Sebelum Keliling Dunia


Dear Gita ...

Gita aku sudah menerima suratmu seminggu yang lalu. Hanya saja karena aktivitas yang cukup padat, aku belum selesai merumuskan jawaban yang tepat untukmu. Dan hari ini, tanggal 9 April 2009 saat seluruh masyarakat Indonesia tengah merayakan pesta demokrasi, aku punya waktu luang untuk berpikir. Setelah aku baca, ada dua hal yang bisa aku sarikan dari suratmu, pertama pertanyaanmu tentang “Romantisisme Kritis” dan terakhir tentang kesiapanku untuk ke Belanda.

Gita, seringkali kita sebagai masyarakat modern hidup dalam logika oposisi biner. Pada tanggal 9 April yang lalu, warga Indonesia yang baik adalah yang menyalurkan hak pilihnya. Dengan logika oposisi biner, maka yang tidak menyalurkan hak pilih menjadi warga negara yang tidak baik, kurang lebih seperti itu. Lihat saja, sebagian masyarakat mengecap Golongan Putih (Golput) sebagai orang yang pengecut atau pecundang. Padahal, kalau mau adil, tidak memilih pun merupakan pilihan. Dan sayangnya, logika seperti ini masih sulit diterima sebagian masyarakat kita.

Nah seperti itu pula dasar berpikir “Romantisisme Kritis”, ia mencoba menolak sistem berpikir oposisi biner. “Romantisisme Kritis” tidak berpikir dalam logika “hitam-putih” ia berpikir dalam logika yang melingkar. Dalam konteks ini, “Romantisisme Kritis” tidak berada pada posisi antipati terhadap Belanda karena sejarah masa lalu. Ia tidak menempatkan kehidupan masa kini dalam konteks masa lalu. Justru sebaliknya, ia tempatkan kehidupan masa lalu dalam konteks kekinian. Dalam kasus ini, bisa jadi program beasiswa merupakan salah satu pendekatan dalam rangka “menebus dosa”, kalau bisa dikatakan demikian, apa-apa yang telah Belanda lakukan di masa lalu.

Kemudian, “Romantisisme Kritis” juga bukan cara berpikir yang melupakan sejarah. Ia justru akan memblejeti apa-apa yang sudah terjadi di masa lalu. Kebenaran tetap perlu digali dan ditemukan. Misal, dalam kasus lain, cara berpikir ini tidak akan dengan mudah mengatakan “Maafkan Soeharto, karena ia adalah Bapak Pembangunan”. Jauh sebelum memaafkan atau tidak memberi maaf, yang perlu dilakukan adalah menggali fakta-fakta sejarah untuk disusun sebagai “kebenaran sejarah”. Kemudian, pemberian maaf atau tidak, merupakan tahap atau proses lain yang berangkat lebih dari sisi kemanusiaan, bukan “kebenaran sejarah”.

Seperti itu juga dalam konteks Belanda masa lalu. Sejarah tetap perlu digali dan disampaikan kepada generasi setelahnya. Makanya, di surat yang lalu aku kutipkan penuh hutang-hutang luar negeri Belanda yang dilimpahkan ke Republik Indonesia Serikat (RIS) di Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Hutang yang luar biasa banyaknya itu tentu saja membebani Republik Indonesia pada masa awal merdeka sampai zaman Orde Baru.

Gita, perlu kamu ketahui saat KMB, wakil Amerika Serikat, Merle Cohran, sebagai moderator, memihak Belanda dan menuntut dua hal dari Indonesia. Cohran memaksa Indonesia menanggung hutang Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar Amerika. Sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang 42 persennya merupakan biaya operasi militer dalam menghadapi revolusi pemuda Indonesia. Indonesia juga harus bersetuju semua investasi Belanda (dan pihak asing lainnya) di Indonesia akan dilindungi, tadinya Indonesia dijanjikan akan mendapat bantuan yang cukup besar dari Amerika Serikat untuk melunasi beban hutang tersebut, namun terbukti kosong belaka ketika ternyata yang diberikan hanya 100 juta dolar Amerika dalam bentuk kredit ekspor-impor yang harus dibayar kembali (http://kau.or.id).

Itulah serpih-serpih sejarah Indonesia saat ia mulai merangkak sebagai balita.Ternyata proses kemerdekaan itu tidak semulus seperti yang kita dengar di buku-buku sejarah melalui perang gerilya dan heroisme para pejuang. Kemerdekaan Indonesia jutsru bermula dari kekalahan berdiplomasi dengan Belanda salah satunya di KMB.

