar tulisan peserta yang lain mengeluk-elukkan negeri Belanda sembari sesekali mencibir Indonesia. Bahkan ada beberapa peserta yang terlihat mbelandani justru bukan ngindonesiani. Cara berpikir dan pandang ini ternyata tak jauh berbeda dengan kakek-nenek kita di masa kolonialisme. Henk Schulte, seorang dosen di University of Amsterdam, dalam bukunya Outward Appearance: Dressing, State and Society in Indonesia dengan baik memblejeti sikap mental ini, “Para pria Jawa sangat ingin menunjukan diri mereka di kalangan orang Belanda dengan mengadopsi berbagai perilaku Belanda”. Inilah bentuk sindrom “rendah diri” dan “silau” itu. Cara berpikir, pandang, bahkan sikap kita masih saja terbayang-bayangi oleh masa lalu yang pedas, sebagai bangsa inlander. Dan kamu ingat kan, pelajaran Sosiologi di SMA dulu kala dimana penduduk pribumi menjadi kelas terakhir dari tiga golongan yang ada; kulit putih, timur jauh, dan pribumi.
Andai saja kakekmu tahu pasti ia akan marah besar, kamu juga baca kan sedikit peserta yang mengupas sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Hanya dengan tawaran beasiswa itu, mereka terlihat “amnesia” pada sejarahnya sendiri. Memang betul, sejarah adalah masa lalu. Namun sama sekali melupakannya justru akan berakibat fatal. Ungkapan Soekarno yang dikutip kakekmu dulu, dengan mulut tuanya yang bergetar masih aku ingat, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” Meski sejarah itu telah berlalu, ada peristiwa yang sebenarnya berdampak hingga saat ini dan juga bagi generasi kita.
Dua tahun yang lalu, saat itu kamu tak bisa ikut, aku bertemu Revrisond Baswir di Yogyakarta. Dalam sebuah forum, dengan yakin ia mengungkapkan sejarah Indonesia yang sedikit orang mengetahuinya. Fakta historis itu ia temukan tak sengaja, saat ia mencari buku-buku tempo dulu di Taman Pintar Yogyakarta. Ia menemukan sebuah buku yang sudah lusuh yang dicetak tahun 1949-an. Buku itu adalah Hasil-hasil Konperensi Medja Bundar, Persidangan Umum Jang Kedua di Kota ‘S-Gravenhage. Pada halaman 38-40 tercatat hutang-hutang Belanda yang harus ditanggung Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai berikut;
Pasal 25, Jang mendjadi tanggungan Republik Indonesia Serikat (RIS) ialah:
A. Hutang bersifat geconsolideerd tersebut di bawah ini, terhitung pada tanggal 31 Desember 1949:
1). Hutang Hindia-Belanda 1935 dengan bunga 3½% [dikeluarkan karena Undang-undang Hutang Hindia-Belanda 1934] (Staatsblad no.558) jo. Undang-undang Conversielening Hindia-Belanda 1934 (Staatsblad no. 425), sebagai diubah dengan undang-undang 1 Nopember 1934 (Staatsblad no. 559). Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 £ 36 650 000 .--. Masih berdjalan 21 tahun.
2). Hutang Conversielening Hindia-Belanda 1937 dengan bunga 3% [dikeluarkan karena Undang-undang Conversielening Hindia-Belanda (Staatsblad no. 425)]. Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 £ 90 000 000.--. Masih berdjalan 18 tahun.
3). Hutang Hindia-Belanda 1937 A dengan bunga 3% [dikeluarkan karena Undang-undang Conversielening Hindia-Belanda (Staatsblad no. 904)]. Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 £ 616 250 000.--. Masih berdjalan 25 tahun.
4). Bagian Indonesia dalam Nationale Werkelijke Schuld Nederland 1896 dengan bunga 3% [Undang-undang 30 Desember 1895 (Staatsblad no. 236)]. Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 £ 3 300 000.--. Masih berdjalan 3 tahun.
5). Hutang Indonesia 1962-64 3% (persetudjuan tanggal 19 Mei/ 8 Djuni 1949) merupakan bagian Indonesia, dalam Hutang Negara Nederland 1938 3-3½%, jang dikoversi karena pasal 4, ajat 2 pada persetudjuan tanggal 8/14 April 1938. Hutang negara Nederland 1938 itu telah dikonversi karena Undang-undang Conversielening 1948 (Staatsblad no. I 115) dan Undang-undang Hutang 1946 (Staatsblad no. G 143), diubah dengan undang-undang tanggal 23 Nopember 1946 (Staatsblad no. G 333) dan tanggal 12 Pebruari 1948 (Staatsblad no. I 52). Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 £ 79 912 000.--; djumlah itu pada tanggal 1 Djuni 1964 harus dibajar lunas.
6). Hutang pada “Nederlandshe Bank” dan “Javasche Bank” dengan bunga 3% (perdjandjian 14 dan 16 Djanuari 1932, kemudian diubah pada tanggal 28 Desember 1932). Untuk hutang itu digadaikan “Nederlansche Schatkistbiljetten” jang disediakan kepada Indonesia karena undang-undang 25 Djuli 1932 (Staatsblad no. 393), kemudian diubah dengan undang-undang 15 Maret 1933 (Staatsblad no. 99). Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 £ 44 624 775.--. Masih berdjalan 13½ tahun.
B. Hutang kepada negeri asing, terhitung pada tanggal 31 Desember 1949:
1). Hutang kepada Export-Import Bank untuk Indonesia didalam lingkungan bantuan E.C.A. (perdjandjian 28 Oktober 1948). Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 U.S.$ 15 000 000.--. Masih berdjalan 24 tahun. Bunga 2½% mulai tanggal 30 Djuni 1952.
2). A line of credits granted by the United States Government to the Netherlands Indies Government for purchase of United States Surplus Property (persetudjuan 28 Mei 1947). Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 U.S.$ 62 550 412.--. Masih berdjalan 31½ tahun. Bunga 2%.
3). Hutang kepada Canada (persetudjuan 9 Oktober 1945). Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 Can.$ 15 452 118,21. Masih berdjalan 6 tahun. Bunga 2¼%.
4). Settlement between the Government of Australia and the Government of Indonesia (persetudjuan 17 Agustus 1949). Djumlah pada tanggal 31 Desember 1949 A. £ 8 500 000.--. Masih berdjalan 10 tahun. Tidak dengan bunga.C. Hutang-hutang kepada Kerajaan Belanda (tak perlu aku kutip).
D. Semua hutang dalam negeri Indonesia (juga tak perlu aku kutip).
Pasal 26
Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengakui bertanggung djawab membajar baik bunga maupun angsuran modal dari hutang tersebut pada pasal 25 dan, sekadar mengenai hutang tersebut pada C, memperoleh hak jang ditentukan pada persetudjuan jang ada.Bagaimana Git, apa kamu pernah tahu fakta historis itu? Ketika mengetahui fakta historis ini mungkin kamu akan semakin nyinyir saja melihatku ikut program beasiswa ini. Semoga saja panitia penyelenggara bisa memakluminya dengan paper yang aku ajukan ini.
Namun meski demikian Git, dengan berbagai batu bata argumentasi aku mengatakan bahwa aku, mungkin juga kamu, tetap perlu keliling dunia, ya salah satunya adalah ke negeri Belanda. Sikapku yang demikian ini aku sebut dengan “Romantisisme Kritis”. Aku akan jelaskan panjang-lebar setelah menerima surat balasanmu. Aku merindukanmu Git!
Purwokerto, 29 Maret 2009
Temanmu,
Firdaus Putra A.
12 comments :
bahasanya berat bgt ya...
tapi jadinya keren bgt...
ah jadi pengen nulis niy...hehe
tetap perlu keliling dunia?
dalam konteks tertentu, alangkah senangnya bisa melihat dunia yang membentang diluar Indonesia..
tapi kalo difikir-fikir,agak taku lho dos. takut, begitu sangat kagum dan menikmati neger diluar sana dan akhirnya lupa sama negeri sendiri.. yah... pilihan, dan kamu udah memilih untuk ikut program beasiswa ini, aku salut.
tulisannya lebih ringan dibanding yang pertama. lebih tersusun jelas maksudnya apa. Soal utang, hampir semua negara punya utang. bahkan AS yang negara adidaya juga punya utang.
Bahkan kalau negara disamakan dengan perusahaan, ada teori ekonomi yang bilang, perusahaan yang punya utang (dengan ratio tertentu) lebih sehat ketimbang perusahaan yang ga punya utang.
Utang gak selalu jelek. Kalau kita ngerjain proyek misalnya, dengan mendanai sebagian proyek dari utang, artinya kita juga berbagi risiko dengan pemberi utang. Karena biasanya dalam perjanjian utang, disebutkan bahwa jika ada risiko tertentu, maka itu akan menjadi tanggungan bersama. karena kalau untung pun nantinya jadi keuntungan bersama.
jadi utang gak melulu buruk. Masalahnya tinggal seberapa layak (perbandingan dengan kemampuan membayar) utang tersebut, digunakan untuk apa, dan pengawasannya gimana.
bahasanya
puisinya,,,excelent,,
dalam,,,,penuh makna,,,,
tapi,,isinya kok kayanya tentang dikau ya????
but,,,BRAVO!!!!
Dear Alih,
point of clarification. kasus hutang yang saya sebut dalam tulisan ini bukan hutang Indonesia terhadap Belanda. melainkan hutang-hutang Belanda yang harus ditanggung oleh Indonesia pada tahun itu. jadi Indonesia harus membayar hutangnya Belanda ke negara-negara atau lembaga lain.
makasih komentarnya teman-teman. nuwun.
Mungkin dengan ngadain beasiswa ini, Belanda pengen balas budi y dos...kayak Etis2 zaman dolo getu...^^
dengan baca bukupun kita serasa keliling dunia...
jadi gak perlu kan datang ke tempatnya langsung
mas mau keliling dunia? tar ade sama sapa disini.
ngga apa juga kalau menang, lumayan kan. tar bawain buna tulip buat ade ya....
kadang aku cemburu dengan untaian kata yg tertulis di blog ini. dia bisa menginspirasi kamu sebegitu besar sedangkan aku tidak.tak apa, itu membanggakan.
selamat jika bissa menang.
kabarkan pada gitamu.
salut buat keliling dunianya. sori aku baru buka web ini u/ pertama kalinya, so, boleh tanya nich.. mas ni ke belanda dalam ikut kompetisi atau apa?
sekarang banyak program-program kerjasama antar negara termasuk indonesia-belanda. tetapi tidak semua program kerjasama itu positip bagi negara kita. kalau kerjasama belajar baik selama tidak membelandakan indonesia, kalo kerjasa proyek baik selama tidak untuk memetakan mineral yang terkandung dalam perut bumi indonesia.
semua kerjasama itu harus untuk membantu masyarakat yang paling membutuhkan, misal program pemberdayaan masyarakat miskin, rawan bencana, atau apalah yang positip.
jangan ke luar negeri kalau hanya untuk menikmati keindahan alamnya doank...!!!!
Yang ngasih Beasiswa Belanda bukan C'?
jika iya, bisa dikata ini klarifikasi Sejarah. Seperti yang dilakukan NU kepada PKI.
Sejarah adalah yang lalu, yang akan menyejarah sekarang adalah "klarifikasi sejarah" yang dilakukan.
Btw, Kritis Romantis_mu sama ga ma Klarifikasi Seajarah?
Meskipun kritikan dari salah satu pengunjung tentang analogi tulisanmu yang melompat, namun harus diakui tulisanmu bagus banget mas, dahsyat dan salut. Semoga menang.
Posting Komentar