Golongan Putih
Oleh: Firdaus Putra A.
Beruntunglah klaim “Golongan Putih” (Golput). Ia tidak terkena logika oposisi biner. Justru, ia membalik logika itu. Putih menjadi tak sama dengan memilih. Hitam sama dengan tidak memilih. Namun, di tahap berikutnya, ia belum selamat. Oposisi biner masih saja beroperasi. Golput sama dengan tidak memilih-tidak mencontreng. Dan yang mencontreng, sama dengan memilih. Padahal, tidak memilih pun adalah pilihan. Itu semestinya.
Ia juga belum selamat, Golput sama dengan pengecut, juga pecundang. Golput menjadi segolongan yang berpangku tangan. Ia tak turut menentukan. Lagi-lagi ia tak selamat, menyontreng sama dengan warga negara yang baik. Golput adalah warga negara yang tak baik.
Itulah kontestasi wacana yang tengah diadu di ruang publik. Berbagai rasionalisasi mengalir deras, baik dari pro-Golput, lebih-lebih kontra-Golput. Tak kurang-kurang, otoritas agama bermain tangan dengan fatwa kontra-Golput. Golput menjadi segolongan yang “dihajar” dari sana-sini. Secara bersama-sama, berbagai wacana berbeda mempengaruhi orang untuk jauh-jauh dari Golput. Ia menjadi klaim yang minor.
Perang tanding wacana masih terus berjalan. Di penghujung 9 April, semuanya terjawab sudah. Diperkirakan angka Golput tinggi, 35-40%. Angka ini mengalahkan perolehan partai manapun. Partai Demokrat mengantongin 20%an, Partai Golkar dan PDI-P yang bersaing tipis, 14%an hanya beda koma, PKS dan PAN selisih dua angka, 8 dan 6%an. Disusul berikutnya PPP yang mengantongi 5%an. PKB merosot turun, hanya 5%an. Gerindra dan Hanura 4 dan 3%an. Dan suara lainnya masuk ke partai gurem dengan angka nol koma, sampai 2%an. Perhitungan cepat sudah menunjukan perolehan suara. Namun, belum ada yang melacak seberapa persen partisipasi warga negara dalam 9 April kemarin. Golput menjadi besar yang tak perhatikan.
Para komentator, pengamat politik, praktisi, para caleg, pejabat politik sibuk menata strategi. Komunikasi-komunikasi politik mulai dilakukan kesana kemari. Media berkali-kali mewartakan kemungkinan Demokrat menggandeng PKS sebagai partai pemenang. Sedang Golput, sekali lagi, terlupakan dalam peta politik itu.
Ada yang lupa atau sengaja melupakan keberadaannya. Mengapa ia ada? Mengapa ia angkanya justru tinggi di tengah Pemilu yang konon demokratis dengan sistem baru ini. Apakah Golput 9 April hanya masalah administratif? Atau mungkin titik jenuh masyarakat dengan hingar-bingar Pemilu 2009?
Beribu-ribu papan kampanye, poster, stiker, spanduk, berjejalan di ruang publik. Alun-alun kota, jalan protokol, gedung-gedung bertingkat, serta pohon di jalan menjadi tempat bercokolnya berbagai atribut kampanye. Setiap orang dianggap pernah melihat, membacanya, meski sepintas. Politik pencitraan calon digelar dimana-mana. Berduyun orang memandang dan menikmatinya. Tidak ada celah yang tak terjamah, kampanye masuk ke rumah-rumah melalui si kotak ajaib. Ia berbunyi, bernyanyi, dan berdemagog dengan berbagai janji dan serapah.
SBY mengelukan program BLT-nya. Mega mengkritiknya tajam. Prabowo menyoal alokasi APBN. Soetrisno merayu satu milyar satu desa. Golkar yang cinta produk Cibaduyut. PKS yang mengelukkan menteri pertaniannya. Berbagai taktik digunakan. Mulai dari bujuk rayu, sajian data, keramahtamahan yang tak biasa, atau justru emosionalitas ucapan keluar dari berbagai partai. Seturut kemudian, caleg-caleg daerah yang jumlahnya ratusan beramah-tamah dengan orang-orang di Dapil-nya. Semuanya berlangsung dengan ragam rupa dan cara. Namun, semuanya bermuara pada ujung yang sama, menggaet hati rakyat. Ratusan juta hingga milyaran rupiah keluar dalam belanja iklan dan kampanye. Menjelang 9 April perputaran uang sedemikian cepat dan besar.
Inilah ihwal politik pencitraan. Dengan biaya tertentu, seorang calon nampak religius, ramah, dan amanah. Caleg-caleg muda dan pemula nampak ahli dan berpengalaman. Ia lakukan demi mengabdi pada masyarakat dan Ibu Pertiwi. Oh, begitu mulia niatan itu. Dan, sungguh beruntunglah masyarakat Indonesia. Ratusan hingga ribuan caleg berhati mulia turun gunung untuk berkhidmat. Di atasnya, berbagai partai baru lahir atas nama demokrasi, perubahan, dan demi Indonesia.
Menjelang 9 April, tiba-tiba saja semua orang merasa perlu dan harus berbakti. Tak jarang ada yang meniatkannya untuk beribadah. Ibadah mengejar dan memenangkan amanah. Saking antuasiasnya, kertas suara berlebih beban. Ia lebih lebar dari bilik suara yang disediakan. Mata pemilih menjadi samar di antara jubelan nama yang bagus-bagus itu.
Artis, akademisi, kader muda, bahkan mahasiswa dan alumni pengangguran, menambah lebar kertas suara. Menurutnya ia mampu. Atau sekurang-kurangnya ia mau. Mau adalah keinginan. Dan keinginan tak paralel dengan kapasitas. Banyak orang yang ingin, ingin menikmati status sebagai anggota legislatif dengan gaji dan tunjangan sepuluh jutaan, bahkan lebih. Karena ingin dan merasa mampu, akhirnya mereka saling berlomba.
Sikap rakus mulai menyusup di antara keinginan dan niat berkhidmat. Setiap calon rumongso biso. Namun tak nampak yang biso ngrumongso, bahwa masyarakat tidak membutuhkan banyak hero. Hero yang dibangun dari politik pencitraan, bukan kapasitas politik.
Saya jengah melihat banyaknya partai dan caleg yang rumongso biso dan turut serta di 9 April. Makanya saya Golput. []
1 comments :
ntar kalo ayu jadi caleg jangan golput yah...hehheehehh
Posting Komentar