Setelah tahu beberapa sisi sejarah yang senatiasa tersembunyi itu, masuk tahap selanjutnya sikap kita terhadap masalah itu. Dalam konteks kekinian, sejarah itu menjadi pengingat bagi generasi kita. Agar berbagai diplomasi dalam hubungan luar negeri tidak merugikan negara lain, minimalnya tidak merugikan Indonesia. Seorang teman mengingatkan saya, bahwa tidak semua program beasiswa luar negeri baik bagi Indonesia. Ada di antaranya program itu ditujukan dalam rangka memetakan masyarakat, sumber daya alam, potensi konflik, dan berbagai isu panas lainnya untuk mereka manfaatkan data itu di kemudian hari.

Artinya, Gita, meski taruhlah aku lolos dan berangkat ke Belanda, aku tetap harus kritis dan tak terlena dalam perjalanan ke komunitas global itu. Sikap kritis bukan antipati. Sikap kritis merupakan sikap yang sadar akan tapal batas kemampuan. Dengan sikap kritis, kita tidak akan menjadi naif karena pura-pura tahu atau pura-pura tidak tahu.

Itulah “Romantisisme Kritis” yang aku gunakan sebagai landas pijak saat mengikuti program beasiswa ini. Meskipun demikian, sedikit disayangkan panitia tidak memberi batas tematik tertentu atau tawaran gagasan tertentu sebagai parameter dalam penilaian. Bagiku, tema “Studi ke Belanda” masih terlalu umum untuk kemudian di turunkan dalam bentuk gagasan-gagasan kreatif yang bisa diperdebatkan secara akademis. Tema “Studi ke Belanda” menurutku lebih sarat dengan kemampuan imajinasi peserta ke arah sana. Hanya saja masalahnya, imajinasi seperti apa yang bisa menentukan mana yang lolos dan mana yang tidak? Apakah saat peserta mengetahui seluruh seluk-beluk Belanda melalui search engine tertentu, buku panduan, informasi dari teman, televisi, dan berbagai sumber lainnya? Atau saat peserta mengungkapkan betapa inginnya ke negeri Tulip itu? Semuanya tentu berpulang ke masing-masing penilai untuk menentukan parameter-parameter tersebut.

Gita saat ini aku juga sudah mulai mempersiapkan segalanya. Katalog perjalanan, sejarah-budaya Belanda, cuaca, sistem kekerabatan, sistem pendidikan, fasilitas publik, tempat wisata, dan lain sebagainya sudah mulai aku akses. Ya, mungkin seperti peserta-peserta lain yang mengutip segala sesuatunya panjang-lebar mengenai Belanda via Wikipedia, Google, Yahoo, dan berbagai layanan pencari data lainnya. Aku kira semua informasi itu sangat mudah ditemukan di zaman sekarang dimana “Paman Google” menjadi tempat baru untuk bernubuat dan berfatwa. Justru sebelum ke Belanda, sebelum keliling dunia, yang perlu aku lakukan adalah menata cara pandang, cara berpikir, dan juga keadaan mental. Perjalanan ke komunitas global bukan lah sekedar tamasya di long weekend bersama teman, keluarga atau pacar. Perjalanan ke komunitas global merupakan pengalaman dialog lintas budaya dengan nilai tertentu.

Gita yang manis, bagaimana, apakah sekarang kamu yakin untuk melepas kepergianku ke Belanda? Tenang saja, nanti ku bawakan sekuntum Tulip untukmu. Tak lupa fotoku di bawah kincir angin akan ku kirim di surat berikutnya. Kamu mau kan menyimpan fotoku? Hahaha ... ya pasti kamu mau!

Gita beberapa minggu lagi penilaian akan selesai. Aku pinta doamu dan kerelaanmu. Gita, aku rindu suara merdu dan candamu.

Kaki Gunung Slamet, 9 April 2009

Temanmu, selalu ...

Firdaus Putra A.

Note: lebih lengkapnya silahkan baca judul “Tak Perlu Keliling Dunia (bagian 1)” dan “Tetap Perlu Keliling Dunia (bagian 2)” dan “Sebelum Keliling Dunia (bagian 3)” yang merupakan “Trilogi Keliling Dunia”.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :