Warteg Depan FISIP


Oleh: Firdaus Putra A.

Warung itu terletak tepat di depan kampus FISIP UNSOED. Dari tahun 1993 secara fisik tidak banyak mengalami perubahan. Masih sama, dinding penuh tempelan pamflet. Kayu yang lusuh. Atap bagian dalam yang juga tak putih terang.

Untuk sebagian orang warung itu sekedar tempat makan, ngopi dan nongkrong. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai ruang publik nan mencerahkan. Warteg depan FISIP tercatat sebagai saksi hidup dinamika gerakan mahasiswa, aktivis LSM, pegiat komunitas indie, band indie, aktivis parpol, wartawan di Purwokerto. Dari sana juga berbagai gagasan dan aksi perubahan lahir. Di lain sisi, sudah tak terbilang puluhan aktivis, anggota dewan, wartawan dan seterusnya juga lahir dari sana.

Warung itu bukan sekedar warung makan. Ia, warteg, sudah menjadi ruang publik, ruang milik bersama yang mempertemukan berbagai komunitas di Purwokerto. Ia, warteg, telah melibas batas-batas yang ada. Ia, warteg, juga telah melampaui generasi.

Hari Jum’at malam (24/4) warteg depan FISIP dipenuhi ratusan orang dari berbagai latar belakang dan usia. Mereka berkumpul dengan satu titik simpul: warteg merupakan ruang bersejarah. Sehari sebelumnya pesan singkat dikirim secara berantai. “Wartegku, Wartegmu, Warteg Kita Semua. Malam terakhir sebelum warteg ditutup untuk selamanya. Hadiri, besok Jumat jam 7 malam di warteg depan FISIP. Forward ke yang lainnya”. SMS itu menggerakan mereka bersama kenangan yang tersisa.

Generasi mahasiswa 1995-1998, yang sekarang sudah menjadi aktivis di berbagai lembaga, memberikan testimoni. Kilas balik berlangsung penuh romantisme. Disusul sajian musik yang spontan disumbangkan para hadirin. Juga ada pembacaan puisi dari teman di luar kota yang mengirimkannya melalui email dan SMS. Pak Slamet, pengelola warteg saat itu, turut serta dengan menyanyikan tembang “Genjer-genjer”. Tak ketinggalan orasi budaya memanaskan suasana haru.

Malam itu merupakan malam terakhir. Otoritas UNSOED mempunyai rencana lain dengan warteg yang berdiri di atas tanahnya. Warteg digusur dan kemudian akan dibangun sebuah rumah transit memanjang ke belakang. Otoritas itu secara nyata sudah meluluhlantakan kenangan dan rekam sejarah sosial-budaya mahasiswa dan alumni.

Makna, kenangan, sejarah dan sebagainya nampak tak berarti. Pembangunan harus dilaksanakan. Atas nama pendidikan, “ruang pendidikan” itu digusur. Hal seperti ini juga yang berlangsung pada alun-alun Kota Purwokerto. Atas nama keindahan dan pembangunan, alun-alun Kota Purwokerto yang merupakan situs budaya dipugar Bupati Mardjoko. Nilai material mengalahkan yang immaterial. Melalui otoritas, nilai itu ditundukan dan dicabut hak adanya.

Orasi budaya terus berlanjut hingga larut. Budi, alumni dan aktivis teater menulis, “Kita cuma mahasiswa | Kita cuma alumni/DO | Kita cuma wartawan | Kita cuma anggota dewan | Kita cuma dosen | Kita cuma buruh jadi, ayo pada tertawa melihat “yang tidak penting” digusur!”. Disambut kemudian Taqi, aktivis mahasiswa, meluapkan kegelisahan yang sama. Akhirnya Asta sebagai MC memanggil generasi 1995-98an, “Monggo Mas Zuli (Anggota DPRD), Kang Jarot (budayawan), Mba Aan (Ketua KPUD Banyumas), Gus Dur (Pemred Suara Merdeka), Kang Sigit (wartawan Suara Merdeka), Kang Febri (aktivis partai), Kang Helmi (wartawan), Kang Darbe (wartawan), Kang Timbul (aktivis partai), Kang Sendy (dosen FISIP), Kang Bedor (aktivis LSM), Mas Udin (aktivis LSM), Kang Ozi (aktivis partai)dan lainnya harap maju ke depan dan menanggapi pertanyaan tadi”.

Gus Dur menjelaskan apa-apa yang perlu dilakukan. Ia berujar, “Kita harus mengambil sikap. Sebagai awalan perlu dilakukan investigasi alasan penggusuran warteg. Kemudian tetapkan strategi apakah bertahan atau melakukan negosiasi dengan rektorat. Tidak lupa, kita harus mengusahakan agar Pak Slamet bisa masuk ke kampus FISIP dan melanjutkan usahanya”. Kang Jarot menyambungnya dengan panjang-lebar. Kemudian Mas Zuli yang merupakan anggota dewan menyatakan bahwa, “Ini (warteg) merupakan bagian terkecil yang harus dipertahankan”.

Di penghujung acara, lantunan lagu Iwan Fals yang dinyanyikan Kang Sendy kembali mengobarkan semangat. Beberapa puisi disumbangkan oleh Tino, Dimas dan Iskandar. Kemudian sebagai penutup, mewakili seluruh hadirin saya menyerahkan bantuan dana ke Pak Slamet hasil dari penggalangan dana pada malam itu.

Sabtu sore (25/4) dan sampai detik ini saya tak melihat pintu warteg terbuka kembali. Ia berdiri tahun 1993 dan berakhir April 2009. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

6 comments :

TAUFIK ANDRIE mengatakan...

Very nice story. Serasa berada di Warteg dua malam yang lalu. Sangat menggugah, meski Warteg tak lagi sekuat dulu daya dorongnya, tapi nilai historisnya sedemikia kuat.
Ok, thanks for sharing.

Best,

Taufik Andrie

Anonim mengatakan...

saya bukan termasuk 'anak warteg'
tapi melihat ruang publik yg biasanya penuh oleh temen2 saya itu kni terlihat sepi,,
membuat lingkungan depan fisip menjadi terasa asing


yesi

Unknown mengatakan...

Lagi-lagi kekuasaan... Turut berduka warteg.. Kalo bisa pertahgankan, ruang tempat dialektika sejenis ini sulit di cari..

Master mengatakan...

Nilai satisfaction / nilai Ekonomis = [~]

el-ferda mengatakan...

Tulisan di bawah saya kutipkan dari http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/note.php?note_id=77682208333&ref=mf

warteg dan bla..bla..bla...
Yesterday at 10:21pm

1998, tahun pertama kali saya memasuki ruangan itu. Sebuah kebetulan yang kemudian berlanjut menjadi kebiasaan. Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa ruangan semacam itu bisa menjadi tongkrongan yang absolut sifatnya, setidaknya bagi sebagian orang, ruangan itu merupakan nadi keseharian yang nyaris tak mungkin ditinggalkan barang sehari saja.

Maka, saya hadir disana sebagai pendatang baru. Warteg Pak Tamyiz (alm.) depan FISIP Unsoed, menjadi catatan sejarah tersendiri. Bahkan setelah sekian tahun meninggalkannya, secara samar ia tetap hadir sebagai hantu berhala romantisme yang sedemikian kukuhnya.

“Anak Warteg” (mari kita singkat saja sebagai AW) adalah sebutan bagi orang-orang yang selalu hadir dan mengalami kesehariannya disana. AW ini bukanlah sebutan yang main-main karena ia mengandung banyak beban semiotik didalamnya. AW terkenal sebagai sosok yang konon narsis, politis, kritis (baik secara pemikiran maupun kemampuan ekonomi), romantis, bau-is, jarang mandi-is, sombong-is, serta is-is lainnya.

Ketika pertama kali Pak Tamyiz memperbolehkan saya menuliskan kas bon, saat itulah saya dibaptis menjadi AW. Setidaknya oleh Pak Tamyiz sang pemilik. Pak Tamyiz ini adalah karakter yang amat menarik. Selalu terlihat muda dan bergairah. Orang yang keras namun bersahaja, dan sudah barang tentu baik hatinya. Memperbolehkan segenap anggota AW menuliskan kas bon hingga berlembar-lembar yang bahkan seringkali mengganggu kelancaran bisnisnya.

“Tak apa, yang penting saya punya banyak teman, banyak saudara”, demikian ucapnya suatu hari. Pengertian semacam itu sulit didapat, setidaknya tidak berbanding lurus dengan para AW yang lebih sering berkelit ketiga diminta membayar hutangnya. Toh Warteg terus berjalan.

Deretan meja dan kursi panjang itu merekam banyak kejadian. Dari diskusi politik hingga obrolan soal ukuran BH samapi dini hari. Tak jarang terjadi dengan kengototan diselipi berbagai macam teori sosial dan politik yang ciamik namun seringkali diragukan keabsahannya. Apa boleh buat, terlihat pintar adalah sebuah keharusan di ruangan itu.

Bagi orang “luar”, memasuki Warteg bukanlah tindakan yang sederhana. Lebih seperti memasuki sebuah arena pertempuran, sebuah ruang penyiksaan, atau bahkan kadang terlihat menjijikan. Bukan karena kotor atau lusuh, namun “kegarangan” citraan yang terkandung didalamnya. Warteg dan AW adalah 2 sejoli yang sempat menjadi komandan jaman bagi sekelilingnya. Ia bukan warung makan prasmanan yang biasa-biasa saja.

Berita itu datang, namun bagi saya tak begitu mengejutkan; Warteg hendak digusur. Mungkin akan tergantikan oleh kompleks perbelanjaan mutakhir a la Purwokerto (apa sih yang mutakhir disana?), atau sekedar berganti menjadi ruang komersil lainnya.

Dengan skeptis saya bilang ke seorang teman yang menginformasikan hal tersebut; tak apa, jaman harus terus berjalan. Bagi saya, Warteg sebagai ruang intelektual dan “intelektual” sudah diragukan keberadaannya. Sudah tak lagi menghasilkan wacana yang asyik dan menarik. Atau jangan-jangan perasaan itu datang sekedar dari bagian perubahan diri saya yang terbawa arus jaman.

Saya belum dan tidak bisa dikategorikan sebagai generasi tua. Tahun 98 baru saja lewat 11 tahun, belum apa-apa. Namun kadang saya takut, pemikiran skeptis saya datang berasal dari “ketuaan” saya dalam melihat perubahan. Bisa jadi saya terlalu biasa melihat dan berhadapan dengan perubahan.

Hidup di ibukota adalah hidup dengan kewaspadaan tingkat tinggi akan perubahan. Sehari tak keluar rumah, itu artinya melewatkan kesempatan untuk menyaksikan sebuah perubahan di ibukota. Sebagaimana, dalam waktu kurang dari setengah tahun, “tiba-tiba” bangunan mall menjulang tingii di lokasi yang terakhir saya lihat adalah perumahan penduduk. Mengutip ucapan Dono Warkop ketika seorang turis bule bertanya sejak kapan jembatan penyeberangan yang baru saja mereka lewati itu dibangun, dengan tangkas Dono menjawab; “Wah, saya ga tau mister! Semalem jembatan itu belum ada disana!

Mungkin saja kekurang-kagetan saya berasal dari kekagetan teramat sangat ketika sebuah situs bersejarah, mengandung segala simbol identitas kota dan masyarakat yang menghuninya dirusak sedemikian rupa. Alun-alun Purwokerto dengan dua batang pohon berumur 200 tahun amblas dan tergantikan oleh sebuah videotron raksasa. Reaksi berdatangan, namun toh akhirnya termentahkan begitu saja.

Berhala romantisme itu masih berdiri. Pintunya tertutup rapat. Saya kurang tahu bagaimana nasib foto-foto didalamnya. Foto-foto yang sudah menguning dan dibeberapa bagian sudah mengelupas. Saya ingat, ada foto Pak Tamyiz dengan mantan rektor Unsoed, Rubiyanto Misman. Ada foto gerombolan AW, dan beberapa pasang foto lainnya. Foto-foto tersebut diambil waktu acara ulangtahun Warteg kesekian. Saya ada disana.

Dan seorang kawan (tua) menuliskan status di facebooknya; ''WARTEG DEPAN UNSOED SUDAH RATA DENGAN TANAH''....ini sama saja mengusir para alumni untuk tidak lagi ke purwokerto..BRENGSEK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Saya kurang paham apa hubungannya antara Warteg tutup dengan alumni (Unsoed?) tidak bisa lagi ke Purwokerto. Masalahnya saya bukan alumni Unsoed, jadi saya tidak ada masalah dengan itu. Bagi saya bisa atau tidak itu masalah ongkos belaka.

Tapi mari kita pahami itu sebagai curahan hati emosional dari seorang kawan (tua) yang memiliki hubungan emosional yang sedemikian kuatnya dengan Warteg. Yang merasa sebagian dari identitas dirinya tercerabut dengan ditutup (dan akan digusurnya) Warteg. Mungkin begitu juga pemikiran banyak orang yang memiliki perasaan yang sama soal Warteg.

Hingga orasi pun dilakukan. Aksi kepedulian digalang. Dan pidato dikumandangkan. Bahkan tawaran investigasi (hah!) pun diucapkan. Dan saya selalu termangu bila ada kawan yang mengirimkan pesan sms atau facebook menanyakan pendapat saya soal Warteg ini.

“Bagi saya Warteg sudah lama mati. Sebagai sebuah konsep ruang pertarungan intelektual, ia sudah tak lagi bernyawa. Tapi bisa jadi itu hanya sekedar kenyinyiran saya belaka. Mungkin kita hanya butuh tertawa, karena belakangan ini saya rasa hidup kita terlalu tegang. Setegang para caleg yang H2C (Harap-Harap Cemas –red) menunggu hasil pemilu.”

“Tapi kamu kan bagian dari ruang itu. Setidaknya kamu mengakui akan hal tersebut bukan?”

“Oh saya tak pernah menyangkalnya. Hanya saja saya pikir biarlah jaman berjalan dan berikan kesempatan bagi yang lain untuk tumbuh. Sepahit apapun itu nanti rasanya. Sejelek apapun bentuknya.”

Mungkin saya salah, tapi ah siapa peduli?

//d

Jakarta tanggal sekian April 2009

Dodi Faedlulloh mengatakan...

saya memang bukan termasuk anak yang sering nongkrong, berintraksi dan berkomunikasi dg anak2 warteg,saya bukan aktifis yang sering ada ada didepan warteg itu, saya mahasiswa biasa yang kerjanya cuma kupu-kupu (kuliah-pulang),tapi dari hati yg paling dalam saya sangat menyayangkan atas digusurnya warteg yang dimana telah memberikan banyak sejarah perjuangan mahasiswa.
tidak seperti beberapa waktu yang lalu setiap saya keluar dari kampus fisip tercinta selalu tampak "kemeriahan" mahasiswa disana, tapi skrg yang ada hanya SEPI ....